"Aku akan bilang kalau ada sesuatu. Aku tidak akan menyusahkan banyak orang lagi. Sudah kapok, hehe." Alfa mengengeh, agar Amy tenang dan tidak khawatir.
"Katanya menyukaiku lebih dulu, kenapa dia bersikap seperti ini?" batin Amy.
Amy melihat senyumnya dan tiba-tiba teringat saat Alfa bersimbah darah dan dibaringkan di ICU tak sadarkan diri. Saat itu dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih, ia hampir gila, air matanya tak bisa ia bendung lagi. Seluruh dunianya seolah runtuh. Segalanya seolah hilang di hadapannya.
Alfa melihat mata Amy tiba-tiba berkaca-kaca. Ia khawatir.
"Amy, ada apa?"
Amy tak ada sahutan.
"Kau baik-baik saja?"
Air mata luruh perlahan, mengalir di pipinya. Mata Amy merah. Alfa sepertinya paham apa yang sedang sahabatnya itu bayangkan.
"Aku janji akan bilang kalau ada masalah, My. Maafkan aku, maaf karena membuatmu jadi seperti ini."
Alfa mendekat, lalu memeluknya. Amy menutup matanya, dan air matanya terus mengalir dalam diam.
"Aku bersikap egois dan memikirkan orang lain, iya kan? Aku pantas dihukum," kata Alfa sembari menepuk nepuk punggung Amy.
"Aku membencimu, Alfa," kata Amy. "Aku sangat membencimu."
Alfa tersenyum lalu mengelus puncak kepalanya. "Iya, aku tahu."
"Kau memang harusnya membenciku, tidak peduli sebanyak apa aku menyukaimu. Jika kau mengetahui diriku yang sebenarnya, apakah aku masih diterima?" batin Alfa bimbang. Matanya berkaca-kaca.
***
"Ada kekuatan besar yang seperti membaur dan sulit terdeteksi, itu adalah Alfa."
"Alfa, anak itu…dia bagian dari orang yang membuat istrimu koma."
"Bukankah kau juga menginginkan putrimu hidup normal?"
"Anak itulah yang membuat putrimu hidup normal hingga saat ini." (Bab 60, kata-kata Rataka pada Holan di bar.)
Holan duduk termenung di ruangannya. Ia melamun memikirkan kata-kata Taka saat itu di bar, bahwa Alfa, pemuda yang menjadi salah satu alasan isterinya koma, adalah pria yang disukai putrinya. Dirinya menghela napas, wajahnya murung dan suntuk.
"Apa ini masuk akal?" air muka Holan tertekuk dan frustasi. "Bagaimana bisa pria itu mendekati putriku. Takdir apalagi ini ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan."
Holan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Tidak ingin mempercayai ini namun ini semua adalah faktanya. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku jasnya dan memutuskan untuk menghubungi Rataka.
"Halo."
"Ada apa Holan. Aku sedang sibuk."
"Sibuk minum maksudku?"
"Aku tidak bercanda."
"Aku juga tidak bercanda sialan."
Holan menatap ponselnya bingung "Ada apa dengan anak ini?"
"Aku akan meminta anak bernama Alfa itu menemuiku."
"Apa? Kau gila?"
"Gila katamu? Putriku dalam bahaya dan kau bilang aku gila?"
"Aku kemarin kan bilang kalau anak itu koma. Sekarang baru sembuh kau mau apakan dia?"
"Kenapa kau mengkhawatirkan anak itu sekali sih? Sebenarnya apa yang kaus sembunyikan dariku?"
Braaak!
Terdengar suara seperti benda keras jatuh atau menabrak sesuatu yang keras dari seberang telepon. Holan terkejut. Ia juga mendengar napas Rataka agak ngos-ngosan.
"Woy Rataka, apa yang terjadi. Kau di mana?"
"Jangan panik, Pak Tua. Kau urus saja masalahmu. Ya sudah terserah kau saja. Kalau kau memanggilnya ajak saja putrimu sekalian. Oh ya dan satu lagi, jangan melewati batas. Alfa masih dalam tahap perawatan jalan. Dia orang yang penting kau jangan salah langkah."
"Ya ya baiklah. Aku…" KLIK
Tiba-tiba telepon dimatikan secara sepihak oleh Taka.
"Ada apa dengan anak ini?" Holan agak khawatir namun ia memutuskan tak memikirkannya serius. "Mungkinkah ia sedang berlatih dengan Liska? Ah entahlah."
Sementara itu Rataka memang sedang berada dalam kondisi yang cukup menjengkelkan.
Brak! Buagh!
