"Itu berbahaya untumu!" teriak Arvy spontan.
Semua tamu undangan menoleh ke arah mereka.
"Kalau begitu kau juga ikut, aku akan di belakangmu."
"Kenapa kau antusias sekali sih?"
"Arvy."
"Apa lagi?"
"Kau kedinginan?"
"Tidak."
"Maafkan aku."
"Kenapa? Karena kau memakai pakaianku?"
"Itu juga termasuk," Gita mengengeh."Tapi bukan itu."
"Masalah Toronto lagi?"
Gita ketahuan.
"Kalau begitu ceritakan tentang keluargamu," pinta Gita.
Arvy mendekat ke wajahnya dan menatapnya tajam. Gita menelan ludah.
"Aku tidak mau."
"Begitu ya, maaf."
Melihat wajah Gita murung, Arvy buka suara.
"Aku punya dua keponakan, mereka masih sekolah. Tapi salah satu dari mereka akan lulus SMA minggu depan."
"Benarkah? Laki-laki atau perempuan?" Gita antusias.
"Laki-laki dan perempuan. Yang satu akan lulus SMP, dan satunya akan lulus SMA."
"Mereka anak yang bagaimana?"
Ia bingung menjawabnya karena ia sendiri tidak tahu saudara-saudaranya itu anak yang bagaimana.
"Tidak tahu."
"Bagaimana bisa kau tidak tahu?"
"Karena aku tidak mau tahu."
"Kau harus datang ke acara kelulusannya."
"Apa?"
"Pokoknya kau harus datang. Aku memaksa."
"Cih."
Gita tertawa melihat reaksinya. Entah kenapa dia yakin kalau Arvy akan datang ke acara kelulusan keponakannya itu.
Acara baris berbaris dan persiapan selesai. Semua kelompok dan semua pembimbing bersiap mengambil langkah masuk ke hutan secara berurutan. Gita antusias melihatnya. Ditambah cahaya terang api unggun dan lampu kecil warna-warni di tenda, semuanya sangat mengesankan. Ia bangkit dari duduk lalu mengikat kemeja Arvy yang tadi di selimutkan padanya, kini ia lingkarkan dipinggang.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku mau ikut mereka. Aku ingin mencoba menjelajah."
"Kau gila?!" Arvy bangkit dari duduknya dan memegang lengan Gita.
"Kenapa?"
"Kau tidak sadar kalau perempuan ya?"
"Ha? Kau ikut aliran feminisme? Coba lihat kelompok di sana. Ada 3 kelompok perempuan di samping 4 kelompok laki-laki," Gita menunjuk ke arah tengah lapangan.
"Mereka berkelompok, tidak sendirian sepertimu!"
"Kenapa kau marah sih?"
"Aku tidak marah. Aku cuma…"
Arvy menarik lengannya dan mendudukkannya. Namun, Gita berdiri lagi. Begitu sampai tiga kali.
"Kalau kau tidak mau aku bisa pergi sendiri."
"Kau akan dimarahi pembimbing. Apa kau tamu di sini?"
"Kan ada kau. Hehe. Aku akan diam-diam mengikuti di belakang, pasti seru."
"Gadis ini benar-benar…" batin Arvy.
Setelah semua rombongan pergi, Gita berlari kecil dan mengikuti salah satu kelompok perempuan di akhir barisan. Arvy menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Setelah masuk melewati pohon-pohon tinggi, batang hidung Gita sudah tidak terlihat lagi.
"Kau membiarkan pacarmu ikut jelajah sendirian?" tanya salah satu tamu undangan yang duduk di bangku tidak jauh dari mereka.
"Eh?"
"Kau membiarkannya pergi sendirian."
Arvy kemudian berdiri dan melangkah pergi dari sana.
Gita mendadak kehilangan jejak kelompok yang tadi ia ikuti. Ia bingung harus kemana, meski ada banyak obor yang dipasang namun masih gelap. Mungkin karena ia tidak terbiasa dengan situasi seperti ini sebelumnya. Ia tiba-tiba menginjak sesuatu dan tersandung, namun tubuhnya ditahan oleh seseorang dari belakang. Itu adalah Arvy.
"Dasar ceroboh."
"Arvy?"
"Aku sangat benci drama di film-film saat tokoh utama perempuan tersesat di hutan karena keras kepala. Ah sial sekarang aku sendiri malah mengalaminya."
"Apa? Jadi maksudmu aku tokoh utama perempuan? Lalu siapa tokoh utama laki-lakinya?" godanya.
Arvy berdehem. "Ayo kembali."
Gita manyun. "Baiklah."
Syuuuuuutt
Tiba-tiba Arvy merasakan kehadiran seseorang. Itu adalah hawa yang tak asing.
"Kenapa tambah dingin ya?" kata Gita pelan.
Arvy melihatnya dan langsung menggenggam tangan Gita. Sepertinya ia tahu siapa yang megawasi mereka.
Namun Gita salah paham dan mengira Arvy melakukannya karena kode yang ia berikan.
"Tidak perlu bergandengan tangan. Apa karena tadi aku bilang dingin?" Gita tersipu.
"Sssst." Arvy meletakkan jari telunjuknya di bibir Gita. "Pelankan suaramu.
Gita berubah tegang, ia mulai ketakutan.
"Apa ada masalah?"
"Sepertinya dia datang lagi. Si Rey sialan itu," batin Arvy.
Gita melihat ekspresi wajah Arvy yang tegang. Dirinya juga mengenggam tangannya terlalu kuat. Ia sadar ada hal serius yang akan terjadi jika mereka tetap di dalam hutan.
"Kita harus segera kembali," kata Arvy.
Gita mengangguk."Maaf. Aku menyusahkan lagi."
"Ini tidak ada masalahnya denganmu."
Arvy mengeratkan jaket Gita agar tidak kedinginan. Ia lalu meraih lengan Gita yang satunya dan dilingkarkan di lengannya. Arvy menatapnya serius.
"Tetaplah di dekatku, paham?"
Gita berpegangan erat pada lengan Arvy lalu mengangguk.
"Di sini terlalu bahaya. Malam hari, di tengah hutan, dan hawa dingin. Tempat yang seratus persen mengundang hawa-hawa jahat dan hal-hal buruk. Ini pasti jadi gawang yang bagus untuk rencana Rey. Aku tidak boleh memberinya kesempatan."
Mereka berdua melangkah cepat dan berusaha keluar dari hutan dengan susah payah. Arvy sendiri tidak tahu rute mana yang benar. Sepertinya mereka malah mengarah menjauh dari camp.
Dari jauh Rey tengah berdiri dari balik pohon besar nan tinggi. Ia mengenakan jaket bertudung. Wajahnya masih terlihat jelas, sayangnya separuh wajahnya rusak karena peristiwa saat itu. Dimana saat ia sempat terjatuh dari gedung lewat jendela apartemennya.
"Sialan kau Arvy! Kau membuat wajahku jadi begini dan kau enak-enakkan pacaran dengan gadis yang kuincar lebih dulu. Sialan! Sialan! Sialan!" gumamnya sembari meninju batang poho kayu berkali-kali.
Ia kemudian naik ke atas pohon dengan cepat seolah melayang lalu mengawasi Arvy dan Gita dari atas.
"Aku akan mengambil gadis itu dan menghabisimu si br*ngsek itu!"
Rey bersiap meloncat ke bawah namun tiba-tiba seseorang yang mangkring di salah satu cabang pohon menarik bajunya. Rey terkejut setengah mati. Ia tak menduga seseorang akan berada di sana.
"Kau lucu sekali. Ekspresi kagetmu itu seperti bocil tahu." Rataka tertawa pelan.
Ia melihat ke bawah, setelah memastikan Arvy dan Gita pergi, ia mendorong Rey hingga jatuh ke tanah, beruntung ia mendarat dengan baik.
"S…siapa kau?!" panik Rey. Ia tak menduga situasi ini, ia gugup.
"Sepertinya kau lebih lemah dari bidak sebelumnya," oloknya.
"Bidak?"
Rataka tertegun mendengar Rey tidak paham kata-katanya.
"Bukankah kau dari sekte Segitiga Merah?"
"Segitiga merah? Apa itu? Norak sekali namanya."
Rataka terdiam.
"Siapa kau? Bawahannya Arvy?"
"Beraninya kau tidak sopan padaku. Berapa usiamu?"
"Kenapa kau penasaran? Sepertinya aku lebih tua darimu."
Rataka tertawa terbahak-bahak.
Rey menatapnya bingung.
Rataka mendekat lalu mencengkeram dagunya.
"Usiaku ada zero zeronya di belakang. Bagaimana? Kau mau melawan nenek moyangmu yang tampan ini?"
Tiba-tiba Rey berubah seperti sebelumnya. Seluruh tubuhnya mengeluarkan banyak mata yang dipenuhi lendir menjijikkan namun kali ini lebih banyak dan berwarna merah. Termasuk di wajahnya.
Rataka kaget, ia melepaskan cengkeramannya dan mundur dengan tergesa.
"Fyber? Ramon tidak pernah mengirim fyber sebelumnya. Siapa anak ini sebelumnya?" batinnya.
Ia mulai tertarik dengan anak satu ini.