29 Desember, 2030.
Orang-orang yang tinggal di jalan tol itu tidak lebih dari setengah dari sebelumnya, mereka mulai pergi sebagai kelompok-kelompok kecil. ponselku menunjukkan sekarang adalah 15:50, kami harus berangkat sekarang.
Aku berdiri, lalu menaruh semua barang-barang kami ke dalam tas.
"Ilona. Ayo, kita harus berangkat sekarang," Ucapku kepada Ilona yang tengah membaca sebuah novel, entah apa kesenangan dari novel romansa seperti itu.
"Sudah waktunya?" Tanya Ilona melihat ke arah jam tangannya kemudian berdiri.
Kami mulai berjalan kembali menuju Varushka, hal pertama yang aku ingin lakukan adalah keluar dari kota itu.
"Apa kita bisa mampir ke jalan Viktyeb?" Tanya Ilona, wajahnya terlihat sedih.
"Kenapa? Kita sudah ke sana," Balasku heran.
"Aku ingin mengucapkan selamat tinggal sekali lagi ke ayah dan ibu," Jawab Ilona.
"Yasudah, lagi pula itu sejalan ke alun-alun," Balasku, sejujurnya aku tidak ingin ke sana. kami tidak tahu kondisi tepatnya ibu, namun kami melihat tasnya di dekat reruntuhan bangunan yang telah terbakar meyakinkan kami bahwa dia sudah meninggal.
Kami terus berjalan tanpa saling berbicara, hari ini sangat melelahkan... Aku tak bisa menepis pemandangan di jalan Viktyeb dari tiga hari yang lalu, banyak mayat di sana, dan juga jalanan paling kacau empat hari yang lalu saat Varushka dilanda kerusuhan, di sanalah para pemberontak itu membuat kerusuhan, dan baku tembak terjadi dengan polisi di sana.
Kejadian itu sangat heboh di berita,. Aku yang sedang bolos bergegas ke sekolah Ilona untuk membawanya pulang, kenapa tidak? Jalan itu sangat dekat dengan sekolah Ilona, perasaanku memang sudah tidak enak.
Suara tembakan tidak terhenti terdengar sepanjang perjalanan, sampai sekolah ternyata benar saja murid-murid sedang diungsikan, aku bisa meyakinkan guru di sana agar aku bisa membawa pulang Ilona.
Jujur saja saat itu aku sangat khawatir dengan kondisi orang tua kami, ibu bekerja di toko dekat situ, dan ayah seorang polisi, dan aku yakin ayah ada di situ, aku lihat siaran beritanya, ada kurang lebih ratusan polisi di sana, aku yakin hampir semua polisi dikerahkan di sana.
"Bagaimana jika kita mengambil liontin ayah? Sebagai kenang-kenangan," Tanya Ilona.
"Boleh saja."
Ilona mengambil tasnya kemudian membuka tas itu, dan merogoh isi tasnya mencari sesuatu.
"Kak, kakak suka bermain airsoft kan?" Tanya Ilona.
"Ya," jawabku sambil memerhatikan Ilona.
"Untuk jaga-jaga, aku tadinya tidak ingin bilang karena kakak bilang jangan asal ambil barang dari jalan, tapi aku menemukan pistol ini di jalan," ucap Ilona lalu mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tasnya.
"Kau... Hah... Yasudah," Ucapku lalu mengambil pistol itu, untung saja pengamannya menyala, ayah bilang pistol ini suka menembak sendiri jika terlalu diguncang tanpa pengamannya menyala, CSZ 40 jika tidak salah nama dari model pistol ini.
Aku mengeluarkan magasin dari pistol itu dan menghitung isi peluru yang tersisa. Aku menghela nafas kecewa setelah menghitung isinya, hanya ada tiga peluru di dalam magasin ini. Kuharap itu cukup, aku tidak percaya diri menembak dengan senjata sungguhan.
Aku memasukkan magasin itu ke dalam pistol lagi kemudian menaruhnya di saku celana, tertutup oleh jaket ku, akan lebih nyaman jika saja ada sarungnya.
"Gak ada pelurunya?" Tanya ku kepada Ilona.
"gak kepikiran bawa pelurunya," Jawab Ilona lalu tertawa canggung.
"Yasudah, toh belum tentu terpakai juga," Balasku.
Perjalanan ini terasa lama sekali, lalu dari jauh kami melihat mobil van hitam mendekat dari arah kota, apa ia akan mengungsi?