Taka memegang perutnya yang ditinju dengan tangan berotot raksasa milik Rowlett. Ia juga ngos-ngosan karena tidak memikirkan kemungkinan anak itu akan bangun dari tidurnya.
Saat ia tadinya hendak memeriksa keadaannya. Tiba-tiba Rowlett tidak ada di ranjangnya. Beruntung ia menutup bar nya untuk beberapa hari. Ia juga memasang mantra agar tidak ada yang masuk ke dalam.
Rowlett keluar kamar namun sayangnya ia tak bisa keluar dari bar. Ia mengamuk dan berubah menjadi monster besar dengan otot yang dipenuhi fyber kehausan seperti wujudnya sebelumnya.
"Keluarkan aku! Keluarkan aku dari sini! Aaarggghh! Kakak! Kakak! Keluarkan aku!" Rowlett meronta di depan pintu bar yang tidak bisa ia buka padahal hanya terbuat dari besi yang tak seberapa dari kekuatannya.
"Setelah kemarin terkena kutukan penghubung, dia masih bisa bangun? Sepertinya aku paham kenapa Ramon membuatnya menjadi pilar. Cih" Ramon mengusap sudut bibirnya yang berdarah karena tinju dari Rowlett.
"Kenapa aku tidak bisa menghancurkan pintu ini?!"
"Woi anak kecil," Taka ngos-ngosan berlari mengikuti Rowlett. "Kau tidak akan bisa keluar dari sini. Kau masih tidak paham? Kau sudah dibuang oleh Ramon!"
"Apa? Ramon katamu? Aku tidak melayani Ramon! Aku tidak menyukai Ramon! Aaarggghh!" Rowlett memegang kepalanya dan terjatuh dengan lutut lebih dulu. Ia frustasi karena tak ada satupun kakak yang datang menyelamatkannya.
Mendadak Rataka mengingat percakapannya dengan orang yang berada di penjara kemarin yang dikirim untuk membunuhnya.
"Sasaranmu si Ramon sialan itu kan?"
Kau pikir semua anggota yang ada di sana tunduk padanya? Kuberitahu satu hal ya. Aku tidak tahu, tidak pernah mau tahu sekaligus tidak mau bekerja pada atasan sialan sepertinya. Jadi aku tanya sekali lagi padamu, apa kau sudah menargetkan sasaran yang benar?" (cek bab 42).
"Ah jadi benar ya, kalau anak ini tidak berada di bawah tangan Ramon," ia tersenyum puas. "Benar-benar lucu.
"Aku bahkan tidak tahu siapa kau? Kenapa kau melakukan ini padaku?!" ronta Rowlett.
Taka juga ingat sesuatu lagi.
"Aku dipilih secara khusus olehnya untuk membunuhmu, sialan!"
"Aku dikirim oleh nomor 7," kata penjahat yang di ruang isolasi (cek bab 42)
Ini benar-benar aneh, karena Rowlett bersikeras tak mengetahui siapa Rataka, tapi mengapa saat itu bawahan Ramon yang berada di sel penjara mengatakan bahwa ia dikirim anak ini? Taka masih belum mendapat jawabannya. Ia mengira ada anak yang mengadu dombakan Rowlett dan memanfaatkan statusnya sebagai pilar Harimau. Seseorang yang menyuruhnya pasti yang memiliki dendam terhadapnya, selain Ramon.
"Kalau begitu katakan padaku, Nak? Apa sebenarnya kekuatan Valen? Pria yang bersamamu saat itu?" wajah Rataka serius.
"Tidak! Tidak akan kuberitahu! Tidak! Kakak pasti akan menjemputku, dia pasti akan datang!"
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rowlett. Ia tertegun dan berhenti berteriak. Seketika wujudnya kembali menjadi manusia biasa.
"Aku tahu kau masih muda, usia 17 tahun memang rentan bagi manusia. Tapi sudah kuberitahu kan sebelumnya? Sudah kuberitahukan!" Rataka marah, Rowlett membisu terdiam, tersadar pada kenyataan.
Rataka tidak tega melihat wajahnya yang putus asa, seolah anak itik yang kehilangan induknya atau lebih tepatnya ditinggalkan induknya. Benar-benar anak yang malang. Rataka mendekatinya dan memegang dahinya dengan satu jari telunjuk kirinya. Sesaat kemudian Rowlett pingsan, dan kembali tertidur. Taka membawanya kembali ke kamar.
Bar berantakan, termasuk banyak gelas kaca yang pecah. Ia membersihkannya sendirian, sembari menghela napas mengingat kondisi Rowlett.
"Harus ku apakan anak itu," keluhnya sambil menyapu potongan kaca.