Pagi berikutnya, Ceun-Ceun dan kelompoknya bangun dengan suasana yang tenang dan sejuk. Cahaya matahari yang lembut memasuki gua, menandakan bahwa hari baru telah tiba. Mereka semua bergerak cepat untuk bersiap melanjutkan perjalanan. Setelah sarapan sederhana dari sisa-sisa makanan malam sebelumnya, Ceun-Ceun berdiri di depan mulut gua, memandang ke arah jalur pegunungan yang terbentang di hadapan mereka.
"Sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan," kata Ceun-Ceun dengan tegas.
Cuimey yang tengah mengecek pedangnya mengangguk setuju. "Kita harus segera mencapai tujuan sebelum malam turun lagi."
Mereka semua menaiki kuda dan memulai perjalanan lagi. Jalan di depan semakin curam dan berbatu, tapi keindahan alam sekitarnya menjadi pemandangan yang luar biasa, mengurangi rasa lelah yang mereka rasakan. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi di sepanjang jalur pegunungan menambah nuansa misterius, seolah-olah menyimpan banyak rahasia di balik hutan rimbun.
Di tengah perjalanan, Cuimey tiba-tiba mendengar suara samar dari arah kanan jalur mereka. Ia segera memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti.
"Tunggu, kalian dengar itu?" bisiknya sambil memegang gagang pedang.
Mereka semua terdiam, mendengarkan dengan seksama. Suara langkah kaki terdengar dari balik semak-semak di dekat mereka. Ceun-Ceun langsung meningkatkan kewaspadaannya, tangan besinya siap siaga. Mereka menunggu dalam ketegangan, hingga akhirnya dari balik semak-semak, muncul seorang pria tua dengan bungkusan besar di punggungnya.
Pria tua itu tampak kaget melihat mereka, tapi kemudian tersenyum lega. "Ah, para pendekar. Syukurlah aku bertemu dengan kalian di sini."
Ceun-Ceun dan Cuimey saling bertukar pandang sebelum Ceun-Ceun mendekati pria itu. "Siapa Anda? Dan apa yang Anda lakukan di tempat terpencil seperti ini?" tanya Ceun-Ceun dengan nada penuh kewaspadaan.
Pria tua itu menghela napas panjang. "Namaku Feng. Aku seorang pedagang. Aku tersesat di pegunungan ini selama beberapa hari. Apakah kalian bisa menunjukkan jalan keluar?"
Ceun-Ceun merasa iba, tetapi juga curiga. Namun, mereka tahu bahwa meninggalkan pria tua itu sendirian di pegunungan bisa berbahaya. Setelah berdiskusi singkat dengan Cuimey, Ceun-Ceun akhirnya setuju untuk mengizinkan pria tua itu bergabung dengan mereka hingga mereka mencapai tempat yang lebih aman.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan pria tua bernama Feng di antara mereka. Ceun-Ceun dan Cuimey tetap waspada, mengawasi gerak-gerik pria itu, meskipun ia tampak tidak berbahaya. Langit semakin cerah, dan mereka bisa merasakan hawa pegunungan yang segar menyejukkan tubuh mereka.
Feng yang berjalan sambil tertatih-tatih tiba-tiba berkata, "Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kalian. Menemukan jalan di pegunungan ini sungguh sulit. Aku bahkan kehilangan arah selama beberapa hari."
Cuimey yang sejak awal curiga menatap Feng sekilas, "Apa yang membawa seorang pedagang sepertimu ke wilayah terpencil ini?"
Feng tersenyum kecut, seolah malu. "Aku sedang dalam perjalanan menuju negeri utara untuk berdagang kain sutra, tapi malang, rombonganku diserang oleh perampok. Aku satu-satunya yang berhasil kabur."
Ceun-Ceun mendengarkan dengan tenang sambil terus memerhatikan jalan. "Kau beruntung bisa lolos," ucapnya singkat.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka akhirnya tiba di lembah kecil yang dipenuhi pepohonan dan sebuah sungai jernih yang mengalir di tengahnya. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di sana.
Feng duduk di tepi sungai, mencelupkan kakinya ke air sambil mendesah lega. "Air di sini sangat segar. Sepertinya aku bisa bertahan hidup di tempat ini."
Ceun-Ceun dan Cuimey duduk tak jauh dari Feng, masih berbincang soal perjalanan mereka menuju negeri utara. Namun, tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan mereka dari balik pepohonan.
Seorang pria dengan pakaian hitam menyelinap di antara pepohonan, mengintai dari kejauhan. Dia memegang busur dengan panah yang siap dilepaskan. Matanya tertuju pada Ceun-Ceun, seolah dia tahu betul siapa yang menjadi targetnya.
Cuimey, yang selalu peka terhadap bahaya, merasakan kehadiran sesuatu yang ganjil. Dia langsung berdiri dan menoleh ke arah hutan. "Ada yang mengintai kita..." bisiknya pada Ceun-Ceun.
Sebelum Ceun-Ceun bisa bereaksi, terdengar suara busur yang dilepaskan, dan panah melesat cepat menuju mereka.
Panah melesat dengan cepat, tapi Ceun-Ceun, dengan reflek yang sangat terlatih, langsung berguling ke samping, menghindari panah yang nyaris mengenai bahunya. Cuimey, yang tak kalah gesit, segera menghunus pedangnya dan berdiri di samping Ceun-Ceun, siaga menghadapi serangan berikutnya.
"Siapkan dirimu, Cuimey!" seru Ceun-Ceun sambil melirik ke arah pepohonan, mencoba mencari tahu dari mana serangan itu datang.
Dari balik pepohonan, muncul tiga orang pria bertopeng dengan senjata di tangan mereka. Salah satunya membawa busur, sementara yang lain memegang pedang panjang dan kapak besar. Mereka bergerak dengan langkah ringan, tetapi mata mereka penuh kebencian. Tanpa bicara, mereka langsung menyerang.
Cuimey yang ahli dalam pedang dengan cepat menyambut serangan itu. Pedangnya menari di udara, menangkis tebasan pedang dari salah satu penyerang. Sementara itu, Ceun-Ceun mengerahkan kekuatan tangan besinya untuk menghantam lawan yang membawa kapak besar. Setiap pukulan Ceun-Ceun mengeluarkan suara keras, dan kekuatan tangannya mampu menghancurkan senjata lawan dengan mudah.
Pertarungan sengit pun terjadi. Tiga pria itu tampak terlatih, tapi mereka tidak menyangka kekuatan dari Ceun-Ceun dan Cuimey akan sekuat ini. Dalam waktu singkat, Cuimey berhasil melumpuhkan lawannya dengan tebasan cepat di perut, membuat pria itu terjatuh dengan erangan kesakitan. Di sisi lain, Ceun-Ceun menghadapi dua lawan sekaligus, tapi ia mampu memukul salah satunya hingga tersungkur ke tanah.
Pria yang tersisa, yang membawa busur, mencoba mundur untuk mengambil jarak. Namun, sebelum ia bisa melepaskan panah lain, Cuimey dengan cekatan melemparkan pisaunya, menancap tepat di pundak pria itu, membuatnya terjatuh.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Ceun-Ceun dengan suara dingin, mendekati pria yang kini terbaring tak berdaya di tanah. Namun pria itu hanya tersenyum samar dan tidak mengatakan apa-apa.
"Mereka pasti dikirim oleh musuh kita," ujar Cuimey, membersihkan pedangnya dari darah.
Ceun-Ceun menatap pria itu dengan tatapan tajam. "Kita harus segera pergi dari sini. Ini mungkin hanya kelompok kecil, tapi kita tidak tahu berapa banyak lagi yang akan datang."
Dengan cepat, mereka mengemas barang-barang mereka dan kembali menunggang kuda, meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanan menuju negeri utara.
Ceun-Ceun dan Cuimey melanjutkan perjalanan dengan cepat setelah meninggalkan tempat pertempuran itu. Mereka tahu bahwa musuh bisa saja mengirim lebih banyak orang untuk menghalangi perjalanan mereka. Keduanya tetap waspada, mata mereka memindai setiap sudut jalan yang mereka lalui.
