Descargar la aplicación
16.66% Ibuku Bukan Wanita Biasa / Chapter 7: Cerita Gean

Capítulo 7: Cerita Gean

Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.

Tidak ada siapa-siapa juga di sana.

Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.

Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.

Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.

Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya.

"Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.

Paul mengangguk.

"Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.

"Sayangnya, dengan kepemimpinan yang kuat, juga sokongan dari berbagai pihak. Mereka tumbuh menjadi senjata mematikan," jawab Paul, "mereka membangun markas lebih besar, fasilitas lebih lengkap, memasok berbagai senjata dari berbagai negara. Calon anggota mereka dilatih lebih keras daripada kita. Intinya, mereka tidak bisa kita samakan seperti dulu." lanjutnya.

"Jika mereka sekuat itu, mengapa mereka mengincar putra Nona?" tanya Rey lagi.

Pertanyaan yang sama yang ada di benak Randu.

"Itu yang perlu kita cari tahu. Karena mereka tahu tentang Randu, mereka juga pasti tahu tentang asal-usulnya. Siapa orang Randu sesungguhnya. Dan, alasan mengapa mereka mengincarnya."

"Kau membutuhkan Mac untuk itu," Rey terkikik geli, namun beberapa detik kemudian, pria itu terdiam. Saling pandang dengan Felix, "Randu bukan putra kandung, Nona?!" tanyanya terkejut.

Paul melengos, "Aku akan pergi memeriksa, kalian berdua segera bersiap." Paul mengatakan itu sembari melangkah keluar, tanpa menjawab pertanyaan.

Rey dan Felix kembali saling pandang. Kemudian mengendikkan bahu tidak peduli, menyusul Paul untuk segera bersiap.

Begitu mendengar suara pintu tertutup, Randu mengintip sedikit lewat celah pintu. Mereka sudah pergi. Pemuda itu bernapas lega.

Randu menyandarkan tubuhnya pada pintu, kepalanya saat ini dipenuhi dengan banyak pertanyaan.

'Mereka', kata yang paling sering disebut. Semakin Randu mendapat informasi, semakin dia tidak mengerti.

Apa yang dimaksud dengan 'mereka' menjadi senjata mematikan? Apakah saat ini dirinya tengah berada dalam cerita fiksi? Mungkinkah cerita di film-film laga itu nyata?

Rasanya tidak mungkin. Semua itu hanya fiksi , tapi bisa jadi terinspirasi dari kisah nyata.

Randu menjambak rambutnya frustasi. Kenapa dia tidak bisa menyimpulkan?

Satu hal yang Randu tangkap. Jika mereka mengincar dirinya, maka ada hubungannya dengan orang tua kandungannya.

Baiklah, untuk saat ini Randu harus keluar lebih dulu dari tempat ini. Pemuda itu melirik jam tangannya, kemudian membelalak.

Astaga, sudah pukul 5 pagi. Bisa gawat jika ibunya tiba sebelum Randu. Dengan tergesa pemuda itu keluar dari ruangan.

Setengah berlari Randu melangkah, dalam hati merapalkan doa agar tidak ketahuan. Setelah dapat keluar dengan aman tanpa hambatan, Randu bernapas lega.

Randu menjalankan motornya dengan kecepatan penuh. Selain karena tidak ingin ibunya tahu dia mengikuti diam-diam, Randu juga bisa terlambat masuk sekolah.

Terlalu larut menguping, Randu hingga tidak sadar dengan waktu.

Setelah memarkirkam motor sembarangan, Randu berlari masuk ke dalam rumah.

Sayangnya, dia berpapasan dengan sang ayah. Yang baru saja turun dari tangga, sudah berpakaian rapi, menatapnya dengan kening berkerut.

"Kamu dari mana, Randu?" tanya Gean.

Randu mengerjap, kebingungan mencari jawaban. Pemuda itu celingak-celinguk.

"Randu... itu, Randu... abis da..ri depan, ada perlu." jawab Randu gelagapan, dengan senyum kikuk yang begitu kentara.

"Sepagi ini?"

Randu mengangguk, "Kalau nanti takut gak keburu. Yaudah Randu mau siap-siap, sebentar lagi sekola." Randu segera melesat pergi dari hadapi Gean.

Gean hanya menatap punggung putranya yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu.

Semenjak mengetahui bahwa dirinya bukan putra kandung Gean dan Riana. Sikap Randu berubah.

Pemuda itu jadi lebih banyak diam. Tidak seceria biasanya. Meski di luar, terlihat dingin dan cuek. Sebenarnya, di rumah Randu adalah anak yang cerewet, terlebih pada ibunya.

Tak jarang pemuda itu juga menghindari Gean dan Riana.

"Mas!" panggil Riana, datang dari arah dapur.

"Ya?"

"Barusan Randu dari mana?"

"Katanya abis dari depan, ada perlu," Gean tersenyum, "kita tunggu di ruang makan aja, ya?"

Riana tersenyum menghela, mengekori Gean ke ruang makan. Untung saja Riana kembali satu jam sebelum jam enam. Dia memiliki banyak waktu untuk menyiapkan keperluan Gean juga Randu.

Tapi, dari mana Randu sepagi ini? Seberapa penting urusan itu? Tanya Riana dalam hati.

Beberapa menit kemudian, Randu datang dengan seragam rapi. Menenteng tas di tangan kanannya. Duduk di sebelah Gean dengan tenang.

Pemuda itu tidak menyapa Gean maupun Riana. Dia makan dalam diam, namun matanya seringkali melirik tajam ibunya yang duduk di sebrang.

"Randu." suara Gean memecah keheningan.

Randu menoleh.

"Kamu berangkat sekolah bareng ayah, ya?" tawar Gean.

"Randu bawa motor."

"Ayah udah lama gak antar kamu. Boleh, ya?"

"Randu udah besar, gak perlu diantar-antar." jawab Randu ketus.

"Meski pun kamu sudah besar, tidak ada salahnya ayah mengantar putra ayah ke sekolah." sanggah Gean, tersenyum.

Randu menatap sang ayah lamat-lamat. Bagaimana mungkin Randu membenci mereka. Setelah segala yang mereka berikan.

Perjuangan mereka, kasih sayang mereka, pengorbanan, hingga kesulitan yang mereka dapatkan saat berusaha membesarkannya.

Randu akan menjadi manusia paling tidak tahu diri jika mengabaikan semua kebaikan itu.

"Randu cuman gak mau ayah repot harus bolak-balik karena tujuan kita gak searah." jawab Randu setelah beberapa detik terdiam.

"Gak ada orang tua yang repot selama itu untuk anaknya, Randu." timpal Riana.

Randu tersenyum getir, "Tapi, aku bukan putra kalian." gumamnya lirih.

"Gimana?" tanya Gean lagi.

Randu mengangguk pasrah, sedangkan Gean tersenyum lebar.

"Yasudah, habiskan sarapanmu."

Gean memutuskan menyetir mobil sendiri. Riana mengantar suami dan putranya hingga ke depan.

Mencium tangan Gean sementara Gean mengecup keningnya. Randu juga ikut menyalami Riana.

"Hati-hati, jangan kebut-kebutan, jangan lupa pasang seatbelt-nya juga." peringat Riana, yang dijawab anggukan oleh keduanya.

Mereka meninggalkan perkarangan rumah menuju sekolah Randu. Randu masih duduk di kelas dua SMA. Tapi, sudah berikan transportasi sendiri.

Selama perjalanan, keadaan begitu hening. Tidak satupun dari ayah dan anak itu membuka pembicaraan. Gean yang fokus menyetir, dan Randu yang hanya menatap jalanan dari kaca mobil.

Sampai Gean berbelok menuju persimpangan, lalu dicegat lampu merah, barulah Gean bersuara.

"Ibu bilang, kamu ditinggalkan oleh seseorang di teras rumah dalam keadaan hujan deras." suara Gean membuat Randu menoleh.

"Waktu itu, kamu hanya dipakaikan baju dan mantel yang tidak seberapa tebal."

Awalnya Randu ingin menyela, tapi memutuskan untuk mendengarkan. Tidak ada salahnya ia tahu.

"Awalnya ayah ingin menyerahkan kamu ke pihak berwajib. Mencari tahu keberadaan orang tuamu. Tapi, ibumu bersikeras ingin mengasuh, setidaknya hingga orang tuamu kembali. Dulu dia berpikir, kalau orang tuamu hanya akan menitipkan sebentar. Akhirnya, ayah mengalah."

"Tapi, mereka tidak pernah datang." timpal Randu lirih.

Gean tersenyum tipis. "Setelah beberapa tahun, mereka tidak pernah muncul. Tapi, keinginan ayah untuk mencari orang tuamu mulai mengikis seiring berjalannya waktu."

"Seharusnya, ayah menyerahkan aku pada polisi waktu itu."

Lampu lalu lintas berganti hijau, Gean

kembali melajukan mobil.

"Untuk pertama kalinya. Ayah merasa sangat bahagia. Bisa diberi kesempatan membesarkan seorang anak. Selama pernikahan dengan ibumu, ayah tidak pernah berpikir akan memiliki seorang putra, karena setelah 8 tahun pernikahan kami belum juga dikarunia anak."

Randu tidak pernah mengetahui fakta itu. Mereka tidak pernah bercerita, mungkin karena tidak ingin Randu mengetahui kebenarannya.

"Akhirnya, kami mengadopsimu secara resmi. Kamu sah menjadi anak kami. Keputusan ibumu tidak salah. Kami senang memiliki seorang putra sepertimu."

Gean tersenyum begitu lebar, hingga matanya menyipit. Mereka sudah sampai di sekolah Randu. Gean memarkirkan mobilnya dengan rapi, meraih lengan sang putra, lalu berkata.

"Tidak ada yang lebih menyenangkan dari dicintai seseorang. Mungkin selama ini kamu menderita karena tidak mengetahui kebenarannya. Tapi, ketahuilah. Kami mencintaimu, ayah dan ibu sangat mencintaimu. Jangan berpikir kamu mengadopsimu karena kasihan, semua itu murni atas keinginan kami karena begitu menyayangi pemuda tampan ini."

Randu terhenyak, perasaannya campur aduk. Sejujurnya, Randu ingin menangis. Tapi, ia tahan agar tidak menangis di depan sang ayah.

"Jika setelah ini kamu masih membenci kami. Tidak apa, tapi jangan pernah pergi. Ayah akan mencari orang tuamu semampu ayah. Ayah akan pertemukan kalian."

Bagaimana bisa aku membenci ayah dan ibu?

Mata Randu mulai berembun, pemuda itu menggigit bibirnya untuk menahan air mata.

"Sekarang masuklah, belajar yang rajin, ya?" Gean mengusak kepala Randu pelan, tersenyum lembut.

Randu menyalami Gean, bergegas turun dari mobil. Berlari menuju toilet, air matanya sudah luruh membasahi pipi.

Pemuda itu terisak tanpa suara.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C7
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión