"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa ini ada kaitannya. Kasus alfa, anda melindunginya bukan karena dia dekat dengan putri anda kan?"
Holan terdiam. Mereka berdua saling pandang.
"Apa maksudmu?"
"Letnan, tolong percayai aku sebagai bawahanmu. Mau sampai kapan kau tidak mempercayaiku?" Asya menghela napas.
"Keluarlah."
"Letnan kumohon…."
"Keluarlah selagi aku masih meminta dengan sopan."
Asya akhirnya keluar dengan wajah murung, serta kecewa.
"Ini bukan sesuatu yang bisa kau tangani Asya, aku tidak mau melibatkan polisi tentang Ramon. maafkan aku,"
Asya kembali ke ruangan tim dan ke mejanya. Anggota tim lainnya bertanya tentang kelanjutannya.
"Apa yang letnan katakan ketua?"
"Kita harus terus membohongi pers. Katakan kalau buronan telah ditangkap dan di isolasi."
"Aishh sial. Aku capke menjawab panggilan dari mereka satu persatu."
Triiingg triiiing triiiing
Dering dering telepon bersahutan. Itu adalah panggilan dari acara tv dan pers berita. Semua orang tengah bertanya tanya kenapa polisi tidak lagi menunjukkan buronan yang diborgol dan dimasukkan ke penjara. Karena kabar terakhir adalah buronan dirawat lebih dulu di rumah sakit akibat luka parah.
Anggota tim Asya yang menangani kasus Valen menerima kritik dari divisi lain dan dari berbagai pihak, padahal seluruh anggota tim juga sedang bingung sendiri bagaimana mengontrol situasi tak terkendali ini.
Sedang semuanya sibuk ini itu Asya dengan tatapan kosong dan kecewa hanya duduk dan memandangi komputer di hadapannya. Dan tumpukan dokumen di depan komputernya. Itu adalah arsip data kasus marina dan pembunuhan berantai yang menyisakan tengkorak yang menjadi kasus beku bertahun tahun yang lalu. Ia hanya menatapnya dengan nanar.
Ia sudah membaca dokumen itu berkali kali namun tak mendapatkan petunjuk, apalagi jarak tahunnya sudah sangat lama, yaitu 11 tahun yang lalu, meskipun ada yang 5 tahun yang lalu dan yang lainnya. Semuanya memiliki alasan yang sama, minim saksi, bukti autentik dan tersangka.
Ia membuka dokumen kasus marina dan melihat ada nama tersangka di sana, yaitu Amanda. Ia sendiri pun tidak tahu apakah apakah anak bernama Amanda ini masih hidup, atau rupanya saat dewasa, ia mencarinya di panti asuhan, panti rehab bahkan di situs daring namun juga tidak menemukan apa apa tentang anak perempuan bernama Amanda. Asya tidak tahu kalau Amanda adalah Amy, putri dari letnan nya sendiri.
"Anak bernama Amanda ini…" Asya terus memikirkannya. "Aku akan mendapatkan jawaban jika berhasil menemukannya. Percuma saja aku tanya Letnan, dia pasti tidak akan memberitahuku."
"Ketua," panggil Ando salah satu junior di tim Asya.
"Iya. Ada apa?"
"Tidak. Kulihat kau tadi melamun."
"Tidak. Aku hanya sedang berpikir."
"Anu begini… kau ingat saat kita menunggu Valen operasi di rumah sakit?"
Asya mengangguk.
"Kau juga lihat kan, ada banyak luka di tubuhnya, pipinya bahkan ada bekas seperti sayatan pisau, lehernya bahkan kaki dan tangannya, juga perutnya. Seluruh tubuhnya babak belur."
"Iya, aku juga lihat. Aku pikir dia berkelahi dengan salah satu temannya yang berada di geng narkoba. Ia pasti mendapat banyak masalah setelah menjadi buronan."
"Iya makanya."
"Apa maksudmu?"
"Letnan yang memberitahu kita, dan saat kita sudah sampai di rumah sakit tidak ada letnan, bukankah itu berarti letnan yang membawa Valen ke rumah sakit?"
"Itu bisa saja, aku menanyai letnan apakah dia tahu siapa yang menyiksa Valen, Letnan tidak tahu siapa yang membuatnya jadi seperti itu."
"Iya itu!" Ando menjentikkan jarinya.
"Apa?"
"Menurutku, orang yang memukuli dan Valen dan yang membunuhnya adalah orang yang sama, atau mungkin mereka berbeda orang namun punya misi yang sama, yaitu melenyapkan Valen. Sedari awal mereka memang merencanakan membunuh Valen, bukan menyerahkannya pada kita."
