Descargar la aplicación
5.1% Sekretaris Soleha Untuk Casanova / Chapter 7: Enak Di Saat Lapar

Capítulo 7: Enak Di Saat Lapar

"Iya, kau tahukan usia Elina sudah cukup untuk menikah. Perjodohan ini akan baik untuk masa depannya." Abraham berpikir jika menjodohkan Elina dengan cucu sahabatnya hidup cucunya akan bahagia. Selain memenuhi kesepakatan yang sudah dibuatnya dengan sahabatnya Arash.

"Tapi zaman sekarang sudah bukan lagi zaman perjodohan. Lagi pula Elina belum tentu mau menikah dengannya," sanggah Raditya. Dia tidak begitu suka dengan hal yang berbau perjodohan. Kegagalannya di masa lalu sudah menjadi bukti, perjodohan tidak akan membuat kedua insan bahagia dan saling mencintai.

"Itu mengapa aku bicara denganmu terlebih dahulu. Aku ingin kau bujuk Elina agar dia mau menikah dengan cucu sahabatku." Abraham sengaja menyuruh Raditya yang membujuk Elina, agar hubungan ayah dan anak yang sempat renggang itu bisa dimulai kembali. Dengan begitu Raditya akan lebih sering bertemu Elina.

"Elina bukan anak kecil lagi yang diberi perintah langsung menurut, aku rasa ini bukan ide yang bagus." Raditya tidak yakin bisa meyakinkan putrinya. Apalagi hubungan mereka kini tidak seperti dulu. Elina membentangkan jarak yang membatasi hubungan mereka.

"Semua itu karena kau tak peka dengan perasaannya. Perempuan berbeda dengan laki-laki. Lebih lembutlah memperlakukannya," sahut Abraham.

Raditya terdiam. Memikirkan nasehat dari ayahnya. Rencana perjodohan itu pasti tak semudah yang dibayangkan ayahnya.

"Bagaimana kalau Elina menolak?" tanya Raditya.

"Kau ayahnya. Punya kendali penuh atas dirinya. Jangan sampai aku turun tangan. Image kakek baik hatiku akan luntur di depan Elina." Abraham terdengar menekankan atas ucapannya. Di mata Elina, Abraham kakek yang baik hati. Abraham tidak ingin image itu hancur karena dia menekan cucunya.

Raditya membuang nafas gusarnya. Tugas yang diberikan ayahnya bukan hal yang mudah. Elina juga bukan gadis penurut yang mudah diakali. Dia sangat mandiri dan punya pendirian yang kuat. Meskipun mudah iba pada sesuatu hal yang menyedihkan.

"Aku akan mencobanya. Tapi jangan salahkan aku jika cara yang ku gunakan berbeda darimu," sahut Raditya.

Abraham hanya mengangguk. Untuk saat ini dia mempercayakan tugas ini sepenuhnya pada Raditya.

"Aku naik ke atas dulu Pa."

"Iya."

Raditya meninggalkan tempat itu. Dia harus menenangkan dirinya. Mencari cara untuk bisa meyakinkan anaknya agar mau menerima perjodohan dari keluarganya.

Raditya masuk ke kamarnya. Di dalam Erica sedang maskeran wajah untuk merawat kecantikannya. Dia duduk di atas ranjang sambil membaca majalah fashion.

"Mas, kenapa?" tanya Erica. Kedua netranya memperhatikan wajah suaminya yang tidak bersahabat. Tampak lesu dan tertekan.

Raditya langsung berbaring dengan posisi tengkurep.

"Mas!" Erica kembali memanggil. Tak biasanya suaminya seperti itu. Setiap ada masalah pasti cerita padanya.

Raditya yang tadinya malas berbicara apapun, mau tak mau harus menceritakan semuanya pada istrinya. Dia bangun dan duduk di samping istrinya.

"Kemarin aku bertemu Elina."

"Elina?" Erica terperanjat saat mendengar nama Elina disebut suaminya. Sudah lama Elina ke luar dari rumah besar Keluarga Mahendra.

Raditya mengangguk.

"Bagaimana keadaan nya? Apa dia baik-baik saja? Tinggal di mana Elina sekarang Mas?" Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan Erica.

"Elina baik-baik saja tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana," jawab Raditya. Semenjak meninggalkan rumah, putrinya langsung memutus komunikasi dengan ayah dan keluarga ayahnya. Raditya juga tidak ingin mencarinya sejak Elina memutuskan memilih ibunya. Dia merasa Elina membangkang, tidak menghargai apa yang sudah diberikannya selama ini.

