"Meteor yang menabrak bumi atau objek lain dapat membentuk kawah meteor atau impact crater."
Seorang guru geografi sedang serius menjelaskan materi yang ia bawakan pada pertemuannya kali ini, tangannya yang memegangi sebuah spidol tak hentinya menunjuk pada gambar yang bulat-bulat pada papan tulis dimana seluruh muridnya sedang memperhatikan gambar yang menyerupai batu besar yang ada dilangit tersebut.
Sama seperti murid pada umumnya, barisan yang duduk paling depan ialah para murid yang memang paling berpengaruh di kelas misalnya ketua kelas, wakil kelas ataupun bendahara dan mereka lah yang terlihat paling serius memperhatikan sang guru.
Sedangkan yang duduk paling belakang adalah murid dengan kepribadian yang banyak dibenci oleh guru, murid yang memang sering berbuat onar atau melanggar peraturan sekolah, yang tentunya paling malas menerima pelajaran.
"Sedangkan hujan meteor adalah meteor yang jatuh dan melewati permukaan bumi dalam jumlah yang banyak, sehingga dari permukaan bumi akan dilihat oleh manusia seolah seperti hujan yang turun." Kini sang guru menunjuk luar jendela yang saat itu memang sedang terjadi hujan yang cukup deras.
Para murid ikut melihat hujan yang turun tersebut namun tidak dengan seorang anak lelaki yang entah pikirannya ada dimana, ia terlihat sedang menghayal menatap sisi lantai kelas berwarna putih tersebut.
Ia tidak sedang memperhatikan ukiran atau putihnya lantai tersebut, namun ia sedang memikirkan sesuatu yang terjadi kemarin sore, kejadian yang membuat hidupnya hancur seketika.
Sejujurnya dia tidak ingin ke sekolah hari ini namun pertengkaran dan juga teriakkan yang tiap hari hampir ingin memutuskan gendang telinganya itu membuatnya memilih lebih baik ke sekolah dari pada mendengar pertengkaran dengan bahasa kasar yang seharusnya tidak ia dengar.
"Hai!. kau yang disana kenapa menghayal?" Suara berat gurunya membuatnya melihat kedepan.
Guru geografi itu memperbaiki letak kaca matanya guna melihat dengan jelas wajah sang murid yang kini juga sedang menatapnya, hanya bermodalan spidol yang ia jadikan telunjuk membuat semua murid beralih menatap lelaki bernama Aarun Arjuna tersebut.
Aarun tidak menjawab apapun membuat gurunya menghela napas panjang.
"Apa yang kau hayalkan hah!. Pacarmu!"
Beberapa murid menahan tawanya setelah mendengar kata pacar.
"Coba jelaskan bagaimana terbentuknya batu meteor?" karena tak dapat jawaban dari Aarun, sang guru pun balik bertanya tentang materi yang ia bawakan guna mengetes Aarun sejauh apa anak itu mengikuti pelajarannya.
Aarun mencoba mengingat-ingat apa tadi yang gurunya terangkan didepan "Sial aku tidak mengingat apapun," batinnya.
"Jawabannya ada di catatanmu!" Tekan guru yang masih berdiri tegas didepan kelas tersebut.
Aarun melirik buku yang ada di atas mejanya, buku itu hanya lah buku kosong karena sedari tadi ia memang tidak mencatat.
Ardo yang seakan tahu temannya sedang kesulitan langsung menggeser bukunya agar Aarun dapat membacanya, ia secara pelan menunjuk jawaban yang ada di bukunya tersebut.
"Batu meteor terbentuk jika suatu meteoroid tidak habis terbakar dalam perjalanannya di atmosfer dan mencapai permukaan bumi, benda yang dihasilkan disebut meteorit atau batu meteor." Baca Aarun dengan datar.
Sang guru hanya memutar bola matanya setelah mendengar jawaban Aarun yang memang hanya mendapat jawaban di buku tersebut, ia tahu jika Ardo teman sebangku Aarun lah yang memberikan catatan, ia tahu jika anak itu sedari tadi tidak memperhatikannya mengajar, ini bukan yang pertama kalinya Aarun seperti ini namun ini sudah kesekian kalinya.
"Semuanya kumpul catatan kalian didepan!" Suruh sang guru.
