Riski mengangkat wajahnya menatap Ayu, "Sesuatu yang menurut ibu rendah, sebenarnya belum tentu rendah." jawab Riski dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Semoga kamu terus kuat ya, Riski!
"Saya tidak jadi beli, terimakasih!" tukas Ayu lalu langsung berjalan ke dalam rumahnya.
Riski hanya bisa mengelus dadanya sabar, "Ada-ada aja." batinnya.
Ayu tidak jadi membeli dagangan sayuran milik Riski, karena ia sedang kesal sekarang. Padahal menurutnya ia hanya bertanya perihal ekonomi, tapi ia lupa bahwa memang keadaan ekonomi seseorang pasti akan berbeda-beda.
Riski kembali mengayunkan sepeda beserta gerobak yang berisi sayuran itu kembali.
Sudah jauh jalan yang ia tempuh, tetapi belum ada yang membeli sayurannya. Bagaimana jika tidak ada yang membeli? Apakah Riski akan mendapatkan uang? Apakah jika tidak ada yang laku, maka ia juga tidak mendapatkan uang?
Riski berhenti dan istirahat di sebuah pos kamling sebuah desa. Di sana ia hanya duduk termenung menatap tubuhnya beserta sayuran itu. Ia ingin menangis kali ini, begitu susahnya mencari uang? Apakah Sastro, Ibu Riski juga berjuang seperti ini demi bisa memberinya makan? Tetapi, Riski membayangkan seseorang yang sudah sukses, mencari uang hanya dengan memberi kata-kata semangat. Segampang itu? Lalu kenapa ada orang yang berjuang menggerakan seluruh tubuhnya dengan maksimal, tetapi hasilnya kenapa masih segini aja?
Lamunan Riski di kagetkan dengan seorang lelaki tua yang menghampirinya, "Kamu yang jual ini?" tanya laki-laki itu.
Riski menjawab dengan anggukan.
Laki-laki itu heran, kenapa bisa bocah yang seharusnya belajar untuk sekolah tetapi malah bekerja, lalu ia menanyakannya lagi, "Kenapa kamu jualan?"
"Untuk menambah uang jajan." jawab Riski lemas, tenaganya sudah habis mengayun sepeda beserta gerobaknya ini terlalu jauh.
Laki-laki itu tampak mengerti apa yang sedang Riski alami, ia tak menanyakan apa-apa lagi dan malah ikut membantu Riski, "Harga semua ini berapa?" tanyanya sambil tersenyum, dan duduk di sebelah Riski.
Riski terlonjak kaget, "Beneran mau di beli semua? Kakek yakin?" Riski menatapnya dengan serius dan optimis. Riski juga memanggilnya kakek, karena kulit di tangannya sudah mulai keriput.
"Iya, biar kamu bisa cepat pulang dan belajar untuk sekolah besok. Kamu masih sekolah kan?" laki-laki itu mengetahui bahwa Riski sekolah karena Riski juga membawa tasnya yang berisi buku dan juga seragam sekolah miliknya.
"Wah, makasih banyak kek. Aku gak tau mau gimana." kemudian Riski mengeluarkan selembar kertas berisi daftar harga sayurnya. Riski mulai menghitung satu persatu tanpa menggunakan kalkulator, ia sangat berhati-hati.
Kakek itu hanya tersenyum, ia senang karena masih muda sudah berjuang sekeras ini. Karena kebanyakan anak muda di jaman sekarang, senang bermalas-malasan.
"Sudah menghitungnya?" tanya kakek itu ramah.
"Sudah, semuanya 250 ribu kek. Ini beneran kan? Nggak lagi ngerjain?" tanya Riski memastikan lagi.
Kakek itu justru malah tertawa dan menggelengkan kepalanya, "Ini beneran, saya bantu untuk mengemasi satu persatu yaa?"
"Wah, boleh banget. Ini kantong kreseknya kek." Riski sangat bersemangat, apa yang di pikirkan sedari tadi akhirnya terjawab sudah. Jika semua sayuran habis, otomatis ia akan mendapatkan upah.
Tetapi, di sisi lain Riski penasaran. Buat apa sayuran dan beberapa lauk ini buat kakek? Apakah ia hanya mengasihaniku atau emang untuk di masak juga?