"Memangnya Mas bertemu dengan Elina di mana?" tanya Erica.

"Di jalan."

"Apa Elina sudah besar? Pasti dia sangat cantik. Aku rindu padanya." Erica terlihat senang di depan suaminya.

Raditya terdiam. Elina memang sudah besar. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya, Elina terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Raditya yakin hidup Elina pasti sulit di luar sana.

"Mas aku punya kenalan, anak temenku. Kayanya cocok deh sama Elina."

"Tunggu Ma, ada hal lain yang kau harus tahu."

"Apa?" Erica menoleh ke samping. Menatap wajah suaminya yang terlihat serius.

"Papa akan menjodohkan Elina dengan cucu sahabatnya," ucap Raditya.

"Cucu sahabat Papa? Siapa?" Erica penasaran. Dia tidak tahu siapa yang dimaksud suaminya. Selama ini Abraham tak pernah cerita apapun pada keluarganya tentang sahabatnya.

"Erland Dewangkara."

Erica terperanjat. Anak tirinya akan dijodohkan dengan keluarga terpandang. Bahkan memiliki derajat yang jauh lebih tinggi dari Keluarga Mahendra.

"A-apa tidak salah? Sekarangkan sudah tak zaman perjodohan, Elina pasti tidak akan bahagia." Erica memberi pendapatnya. Mungkin saja suaminya akan memikirkannya.

"Keinginan Papa tidak bisa ditawar lagi. Selain soal perjodohan, semua ini demi meredam persaingan bisnis di antara dua perusahaan besar."

Perusahaan Livingston Dewangkara Group dan Perusahaan Ainsley Mahendra Group selalu bersaing dalam penjualan minyak goreng dunia. Jika mereka tak menikahkan keturunannya maka bisa dipastikan kedua perusahaan itu akan saling menghancurkan.

Erica membuang nafas gusarnya. Ekspresi wajahnya terlihat berbeda dari sebelumnya.

"Apa kau tidak suka dengan rencana Papa?" tanya Raditya.

"Suka. Justru aku setuju sekali." Erica memperlihatkan senyumannya.

"Makasih ya Ma." Raditya senang istrinya ikut mendukung rencana ayahnya. Mereka tidak perlu berdebat apalagi bertengkar hanya karena masalah ini.

***

Hari kamis pukul 6 pagi

Arisha sudah rapi mengenakan pakaian kerjanya. Tak lupa memberi obat pada kakinya yang lecet karena terpaksa mengganjal flat shoes yang kebesaran dengan tisu. Bukan saatnya untuk mengelus atau menyerah. Dia harus kuat untuk menjadi orang sukses di kemudian hari. Air mata tidak akan membuat heels-nya kembali. Dengan senyuman yang lebar di bibir manisnya, Arisha bersiap untuk berangkat. Dia pamit pada ibunya. Safira sedang merapikan dagangannya di teras. Hampir setiap pagi Safira pergi ke pasar dengan menggunakan sepeda miliknya.

"Kau tidak sarapan dulu, ibu membuatkanmu telur dadar dan sambel terasi." Hampir setiap hari menu sarapan Safira dan Arisha selalu dengan telur. Baik direbus, didadar maupun diceplok. Itu menu paling mudah dan murah.

"Aku bawa buat bekal Bu, nanti sarapan di bus, udah siang soalnya." Pukul enam masih di rumah akan membuatnya kesiangan. Dia harus segera berangkat kerja, ini pekerjaan baru untuknya. Banyak yang harus dipelajari dan tugas Arisha yang paling penting adalah mengurus keperluan Erland di pagi hari.

"Kalau begitu hati-hati. Doa ibu menyertaimu." Hanya doa yang selalu dipanjatkan sambil mengusap kepala gadis berhijab yang selalu ceria.

Arisha mengangguk.

"Ibu juga semoga dagangannya laris Assalamu'alaikum." Sebelum pergi menatap wajah ibunya. Arisha berjanji akan membahagiakan ibunya. Tak ada lagi kesulitan di masa depan.

Hanya lima menit, Arisha sudah berdiri di depan halte bus. Untuk menghemat ongkos, Arisha memilih naik bus tiap hari.

"Busnya mana? Aku harus sampai kantor sebelum Erland, dia akan mengoceh kalau ruangannya tidak perfect." Sesekali Arisha melihat jam di tangannya. Wajah cantiknya tampak resah. Melihat ke arah kiri berharap bus akan segera datang namun bukan bus yang datang. Mobil mewah milik Erland yang berhenti di depannya.

