"Dio dimana?"
"Eh? Kau mencari kakakmu? Tidak seperti biasanya."
"Iya, dia kemari karena tidak peduli denganku," sahut Alfa sinis. "tapi dia merindukan kakaknya yang sering dimarahi itu."
"Woi, mulutmu itu bisa berhenti bicara atau tidak, sih?"
"Sudah sudah." Yohan melerai keduanya yang saling sewot sewotan. "Dio tidak ada di rumah sakit."
"Apa? Mungkinkah dia ada di rumah, ya?" Amy diam dan berpikir lama, lalu memutuskan untuk bangkit dari kursi.
"Kau urus saja manusia satu ini, Kak. Aku mau pergi dulu."
Amy keluar lalu menutup pintu.
"Amy! Amy!" panggil Yohan, namun Amy tak kembali.
"Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Kak Dio?" batin Alfa. Ia merasa bahwa Kak Yohan sedikit serius ketika Amy menyebut nama Dio tadi.
Namun Yohan diam saja. Ia lalu meraih ponsel di atas mejanya lalu keluar.
"Kau di sini saja dulu, aku akan segera kembali."
Alfa bingung sendiri dengan apa yang terjadi.
Yohan berusaha menghubungi Holan, namun Holan tak mengangkat panggilannya.
***
"Maaf Letnan, kami juga baru tahu. Aku mencari pelakunya dan lupa menghubungimu." kata Asya dari seberang telepon.
"Apa kau menemukan sesuatu yang aneh?"
"Aku tidak tahu ini cukup berguna atau tidak, tapi aku melihat ada tanda aneh di tangan kirinya setelah kematiannya padahal sebelumnya aku yakin tidak ada."
"Tanda aneh?" Holan heran, namun seketika ia menyadari sesuatu. "Mantra! itu pasti mantra," batinnya. Ia tentu tidak bisa memberitahukan itu pada Asya.
"Jadi dimana mayatnya sekarang?"
"Ada di ruang mayat, kami juga sudah menempatkan petugas di sana."
"Baguslah."
"Aku akan mengabari jika ada yang kami temukan. Sekali lagi maafkan aku karena lengah setelah persidangan selesai."
"Tidak perlu minta maaf. Kau bahkan tidak bisa menduga ini akan terjadi. Pastikan ada petugas yang menjaganya, kali ini lebih berhati hati. Aku akan ke sana secepatnya."
"Baik, pak."
Drfft drfft.
"Sebentar, ada telepon masuk," kata Holan.
Holan lalu mengangkat panggilan yang lain. Itu adalah Yohan.
"Ada apa?"
"Amy mencari Dio, Pak. Sepertinya dia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sekarang ini."
"APA?!"
"Dio masih belum kembali dari klinik psikiater."
"Baiklah, aku akan ke rumah lebih dulu. Terima kasih sudah menghubungiku secepatnya."
Holan lalu menancap gas mobilnya dan segera menuju rumahnya. Ia mengirim pesan teks pada Asya bahwa dirinya tidak bisa ke rumah sakit dimana Valen dirawat. Tempatnya juga berbeda dari rumah sakit Satria.
Di rumah para bibi pelayan pun tak mengetahuinya. Amy mulai panik karena tak menemukan keberadaannya di manapun. Ia mencarinya di kamar Dio dan dimana mana. Amy khawatir.
Ayah
Sementara itu Dio di klinik psikiater Dr. Jeno.
"Kau tidak bisa berada di ruang operasi dalam waktu yang lama," kata Dr. Jeno dengan ekspresi prihatin.
Dio menunduk dan mendengarkan.
"Begitu ya, Dok."
Sesaat kemudian Dio mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar, berpura pura ceria.
"Tidak apa apa. Setidaknya aku masih bisa menjadi seorang dokter."
"Kau terlalu riskan jika menangani pasien sebagai dokter utama di meja operasi."
"Aku bisa jadi asisten."
"Dio…"
"Aku sungguh tidak apa apa. Lagipula sebentar lagi magangku akan segera selesai. Aku akan pindah dari rumah sakit Satria."
"Bagaimana tanggapan Tuan Holan?"
"Aku yakin ayah pasti mendukungku."
Dio berusaha tersenyum, meski hatinya begitu teriris dan pilu.
Klinik psikiater Dr. Jeno berada di luar ibu kota, sehingga jauh dari lokasi rumah sakit Satria, di mana dia bekerja. Jadi Dio memutuskan untuk pindah ke rumah sakit agar rawat jalannya lancar dan rutin.
Di rumah.
"Amy, di mana, Bi?" tanya Holan pada pelayan begitu sampai di rumah.
"Nona Muda ada di kamar Tuan Muda."
Ayah segera melangkah melewati anak tangga menuju ke lantai atas.