Semua anak murid pun langsung menyimpan buku catatan geografi mereka pada meja guru tersebut, sedangkan Aarun hanya melihat teman-temannya sibuk mengumpulkan catatan mereka termasuk Ardo, Ardo kembali duduk dimejanya dan menatap Aarun lekat seolah bertanya bagaimana nasib sahabatnya yang tidak mempunyai catatan itu.
"Bro. Sekarang bagaimana?" Tanya Ardo yang pusing melihat Aarun yang masih tidak berkutik sedari tadi.
Aarun tiba-tiba saja berdiri ditengah teman-temannya yang sudah duduk ditempat mereka membuat semuanya berbalik melihatnya termasuk gurunya.
Tanpa berkata apapun Aarun mengambil tasnya lalu keluar dari kelas yang membuatnya sesak itu, ia masih mendengar teriakkan gurunya yang murka memanggil namanya namun apa peduli ia tahu dirinya tetap akan dikeluarkan karena dia memang tak mencatat apapun, maka inisiatifnya adalah keluar sendiri.
Ia berjalan santai melalui koridor sekolah yang masih sepi mengingat ini masih jam pelajaran berlangsung, kelasnya berada di lantai dua gedung sekolah, kelasnya juga berada pada pertengahan diantara kelas lainnya, di depan kelas-kelas yang berjajar ada jendela yang juga berjajar itu membuat murid-murid sering untuk sekedar bersandar sambil melihat murid lain yang sedang berada di bawah tepatnya sedang berolah raga di lapangan.
Aarun berhenti pada satu jendela dan mulai melihat orang yang sedang bermain basket di sana, mata hitamnya beralih pada pagar besar yang menjadi pembatas antara halaman sekolah dan jalan raya tersebut.
"Bolos sekolah sepertinya lebih baik," batinnya.
"Aarun kenapa kau tidak masuk di kelas?" Langkahnya terhenti setelah ia mendengar namanya di sebut. Ia mendapati empat orang senior dari kelas 3 yang tadi memanggilnya.
"Pasti mau bolos ya." Tebak senior bernama William yang badannya gemuk tersebut.
Ke empat senior itu adalah Ken, Yuda, Vino dan William yang sering terlihat bersiteru dengan guru-guru di sekolah itu, mereka berempat sudah sangat dikenal oleh guru dan juga junior ataupun teman sebayanya.
Yuda adalah seorang anak dari pemilik sekolah sedangkan Ken, Vino dan William juga adalah anak pemilik saham yang memberikan setengah sahamnya untuk sekolah itu membuat mereka disegani oleh para murid lainnya sedangkan para guru tidak bisa melakukan apapun kecuali berdoa agar mereka berempat cepat lulus agar keluar dari sekolah itu.
Entah kenapa sebulan ini keempat lelaki itu terus mendekati dan mengajak Aarun untuk bermain, Aarun terus menolak karena ia rasa dirinya tidak selevel dengan seniornya apalagi ia hanyalah anak miskin yang keluarganya berantakan.
"Atau kau di keluarkan dari kelas, ya?" tebak Yuda.
Aarun kembali berjalan seraya berkata "Aku keluar sendiri."
Ke empat lelaki itu langsung bertepuk tangan seolah melihat muridnya mendapat juara satu di kelas, mereka benar-benar suka jika ada murid yang membangkang seperti mereka.
"Daripada kau jalan sendiri, bagaimana jika ikut bersama kami?" Tawar Ken, Ken tahu jika Ardo tidak ada maka Aarun dapat dirayu dengan mudah.
Hanya Ardo teman yang terus memperhatikan Aarun, makanya Ken sangat benci dengan Ardo yang sok baik itu.
"Memangnya kalian mau kemana?" Tanya Aarun.
"Bertemu gadis cantik," Jawab Vino sambil menaik turunkan alisnya.
Vino adalah lelaki yang sangat mesum, ia bahkan sering menghabiskan malam bersama para gadis-gadis dan menghabiskan uangnya hanya dengan semalam saja, padahal dia masih bersekolah.
Aarun merasa sedikit geli melihat ekspresi Vino, Aarun tidak pernah sekalipun tertarik pada perempuan bahkan memikirkan merekapun belum pernah, hanya satu perempuan yang ia sayangi itu hanyalah kakaknya seorang, gadis yang beda tiga tahun darinya, ia bernama Arin yang kini berkuliah.
Biasa ia akan menolak ajakan ke empat seniornya itu namun hari ini ia ingin mencoba dan melihat apa sebenarnya yang seniornya ingin tunjukkan padanya "Baiklah," jawabnya.