"Ini bukannya mobil dinosaurus?" batin Arisha memperhatikan mobil hitam di depannya.

Kaca mobil itu diturunkan, wajah tampan Erland terlihat menatap Arisha dengan dingin.

"Masuk!"

"Gak mau, pasti minta syarat yang aneh-aneh. Ciuman buas atau panasin ranjang. Udah bosan." Dengan mudah tanpa beban Arisha menolak perintah Erland.

"Kalau kau datang terlambat satu menit dariku, kau tahu akibatnya?"

"Heh!" Arisha mendengus. Dari pada mendapatkan hukuman aneh-aneh dari Erland, mau tak mau nebeng mobilnya.

Arisha duduk di belakang bersama Erland. Dia membuang muka dari lelaki mesum yang tampak sedang menelpon seseorang.

"Nanti malam? Aku tidak bisa." Erland menutup telponnya. Dia terlihat kesal. Memasukkan handphone-nya kembali ke sakunya. Menatap jalanan yang macet.

"Pak mampir ke restoran siap saji, aku mau sarapan."

"Gak bisa Tuan, macet total."

Erland memukul pahanya dengan kepalan tangannya. Dia terlihat kesal tidak bisa sarapan pagi.

"Efek berangkat pagi ya Bos? Biasa nunggu matahari bangunin," celetuk Arisha.

"Kalau tak ada sarapan yang mengenyangkan perut, paling tidak sarapan yang mengenyangkan bibir," sahut Erland. Tatapan matanya menatap Arisha dengan nafsu.

"Astaga aku membangunkan dinosaurus lapar," batin Arisha.

Erland mendekat. Menyudutkan Arisha hingga ke tepi. Untung Arisha pintar, dia langsung menyodorkan kotak makannya.

"Bos laparkan? Makan nih!"

Erland melihat kotak makan berwarna pink. Tangan Arisha membuka kotak makan itu. Di dalamnya hanya telur dadar dan sambel.

"Kau pikir orang kaya sepertiku makan itu?" Erland tersenyum tipis melihat makanan yang dianggap rendahan olehnya.

Arisha langsung menarik kotak makan yang disodorkan pada Erland.

"Memangnya kenapa? Ini makanan, bisa mengganjal perut yang lapar."

Hidung Arisha menghirup aroma wangi telur dadar dan sambal terasi buatan ibunya.

"Lapar, makan ah. Biarkan saja yang gengsi gak makan." Arisha tersenyum dia tahu Erland lapar tapi dia gengsi karena sudah biasa hidup senang jarang merasakan makanan yang sering dimakan Arisha.

"Ada pepatah yang mengatakan makanan apapun enak kalau dimakannya saat lapar." Arisha sengaja memberikan sindiran pada Erland. Kemudian mulai memakan sarapannya.

"Em ... enak, cocok dimakan saat macet, apalagi gak sempet sarapan."

Di saat Arisha asyik menyantap sarapannya. Erland membuang muka. Memangku tangannya. Dia kesal dengan sindiran Arisha.

"Mau gak Bos? Mumpung masih ada. Sambel buatan ibuku enak, Insya Allah bakal ketagihan." Arisha coba menawarkan sarapan miliknya pada Erland.

"Gak doyan, makanan murahan." Erland masih membuang muka. Suaranya terdengar ketus.

"Bos, ada pacar Bos tuh!" panggil Arisha.

Erland menoleh ke arah Arisha, bergegas Arisha menyodorkan satu sendok suapan di depan mulut Erland.

"Cobalah! Satu suap saja Bos!" Wajah Arisha terlihat penuh harap. Melihat itu Erland yang gengsi membuka mulutnya. Membiarkan gadis berhijab itu memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya.

Erland mulai mengunyah. Membiarkan semua indera perasanya merasakan percampuran rasa gurih, manis, dan pedas. Rasa terasi udangnya terasa menonjol, telur yang lembut dan kenyal menyatu dalam setiap gigitannya.

"Gimana?" tanya Arisha. Wajah cantik yang selalu ceria itu terlihat mempesona.

"Lebih enak kalau kau memberikannya dari mulutmu ke mulutku." Seperti biasa Erland selalu mengeluarkan kata-kata mesumnya.

"Astagfirullah, semoga aku betah ya Bos." Arisha hanya tersenyum dan melanjutkan makannya. Dia tidak peduli berapa kali Erland akan berkata mesum padanya yang penting dia bisa bekerja.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C7
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión