Descargar la aplicación
61.11% Favorite Girl / Chapter 11: Chapter 11

Capítulo 11: Chapter 11

"Ferisha," kata Alodie tiba-tiba menghampiri Ferisha, duduk di samping Ferisha dengan tenang, tak lupa memasang sabuk pengaman, mengingat pesawat akan segera lepas landas.

Ferisha yang menyadari itu menoleh, menatap Alodie dengan tatapan penuh tanya, "Ada apa?"

Jeda beberapa saat, Alodie diam-diam melirik sang kakak yang tengah fokus bersama dengan Noel, setelah dirasa aman, Alodie kembali memfokuskan diri ke arah Ferisha, "Aku akan menemui seorang pria di Reykjavík," bisik Alodie sangat pelan.

"Apa!?" tanya Ferisha tak percaya.

"Shtt…" Alodie meletakan jari telunjuknya di bibir Ferisha, "Jangan terlalu keras, nanti kakakku dengar," bisiknya sepelan mungkin.

Ferisha menyipitkan matanya lalu berkata, "Kau tak berniat meninggalkan ku bukan?" tanya Ferisha, seolah sadar niat buruk Alodie padanya.

Alodie menggeleng kuat, "Tidak!" sangkalnya. Alodie menghembuskan nafasnya perlahan sebelum melanjutkan kembali ujarannya, "Aku tidak akan meninggalkanmu, namun - aku perlu Noel dan kau pergi bersama kakakku saja, kau–

"Tidak, jangan gila!" tukas Ferisha tak suka dengan ide Alodie.

"Ini hanya sebentar, ayolah. Kakakku akan marah jika tau aku pergi menemui pria asing, namun ini satu-satunya caraku untuk menemukan pria pilihanku, dan Noel akan menjaga ku." Alodie menatap Ferisha dengan tatapan penuh harap.

Melihat tatapan Alodie, Ferisa mencoba untuk menyangkal rasa kasihan dalam dirinya untuk Alodie, "Kau gila! Bagaimana jika Noel mengatakannya pada kakakmu? Itu akan menjadi masalah besar."

"Tidak, aku sudah berbicara dengan Noel, dan Noel setuju untuk membantuku. Sekarang, giliranmu— kau harus membantuku," bisiknya tak ingin Gavin mendengar.

Sejenak, Ferisha tampak diam. Tak tau harus melakukan apa, jika dipikirkan lagi - Ferisha tak mungkin mendahulukan egonya, mau bagaimanapun juga Ferisha perlu membantu Alodie.

"Kumohon," sambung Alodie dengan tatapan penuh harap.

"Jika aku tidak menemukan pria pilihan ku segera, sudah dipastikan aku tidak akan menikah dengan pria yang ku inginkan. Aku pasti dijodohkan karena alasan bisnis," kata Alodie membuat Ferisha semakin merasa bersalah.

Ferisha lagi-lagi menghembuskan nafasnya perlahan, "Baiklah - namun, berhati-hatilah, jangan biarkan pria mana pun melakukan hal buruk padamu," kata Ferisha dengan nada malas.

Alodie yang mendengar itu pun menganga tak percaya, senyumnya mengembang, Alodie sepertinya ingin berteriak, namun - mengingat kehadiran Gavin yang tak jauh dari mereka berada, membuat Alodie mengurungkan niatnya.

"Terimakasih, Ferisha. Kau yang terbaik," kata Alodie dengan senyum hangat sambil mengedipkan sebelah mata.

***

"Kak, kau bisa pergi bersama Ferisha ke resort terlebih dahulu, 'kan? Ada sesuatu yang ingin ku beli, Noel mau menemani ku," kata Alodie berjalan menghampiri Gavin.

Gavin menoleh, menatap datar ke arah Alodie, kemudian beralih pada Ferisha yang tampak memasang raut wajah tanpa ekspresi.

"Pergilah," kata Gavin pada Alodie.

Alodie bersorak dalam hati, namun tetap saja Alodie bersikap biasa saja dan seolah semuanya tak masalah. Jelas agar Gavin tak curiga, entahlah.

"Jangan terlalu keras pada teman ku, kak!" peringat Alodie yang tidak mendapat respon apapun dari Gavin, Gavin memilih untuk berjalan ke arah dimana mobil berada, ya— mobil yang sudah terparkir tak jauh dari pesawat pribadi Stevenson berada.

Alodie menoleh ke arah Ferisha, memasang senyum andalannya, "Jika kakakku terus memasang raut wajah datar dan tatapan tak bersahabat, acuhkan saja." kata Alodie.

Apa katanya? Raut wajah datar dan tatapan tak bersahabat? Tak tau saja bagaimana sifat Gavin jika sedang berada dengan Ferisha.

"Ya, aku mengerti. Tenang saja," kata Ferisha melangkah meninggalkan Alodie dan segera menyusul Gavin yang sudah berada di dalam mobil.

"Maaf, kau menunggu lama," kata Ferisha masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Gavin.

Gavin menoleh, kemudian kembali memfokuskan diri ke arah iPad yang ada di tangannya.

"Jalan," kata Gavin dengan tutur kata dingin yang langsung disetujui oleh sang sopir.

Ferisha merasa, jika Gavin sungguh merupakan pria pekerja keras, tak heran jika saat ini Gavin benar-benar fokus pada iPad yang ada di tangannya itu, sebuah proyek resort yang akan dibangun di negara ini, Islandia— Reykjavík. Sebagian mungkin sudah siap huni, hingga Ferisha, Alodie, Noel dan Gavin pergi menuju resort. Namun, sebagian lagi masih dalam proses penyelesaian.

"Apa ingin mampir ke suatu tempat?" tanya Gavin tanpa mengalihkan arah pandangnya.

Ferisha menoleh, dengan perasaan gugup, menunjuk dirinya sendiri, "Aku?" tanya Ferisha memastikan.

Mendengar itu, Gavin mendongakan kepalanya, menatap Ferisha dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, "Ya, baby. Aku tak mungkin bertanya pada sopir ku," balasnya.

Ferisha berdehem gugup, ia menggeleng pelan, "Tidak." balasnya.

Gavin mengangguk, kembali pada pekerjaannya, jelas saja Gavin tak bisa jika harus terus menundanya, Gavin harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai ke tempat tujuan, tak ada mobil yang ditumpangi Noel dan Alodie, jelas saja karena mereka sedang pergi ke suatu tempat. Itu berarti, hanya ada Ferisha dan juga Gavin saja disini.

Tak masalah, Ferisha harus bersikap lebih baik, dan berpikir dengan sejernih mungkin. Ferisha tau, jika Gavin tak akan melakukan apapun padanya.

"Hati-hati, baby." kata Gavin pada Ferisha saat setelah mereka keluar dari dalam mobil.

Ferisha tak memperdulikan apa yang Gavin katakan, dirinya terus berjalan memasuki kawasan resort, membuat Gavin berdecak sebal dan segera menyamakan langkahnya dengan Ferisha, tak lupa melingkarkan tangan kekarnya di pinggang Ferisha.

Ingin rasanya Ferisha menolak, namun - menyadari aura tak bersahabat yang Gavin pancarkan, membuat Ferisha menghembuskan nafasnya kesal.

Drttt…

Ferisha tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Gavin sontak ikut menghentikan langkahnya, menatap Ferisha yang tengah sibuk meraih benda pipih dari dalam tas selempang miliknya.

-Unknown Number

Sebenarnya Ferisha enggan menerima panggilan itu, Ferisha jelas tau siapa sang penelpon yang baru saja membuat ponsel ya berdering.

"Jika kau tidak ingin menerima panggilan sialan itu, tak masalah, baby." kata Gavin tiba-tiba, membuat Ferisha mendongakan kepalanya, seketika pandangan mereka bertemu. Ferisha merasa dirinya benar-benar membutuhkan Gavin sekarang, ada rasa sakit yang tak bisa Ferisha definisikan.

Belum sempat Ferisha menerima panggilan itu, panggilan tiba-tiba terputus begitu saja, tergantikan dengan salah satu pesan masuk.

Ferisha segera menundukan kepalanya, menatap ke arah layar.

Unknown Number - just now || Aku sedang berlibur di Islandia bersama Ayah dan Ibu, aku sangat senang.

Melihat pesan itu masuk, disertai sebuah gambar dimana Jesy, Daniel dan juga Rivera tengah tersenyum ke arah kamera, dengan Daniel juga Rivera yang saling mencium kedua pipi Jesy. Rasanya, hati Ferisha sakit.

"Tak masalah, jangan pikirkan hal itu." kata Gavin meraih ponsel milik Ferisha kemudian memasukan ke dalam saku celananya.

Ferisha yang melihat itu melongo tak percaya, apa yang Gavin lakukan?

"Jangan membantah, dan ayo masuk." kata Gavin kali ini meraih tangan mungil Ferisha, dibawa ke dalam genggamannya kemudian mereka berjalan memasuki resort yang sudah siap huni.


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C11
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión