"Ummm.aku di sini untuk tawaran pekerjaan?" Saya bilang.
"Lewat sini, "katanya.
Aku mengikuti nya ke ruang tamu.
"Namamu luk Kanawut kan?" Dia bertanya.
"Ya" kataku.
"Baiklah Pak Suppasit sampai jumpa sekarang" ucap nya.
Lalu dia pergi.
Saya menunggu beberapa menit kemudian seorang pria berjas masuk.
"Jadi... Nama mu Gulf Kanawut kan?" Dia bertanya.
"Ya" kataku.
"Mew Suppasit" ucapnya sambil duduk di depanku.
Aku membisu dan dia menyuruhku duduk.
"Saya yakin Anda sudah tahu bahwa anak-anak saya sulit untuk ditangani" katanya.
"Ummm.Ya?"ucap ku.
"Bagus, jadi jika kamu melakukannya... Mengapa kamu memenuhi syarat?" Dia bertanya. memikir kan
"Ummm…aku bisa…Maksud ku, aku punya banyak anak di rumahku dan biasanya aku yang menjaga mereka…aku juga bisa memasak" kata ku.
"Aku sering mendengarnya… Menurut mu mengapa kamu adalah pilihan yang baik untuk mereka?…Mengapa aku harus memilih mu?" Dia bertanya.
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa kesal.
"Mereka hanya anak-anak…Mereka butuh perhatian" kataku.
"Jadi maksud mu aku bukan orang tua yang baik?" Dia bertanya.
"Ummm…Iya?…Sudah menjadi rahasia umum kalau orang tua kaya biasanya tidak memperhatikan anaknya" kataku.
"Anda tahu bahwa mengkritik pewawancara bukanlah hal yang biasanya membuat Anda mendapat pekerjaan yang benar?" Dia bertanya sambil menyipitkan matanya.
"Itu bukan kritik.. Itu mengatakan kebenaran.. Fakta bahwa aku ada di hadapanmu sudah cukup membuktikan" kataku.
"Kamu adalah pemuda yang penuh semangat... Apa yang kamu ketahui hingga berbicara seperti ini?" Dia bertanya.
"Saya tinggal di panti jompo…Kebanyakan anak-anak kehilangan orang tuanya…Tetapi ada juga dari anak-anak itu yang ada di sana karena orang tuanya terlalu sibuk" kataku.
Dia menghela nafas dan mengangguk.
"Berapa usiamu?" Dia bertanya.
"Umurku sembilan belas tahun," kataku.
"Bagus...aku tidak mempekerjakan siswa SMA" ucap nya sambil berdiri.
"Apa?...Maaf pak, saya belum SMA, saya sudah kuliah"" tanyaku sambil berdiri juga.
"Oh benarkah?...Maaf soal itu...Hanya saja kamu memang punya sikap jadi menurutku kamu berandalan atau semacamnya" Ucap nya.
Apa-apaan?
Bagaimana saya bersikap kasar?
"Kamu masih terlalu muda untuk bekerja.. Kamu kasar.. Dan terlebih lagi kamu terlihat sembrono dan ceroboh.. Semoga beruntung mendapatkan pekerjaan lain" Ucap nya.
"Yah... Terserah aku tidak peduli... Kamu bisa berpura-pura menjadi orang tua yang sempurna... Semoga berhasil juga" ucapku sambil memberikan jari tengahku padanya.
Lalu aku meninggalkan rumah.
Dan kembali ke panti asuhan.
Saya perlu mencari pekerjaan lain.
Harus kukatakan kalau kebencianku pada orang kaya cukup...Parah?
(Hari berikutnya)
POV Mew:
Wow, aku belum pernah melihat orang yang berhasil mengacaukan wawancara kerja seperti itu.
Bocah itu benar-benar kacau.
Dia terlalu polos untuk mengetahui tentang kehidupan yang kaya dan harga yang harus dibayar.
Saya meminta pengurus rumah untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak sebelum berangkat ke sekolah.
"Selamat pagi… Nong Dao… Nong Kwan" sapaku sambil tersenyum.
Mereka mengabaikan saya dan duduk di kursi mereka.
Aku menghela nafas dan menggelengkan kepalaku lalu penjaga rumah menyajikan makanan.
"Bawa mereka ke sekolah, oke?" kataku pada supirnya.
"Iya…Pak Suppasit" ucapnya sopan lalu aku
mengendarai mobilku dan meninggalkan rumah. Mungkin apa yang dikatakan anak laki-laki itu benar setelahnya
semua.
Setelah beberapa jam bekerja saya memutuskan untuk istirahat beberapa menit.
Ponselku mulai berdering jadi aku mengangkatnya. "Ya?" Saya bertanya melalui telepon.
"Pak Suppasit… Anak-anak anda… Saya tidak dapat menemukannya
mereka" kata sang supir.
"APA?" Saya berteriak.
"Maaf Pak Suppasit" ucapnya.
"AKU LEBIH MAAF UNTUKMU...TEMUKAN MEREKA SEKARANG" teriakku dengan marah lalu menutup telepon dan pergi ke mobilku untuk memeriksa tempat-tempat yang biasa kami kunjungi ketika Ai Baifern masih hidup.
(Sementara itu di panti asuhan)
POV Gulf:
Aku sedang berada di dapur panti asuhan membantu pacarku memasak ketika salah satu relawan lain masuk. "Ada apa P'Sansuay?" Ai Puimek
diminta.
"Nong Pansri sedang demam" Katanya.
"Baiklah… Kita hampir selesai dengan makanannya… Aku akan mengambil obat… Bisakah kamu tinggal di sini Ai Puimek?" Saya bertanya.
Tentu saja, katanya.
Saya mengambil jalan pintas ke jalan utama dan menemukan dua anak sedang duduk di salah satu bangku.
"Apakah kamu di sini sendirian?" tanyaku sambil berjalan ke arah mereka.
Anak laki-laki itu memelototiku dan meletakkan tangannya di depan gadis itu seolah ingin melindunginya.
Dia sedikit lebih tinggi darinya jadi menurutku dia juga lebih tua.
Aku tertawa dan menggelengkan kepalaku.
"Tenang saja, prajurit kecil" kataku sambil terkekeh.
Dia menurunkan tangannya tapi masih menatapku.
"Jadi...Ummm...Siapa namamu?" Saya bertanya.
Seekor anjing muncul dan anak-anak bersembunyi di belakangku.
Saya tertawa dan gemetar-ku
kepala.
Lalu aku mengusir anjing itu.
Mereka masih menempel pada saya jadi saya memutuskan untuk membawanya ke apotek sebelum meninggalkan mereka di kantor polisi.
"Aku tidak kenal mereka…Aku hanya menemukan mereka sedang duduk di bangku di jalan utama" kataku.
Beberapa menit kemudian Mew Suppasit masuk dan memeluk kedua anak itu.
Itu adalah anak-anaknya?
Sebelum saya bisa memberinya informasi, petugas memberi tahu dia bahwa saya menemukannya.
"Terima kasih" katanya.
Tapi sebelum aku bisa mengatakan apa pun, dia memelukku dan mulai menangis di bahuku.
"Terima kasih banyak..." Ucapnya dengan suara terbata-bata.
Dia terdengar sangat patah hati dan tertekan sehingga aku tidak tega mendorongnya menjauh dariku, jadi aku malah menepuk punggungnya.
Meski itu terasa canggung bagiku.
Tapi aku tahu dia mengkhawatirkan anak-anaknya. Maksudku, itu cukup jelas.
Setelah beberapa menit dia menjadi tenang dan
akhirnya melepaskanku.
"Tuan Suppasit?" aku bertanya dengan hati-hati.
"Aku berhutang budi padamu...Sebutkan apa saja dan aku akan melakukannya selama itu adalah sesuatu yang bisa kulakukan" Ucapnya sambil menarik diri dan menyeka air matanya.
"Ummm...beri aku tumpangan pulang?" Saya bertanya.
Dia terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
"Itu dia?" Dia bertanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk.
"Iya…Ummm…Nong Pansri demam…Aku bawa obatnya tapi aku harus cepat" kataku.
"Aku hanya berharap kamu akan meminta sesuatu yang lain," katanya.
"Seperti apa?" tanyaku bingung.
"Uang mungkin?" Dia berkata.
Aku menghela nafas dan menggelengkan kepalaku.
"Kau tahu?... batalkan perjalanannya, aku akan jalan kaki" ucapku kesal.
"Baiklah...maaf...aku akan memberimu tumpangan" Dia
dikatakan.
Tapi sebelum aku bisa menjawab, teleponku berdering.
"Oh...maafkan aku P'Sansuay...aku sedang dalam perjalanan...akan kujelaskan kalau aku sudah kembali" kataku.
Lalu aku menutup telepon dan menatapnya penuh harap.
Dia meminta anak-anaknya untuk mendekat tetapi mereka tidak melakukannya.
"Aku akan memberimu permen jika kamu mendengarkan Papa" ucapku tersenyum pada mereka.