"jadi maksudmu kita perlu mewawancarai letnan tentang bagaimana dan dimana dia menemukan Valen sampai bisa membawanya ke rumah sakit saat itu?" Asya membelalakkan matanya.
"IYA!"
"Jika menolak menjawab artinya letnan menutupi investigasi ini karena mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh dan menculiknya."
Asya nampak berpikir. Ia tidak mungkin menginvestigasi atasannya sendiri.
"Tidak mungkin letnan menggunakan narkoba. tidak mungkin letnan menutupi kasus yang menyangkut nyawa orang yang dikenalnya, apalagi pemuda itu (alfa) adalah pacar putrinya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ditutupi oleh letnan hingga berbohong pada pers dan berbuat sejauh ini."
"Maaf ketua aku bukannya membuatmu untuk mencurigai letnan hanya saja…"
"Aku tahu. Terima kasih sudah membagi pandanganmu. Ke depannya jangan takut memberikan opini pada kasus , mengerti?"
"Baik, Ketua, terima kasih." Ando senyum senyum mendapat pujian dari ketua tim. Ia adalah member baru di tim.
***
Sebelumnya Ramon meminta Okta datang menemuinya terkait penyelidikan polisi dan anak buahnya, aka Valen. Kemarin Okta ada bersama Valen di motel, namun ia langsung tancap gas dan menemui Ramon.
"Tuan Ramon, apa anda memanggilku?"
Okta berdiri tegap dan menghadap ke ruangannya.
Ramon berbalik dan melihatnya. Ia melihat keringat mengucur di pelipis si pilar nomor 2, napasnya juga tersengal Okta sadar Ramon mencurigainya..
"Ah aku sangat bersemangat hingga berkeringat hari ini, Tuan." alasannya. Sembari menyela keringat.
"Kenapa kau berlarian?"
"Tidak. Aku hanya dari gym."
"Dengan coat dan jas?" Ramon melihat Okta memakai pakaian jas rapi bahkan memakai coat.
Okta serasa ingin meninju kepalanya sendiri karena mengatakan kebohongan payah itu.
Ramon menaikkan salah satu sudut bibirnya kemudian berbalik membelakangi Okta.
"Katakan saja. Tidak perlu menutupinya lagi."
Okta terdiam.
"Kau menyelamatkan anak buah kesayanganmu itu kan, si Valen sialan?"
"Anu Tuan…"
"Genio memberitahuku."
"Apa?" suara Okta meninggi tanpa sadar
"Jangan terlalu marah padanya." Ramon berbalik menatapnya. "Jangan sampai tertangkap. Akulah yang memintanya mengatakan itu di telepon."
Okta tidak percaya mendengarnya. Pantas saja waktu itu d telepon Genio nampak peduli dan khawatir padanya, lagi pula anak itu tidak mungkin melakukan sesuatu di belakang Ramon yang tak diketahui.
"Ah begitu ya." Okta memaksa tersenyum dan menundukkan kepala hormat. "Terima kasih Tuan Ramon. Saya akan jujur pada anda lain kali."
"Lain kali?"
Okta mendongak. Ia agak takut.
Ramon menuruni tangga kecil yang memberi jarak diantara mereka. Ia memegang bahu Okta.
"Tidak ada lain kali, kau tahu itu kan?"
"Maafkan aku,Tuan." Okta tidak berani menatap matanya.
"Rowlett didapatkan dan Valen juga kembali meskipun harus diasingkan. Sejauh ini kau berhasil menyelesaikan masalah yang kau buat sendiri."
"Maafkan aku."
"Sssst jangan minta maaf lagi. Kau adalah pilar nomor 2, kau tak seharusnya menjadi selemah ini, mengerti?"
Okta mengangguk.
Ramon kembali ke singgasananya dan berdiri agak tinggi dari Okta.
"Anak itu sudah terlalu lama menikmati hidupnya. Kirim anak buahmu yang kuat lagi pada Rataka, kali ini kau harus benar benar membunuhnya, supaya kita bisa segera mengambil gadis tumbal itu secepatnya."
"Baik Tuan."
"Keluarlah."
Okta keluar dan menutup pintu dengan pelan, di luar Genio tengah bersandar di dinding dengan kedua tangan di dalam saku celana. Okta menoleh dan memutar bola matanya. Ia melewatinya, Genio mencegahnya dengan memegang lengannya.
"Kau kecewa?"
Okta menoleh, mereka berdua bertatapan tajam.
"Kenapa aku harus kecewa? Ini tidak ada urusannya denganmu." Okta melepaskan tangannya.
"Aku tidak akan minta maaf."