Lalu, Riski menanyakan hal itu, "Kek, kalo boleh tau. Buat apa sayuran dan beberapa lauk ini? Kakek sedang ada acara ya di rumah?"
"Kebetulan anak kakek emang mempunyai usaha katering. Jadi setiap harinya membutuhkan sayuran, terkadang juga lauk. Tetapi berhubung di sini kakek nggak tau lagi membutuhkan apa, yaudah di beli semua biar dia yang masak." jelas kakek itu sembari membungkus sayurnya.
Riski mengangguk, "Jadi, kalo membutuhkan sayuran lagi nanti bisa hubungi Riski, kek. Nanti akan di antar sampai sini deh, jadi nggak perlu repot ke pasar." Ini kesempatan Riski mempunyai pelanggan yang tetap.
Kakek itu semakin kagum dengan semangat Riski. Ia melihat cucunya yang seusia dengan Riski, setiao harinya bermalas-malasan. Bahkan, untuk belajar saja ia tidak mau. Belajar jika saat mendekati ulangan saja, dasar.
"Nanti kakek bicarakan sama anak dulu, ya. Pasti dia akan senang kalo bisa di antar sampai rumah, betul apa yang kamu katakan."
Senyuman Riski mengembang sangat lebar.
Setelah semua sayuran sudha terbungkus rapi, kakek itu mengeluarkan uang di sakunya, "Ini ada 300 ribu. 250 ribu nya buat sayuran, dan yang 50 ribu buat kamu. Di tabung yaa." kakek itu memberikan uang itu ke Riski.
Tetapi tangan Riski bergerak sendiri, ia seperti tidak percaya akan hal ini. Benar-benar kejadian yang luar biasa hebat menurutnya. Di satu sisi, sayurannya habis, di sisi lain ia juga mendapatkan uang tambahan dari kakek itu.
"Udah nggak usah menatap kayak gitu, ini beneran buat kamu. Jangan bilang ke juraganmu ya kalo mendapatkan uang lagi dari saya, sisihkan." nasehat kakek itu.
Tunggu. Kenapa ia tau kalo Riski memiliki seorang juragan? Kenapa ia tau kalo ini bukan milik Riski? Ah pemikiran orang dewasa memang susah di tebak.
"Makasih banyak kek." Riski menyalami tangan si kakek dan menangis di hadapannya. Entah apa yang membuat ia menangis, tetapi ia sangat bersyukur atas hal ini.
"Kenapa kamu menangis? Sudah, kakek tau semua masalahmu. Ternyata memang benar-benar berat, jadi kamu harus bisa semangat mencari uangnya. Okay?" nasehat kakek itu lagi. Kakek itu ternyata di kenal dengan orang pintar di desa ini, ia seolah mengetahu beberapa masalah orang yang ia temui. Hatinya ikut menangis ketika melihat permasalahan Riski, anak usia dini tetapi memiliki masalah yang benar-benar gila.
Riski mengangguk. Ia kemudian menyimpan uang hasil sayur dan uang yang di beri oleh kakek.
"Yasudah, kamu buruan pulang. Keburu malam."
"Iya kek, makasih banyak sekali lagi udah mau bantu." jawab Riski, "Oh iya, besok Riski akan ke sini lagi untuk memastikan apakah anak kakek membutuhkan sayursn setiap hari atau enggak. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." jawab kakek itu kemudian ia pergi.
Riski mengayun sepeda itu dengan cepat, karena isi di dalam gerobaknya juga sudah berkurang. Kakinya serasa tidak letih ketika semua sayuran terjual ludess, tangannya juga dengan luwes menyetir sepeda, matanya fokus ke depan.
Setelah sampai di rumah Widya.
Riski mengetuk rumahnya dengan gembira.
Tok, tok, tok.
Pintu itu terbuka, dan Widya sendiri yang membukanya. Widya melihat gerobak sayurnya yang udab ludes, "Habis terjual? Pintar banget kamu jualnya." kagum Ayu.
Riski tersenyum dan membuka tasnya, "Ini uang sayurnya." ia menyerahkan uang 250 ribu tadi.
Ayu tersenyum senang ke Riski, dan menerima uangnya, "Ini 50 ribu buat kamu ya. Karena sudah bisa menghabiskan semuanya. Kamu hebat."
Hati Riski benar-benar senang, ia mendapatkan uang 100 ribu hanya dalam waktu 3 jam.