Mobil itu melewati kami, dan sekilas aku melihat pengemudinya, hal yang dapat paling jelas aku lihat adalah telinga kucingnya, Nekojin? apakah dia warga negara Teikokuten? Atau Svartov? Yang pasti dia tidak lebih dari satu di dalam mobil itu, aku lihat salah satu dari mereka yang berada di sampingnya membawa senjata api.
"Enaknya jika kita pakai kendaraan..." Celetuk Ilona sambil memerhatikan mobil itu.
"Mau bagaimana lagi, dapat mobil di mana?" Timpal ku.
"Jam berapa sekarang?" Tanyaku kepada Ilona.
Ilona melihat ke arah jam tangannya "Setengah enam."
Entah kenapa perjalanan ini lebih tidak terasa, Varushka sudah terlihat di depan kami, 1 kilometer lagi adalah perkiraanku.
"Aku haus, kak," Ucap Ilona.
Aku membuka tas ku dan mengambil sebotol air dari dalam tas, lalu memberikannya kepada Ilona.
Melihat ke arah kota, entah kenapa perasaanku tidak enak, para pemberontak itu terlihat sangat brutal... Semoga Denis tidak apa-apa.
Kurang lebih 10 menit kami berjalan, dan sudah sampai di dalam kota, dan kami sudah disambut dengan suara tembakan di kejauhan. Mereka masih baku tembak dengan siapa? Kesampingkan itu, saat mengecek ponsel ku, sekarang 16:45. Dua kilometer lagi kami sampai di alun-alun kota.
Kami terus berjalan. Tidak jarang harus memutar melewati gang sempit dan memasuki bangunan untuk melewati para pemberontak itu, bagaimana mereka bisa sebanyak ini? Lebih dari itu peralatan mereka terlalu bagus, helm, rompi anti peluru, senapan serbu, setengah dari mereka dipersenjatai dengan lengkap.
Kami harus memutar sedikit agar bisa ke jalan Viktyeb. Saat sudah sampai kami melihat jalan penuh dengan kendaraan yang rusak, kendaraan lapis baja dan mobil polisi, juga tentara. Mayat tentara, warga sipil, dan polisi bergelimpangan di mana-mana, jalan ini mulai berbau busuk dari 4 hari yang lalu kami ke sini.
Kami berjalan ke arah salah satu mayat yang terbakar juga hampir tidak dapat dikenali itu, lalu mengambil liontin dari mayat itu yang berada di lehernya, itu sedikit kusam karena terbakar, tapi setidaknya foto kami bersama ayah dan ibu masih utuh di dalam liontin itu.
Aku melihat ke arah Ilona, matanya berkaca-kaca, penglihatanku juga sedikit kabur karena air mata, dari semua yang ada, kenapa ayah harus meninggal semengerikan ini? Dia ayah yang baik, dan bertanggung jawab... Hari libur tidak akan terasa sama lagi.
Ilona mengeluarkan selembar kertas origami berwarna hijau lalu melipatnya menjadi sebuah bunga dan menaruhnya di samping mayat ayah.
Ilona mengelap matanya lalu berbicara "Ayah Suka warna hijau, setidaknya aku bisa memberikan bunga origami..."
Kami lalu kembali berjalan menuju sebuah toko yang sudah hancur, terbakar habis dan Ilona menaruh satu kertas origami berwarna biru yang dilipat menjadi bunga di tumpukan reruntuhan bangunan itu.
"Yang ini untuk ibu... Semoga kalian tenang di atas sana.... Kami akan bertahan hidup," Ucap Ilona lalu berdiri dari posisi jongkok dan menatap ke arah ku.
"Aku siap pergi," Ucapnya lalu mengelap air mata yang mengalir.
Aku mengelap beberapa tetes air mata dari pipiku dan mengangguk lalu tersenyum.
Aku melihat ponselku sekali lagi, dan sekarang ternyata sudah 17:03. kami kembali berjalan, tak lupa melihat sekeliling. Beberapa kali kami bersembunyi dari orang-orang bersenjata yang terlihat seperti pemberontak.
Dan akhirnya alun-alun kota sudah terlihat, patung yang ada di tengah kota sudah dipenuhi coretan-coretan, dan di sana ada banyak pemberontak yang berkumpul. Secercah harapan kami tiba-tiba mulai pudar.