Cuimey memecah keheningan. "Mereka bukan prajurit sembarangan, Ceun-Ceun. Ada yang menginginkan kita tidak sampai ke negeri utara."
Ceun-Ceun mengangguk. "Aku juga merasakannya. Ini bukan kebetulan. Kita harus siap menghadapi ancaman yang lebih besar. Negeri utara bukanlah tujuan yang aman bagi kita, tapi kita tak punya pilihan lain."
Perjalanan mereka terus berlanjut hingga sore hari. Di kejauhan, terlihat puncak-puncak gunung yang megah, menandakan mereka semakin dekat ke wilayah utara. Namun, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh dengan bahaya.
Ketika matahari mulai terbenam, mereka tiba di sebuah lembah yang dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi. Sebuah desa kecil terlihat di kejauhan, dengan asap yang mengepul dari rumah-rumah penduduknya. Cuimey menarik nafas lega. "Sepertinya kita bisa beristirahat di sana untuk malam ini."
Setibanya di desa, penduduk desa menyambut mereka dengan ramah. Seorang pria tua dengan janggut panjang, yang tampaknya kepala desa, menawarkan mereka tempat beristirahat di salah satu rumah tamu desa.
"Terima kasih atas kebaikan kalian," ujar Ceun-Ceun sambil tersenyum. "Kami hanya membutuhkan tempat untuk bermalam, dan besok pagi kami akan melanjutkan perjalanan."
Pria tua itu mengangguk. "Desa kami memang kecil, tapi aman. Kalian bisa beristirahat dengan tenang di sini."
Malam itu, Ceun-Ceun dan Cuimey merasa sedikit lega bisa berada di tempat yang tampak aman. Namun, di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa ini hanyalah jeda sementara dari bahaya yang masih mengintai di luar sana.Malam itu, di rumah tamu desa, setelah perjalanan panjang dan melelahkan, Ceun-Ceun dan Cuimey akhirnya bisa beristirahat. Setelah makan malam sederhana yang disiapkan penduduk desa, mereka duduk di tikar dekat perapian, menghangatkan tubuh dari dinginnya malam pegunungan.
Cuimey tiba-tiba mengeluarkan tawa kecil. "Ceun-Ceun, kau ingat saat kita bertemu dengan perampok di tengah jalan tadi? Kau melihat wajah mereka saat mereka menyadari bahwa mereka melawan dua pendekar?"
Ceun-Ceun tersenyum, mengingat kejadian itu. "Iya, mereka tampak seperti melihat hantu! Mereka benar-benar tak menyangka kalau dua wanita bisa menghajar mereka tanpa ampun."
Cuimey tertawa semakin keras. "Apalagi yang paling besar, yang membawa kapak. Dia begitu sombong sebelum kita mulai bertarung. Tapi begitu kau mengeluarkan tangan besimu, wajahnya langsung pucat! Aku hampir tidak bisa menahan tawa saat dia mencoba kabur dan tersandung."
Ceun-Ceun ikut tertawa. "Aku tidak menyangka mereka begitu ceroboh. Mereka berpikir bisa mengalahkan kita hanya karena mereka lebih banyak."
Cuimey kemudian menirukan gerakan salah satu perampok yang berlari terbirit-birit dengan ekspresi kaget di wajahnya. Ceun-Ceun langsung tertawa terbahak-bahak. "Kau benar-benar mirip dia!" katanya sambil memegang perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
Mereka berdua tertawa sampai air mata mengalir dari mata mereka. Suasana yang tadinya serius berubah menjadi sangat ringan dan menyenangkan. Untuk sesaat, mereka melupakan semua bahaya yang mungkin akan datang, dan hanya menikmati momen kebahagiaan kecil ini.
Setelah beberapa saat, Cuimey menarik napas panjang dan berkata, "Kita memang harus banyak tertawa seperti ini di tengah segala bahaya. Siapa tahu apa yang menunggu kita besok."
Ceun-Ceun mengangguk, masih tersenyum. "Benar. Tawa adalah obat terbaik untuk semua ketegangan ini."