"Amy." panggil ayah.
"Dio kemana, Yah?"
"Dio sedang pergi sebentar. Aku menyuruhnya ke suatu tempat."
"Apa?"
Amy tidak percaya begitu melihat keringat mengalir di pelipis ayahnya, itu berarti ia berlari dan panik. Amy merasa ada yang disembunyikan, namun dirinya pura pura mengikuti alur pembicaraan ayahnya.
"Kenapa ayah menyuruhnya? Apa itu urusan penyelidikan? Atau kasus di kepolisian?"
"Tidak, tidak seperti itu. Ada hal lain."
"Ke mana? Apa ada urusan ayah yang tidak bisa ayah tangani sendiri?"
Holan menyadari bahwa putrinya tengah menginterogasinya. Ia menghela napas dan berusaha menjawabnya dengan tenang.
"Itu bukan tentang ayah. Kau sudah mengunjungi kakekmu?"
"Kakek?"
"Aku menyuruhnya ke sana."
"Aku tidak melihat Dio sejak dari rumah kakek. Kenapa dia ke sana lagi?"
"Aku sudah bilang, aku yang menyuruhnya ke sana?"
"Apa ini rahasia? Kenapa ayah tidak menyuruh Dio ke sana bersamaku?"
"Itu…."
Tiba tiba ponsel Amy berbunyi. Ia memeriksanya. Itu adalah Dio.
"Dio meneleponku," kata Amy sembari menunjukkan ponselnya.
Ayah dan Amy saling menatap serius satu sama lain.
"Aku akan tahu ayah berbohong atau tidak setelah aku menanyainya."
"Amy, ayah hanya…"
"Halo," Amy memotong kata kata ayahya dengan mengangkat panggilan itu.
"Amy, di mana kau?" tanya Dio dari seberang telepon.
"Di kamarmu."
"Di kamarku? Sedang apa? Kau mencariku?"
"Kau di mana sekarang?"
"Aku?"
"Cepat katakan kau di mana?"
Amy sedikit memaksa dengan terus menatap kedua mata ayahnya.
Holan hanya bisa menghela napas.
Dio diam sejenak, ia heran kenapa suara Amy terdengar serius. Ia memikirkan satu kemungkinan.
"Apa kau bersama Ayah?" tanya Dio balik.
"Jawab aku dulu, di mana kau sekarang?!"
"Aku ada di apartemenmu. Aku bersama Alfa sekarang."
"Suruh Amy ke sini, Kak. Kalau tidak akan kumakan semua chicken ini sendirian." terdengar suara Alfa samar samar.
"Kau dengar suaranya? Aku di apartemen Alfa sekarang. Kemarilah, aku membeli banyak makanan."
"APA?!"
"Aku tadi pergi sebentar karena diminta ayah. Sekarang aku sudah pulang. Aku ada di apartemenmu sekarang, My."
Tanpa bicara lagi Amy tiba tiba menutup panggilannya kesal. Dio kaget, ia lalu kembali ke sofa tengah dan menikmati chicken bersama Alfa.
"Masih tidak percaya pada ayah?" Holan menggeleng.
"Maaf," kata Amy dengan nada tidak ikhlas. "Lain kali bicaralah yang jelas. Aku sangat khawatir tadi. Kukira ada yang ayah sembunyikan dariku."
Amy memanyunkan bibirnya.
Ayahnya mendekat dan mengelus puncak kepalanya. "Kalau kau khawatir dengan kakakmu, bisakah kau berhenti memanggilnya dengan nama? Hemm?"
Amy mengalihkan pandangannya, lalu menerobos keluar.
Holan menoleh dan tersenyum lega.
Sesampainya di apartemen, ia melihat tumpukan paha ayam yang masih mengeluarkan asap di atas meja.
"Kalian berpesta tanpa aku? Sialan!" Amy datang dan langsung bergabung dengan mereka.
"Dia dari tadi mencarimu, Kak. Bahkan menanyakanmu pada Kak Yohan." ujar Alfa tiba tiba sembari mengunyah makanan di mulutnya.
Plak!
Amy memukul punggungnya yang masih di perban.
"Awww! Kenapa kau selalu memukulku?!"
"Sumpal saja mulutmu dengan ayam," Amy mengambil chicken dan menjejalkannya ke mulutnya hingga penuh.
Dio tertawa melihatnya.
"Berhenti memperlakukannya seperti itu, My. Bukankah kau menangisisnya saat dia koma?" Dio tertawa kecil.
"Dia ini memang gadis munafik, Kak."
"Sudah kubilang diam kan sialan!" Amy mengambil bantal di atas sofa dan memukul mukulkannya ke Alfa. Alfa hanya bisa menutupi wajahnya dengan tangannya.