Lapisan keringat di tubuhku. Pemandangan yang tidak pernah berubah. Pertemuan dengan Jason selalu membuatku berlari. Seperti jika aku tidak berhenti, kebenaran akan menerkam aku dan memakanku utuh.
Ia yang merupakan kemanisan setelah kepahitan berubah menjadi kopi filter. Menari - nari diatas setiap kata di lidahku, menetap di ususku seperti racun yang membusukanku dengan setiap kenangan teresap.
Aku kira dia adalah cinta terakhirku. Tetapi, sekarang ia seperti api yang mengejarku. Dan aku kabur melalui setiap ladang bunga dan arcade. Melalui semua kafe dan museum cinta.
Tetapi, sampai berapa lama aku akan tetap seperti ini ? Sampai nafas di paru - paruku menghilang ? Sampai karatan ingatanku dan pernikahan mereka terlaksanakan ? Kenapa aku membiarkan asam laktat menyerbu tubuhku untuk sebuah maraton tanpa hadiah ?
Kakiku berhenti. Di bawah sinar matahari Juni, dunia terlihat indah , bahagia, tanpa noda. Seakan - akan aku adalah tempelan foto yang di taruh di lukisan ternama. Bukan bagian dari penampilan yang diinginkan.
"Meskipun dunia penuh kegelapan, kamu memancarkan sinar di lautan matamu. Kuharap kamu tidak melupakan itu."
"Bukan… kamu lebih seperti lautan di bulan Juni. Sebuah tempat untuk bernafas di tengah desakan matahari."
Dalam keputusasaan, ku mencari cara berbaur, ku teringat akan satu-satunya orang yang membuatku terasa menjadi bagian dari kebahagiaan. Dimana aku lebih dari sekedar tempelan yang tidak diinginkan.
Cassius Dawson.
"Tut tut tut,"
Tanpa berpikir panjang, jariku menekan tombol telepon. Apakah aku mulai terbiasa mencarinya saat aku gundah ? Dua orang tak saling mengenal , calon suami istri. Dimana sebenarnya batasan diantara kami berdua ?
Sebelum aku bisa membatalkan panggilannya, suara tenang Cassius terdengar dari speaker iPhoneku, halus seperti aliran sungai menerjang duri di hatiku.
"Kusenang kamu mengingatku, apa yang bisa kubantu, cintaku ?"
Dari telepon, aku bisa mendengar suara ketikan laptop, meskipun terlihat senggang, sepertinya Cassius sedang di tengah pekerjaannya.
Sejenak aku ragu, apakah aku boleh mengganggunya di saat ini ?
Lebih dari itu, bagaimana aku dapat berkata bahwa aku bertemu dengan Jason, bahwa aku melakukannya untuk kabur dari rasa sesak yang sangat menghimpit.
Kuingin berkata bahwa dialah satu - satunya jalan yang rela ku ambil untuk keluar dari sini. Tetapi, ingatanku kembali di waktu ia membuatku bertemu dengan Susana. Dan bibirku tidak dapat menghentikan diriku dari berprasangka.
"Apakah kamu yang merencanakan ini? "
Ketikan di ujung telepon berhenti. Signal dia terkejut ataukah karena merasa bersalah? Mungkin pada dasarnya, aku ingin mencari seseorang untuk disalahkan atas semua peristiwa ini.
"Apa yang kamu bicarakan ?"
Pertanyaan itu yang ingin kuajukan kepada diriku sendiri. Kenapa aku berperilaku seperti ini. Menyalahkan orang lain atas ke tidak nyamananku . Tetapi, sebagian dari diriku berbisik, 'kau hanya ingin perhatiannya.'
"Aku bertemu… Jason."
Kali ini suara ketikan diganti dengan suara orang berdiri, telapak kaki bertemu dengan lantai. Langkah terburu - buru seakan menghindari gelombang di belakangnya.
"Kamu dimana ? Aku ingin bertemu denganmu."
Dari reaksinya , sepertinya Cassius tidak mengetahui apa - apa. Tetapi keinginan untuk melanjutkan cerita ini tetap bersemayam di dalam hatiku, seperti biji yang mulai bertunas.
"Kamu tidak menjawab pertanyaanku."
"Tentu saja aku tidak melakukannya, katakan apakah ada lelaki di dunia ini yang akan membiarkan calon istrinya bertemu dengan mantan kekasihnya?"
Argumen yang masuk akal. Sampai Susana kembali di benakku. Dalam sekejap, tuduhan di suaraku menjadi nyata. Amarah yang menyala.
"Kamu mempertemukan ku dengan penghancur hubunganku."
Amarah yang tidak punya tempat untuk ditujukan.
"Itu adalah hal yang berbeda. Kamu harus mengerti aku adalah orang yang posesif, Eliana."
Posesif dan Cassius ? Aku tidak bisa menghubungkan kedua kata itu. Bukankah orang seperti itu biasanya mengendalikan dengan genggaman seperti ular ?
"...."
Apakah ini episode dimana anak baik berpura - pura menjadi liar.
Kuhampir tertawa, jika bukan karena pernyataan Cassius selanjutnya.
"Tetapi perasaanku tidak penting, kubayangkan kamu merasa sangat kesal sekarang Eli ?"
Aku diam sebentar. Kebingungan kenapa dia menanyakan sebuah hal yang begitu jelas. Apa yang akan terjadi jika aku kesal. Apa yang akan berubah jika aku kesal? Tidak ada.
Tetapi meskipun aku berpikir begitu. kuterpancing keluar tanpa perlawanan. Seperti ikan di hadapan umpan.
"Iya.."
Dan daripada membelaku, ia menaruh aku di air yang bening.
"Bagaimana jika kita melampiaskannya ?"
_____________
Tidak sampai 15 menit, Cassius datang menjemputku dengan senyuman hangat di mukanya. Kali ini apa cara pelampiasan amarahku ? Terakhir kali dia mempermalukan Susana dan hampir mengambil semua tamu pernikahannya.
Meskipun ia tidak menyebut Susana dan Jason sama sekali-, pola pikirku sudah terjebak akan ide balas dendam. Jadi saat dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah sport center, aku tercengang.
"Ini ide pelampiasanmu ?"
Melihatku terperangah, mata Cassius bertambah cerah seperti ada lampu pijar di dalamnya. Atau dalam kata lain, seperti ia menertawakanku.
"Jangan meremehkan olahraga Eliana, percayalah kamu akan merasa lebih ringan dan plong setelah ini."
Dari bagasi Cassius mengeluarkan dua set baju olahraga berwarna putih, menyerahkan set yang berukuran lebih kecil kepadaku lengkap dengan sport branya.
'Kenapa dia membawa pakaian dalamku.'
Sekali lagi, aku ingin menampar seseorang, bukan karena dari amarah tapi rasa malu.
"….Jadi apa yang akan kita lakukan ?"
Olahraga selalu merupakan kelemahan aku. Sejak hari kelahiranku, yang kulakukan hanyalah yoga dan taekwondo yang diharuskan oleh keluargaku. Alaram berdering di kepalaku. Hanya membayangkan betapa aku akan dipermalukan setelah ini membuatku ingin mengubur diriku.
"Bermain tenis."
"….."
Bagus! Permainan yang peraturannya bahkan aku tidak ketahui. Sambil mengikuti langkah pelan Cassius ke lapangan tenis, aku mengumpati alasan kenapa kita bermain tenis dan bukan table tenis atau badminton.
Kukira waktu akan memanjang, tertarik hingga setiap langkah yang kuambil terasa seperti jam. Tetapi sebelum kusadar, aku sampai di tempatnya. Lantai akrilik yang kukenal dari materi yang ku pelajari mengenai material. Jaring putih yang memanjang. Dua raket di tangan Cassius.
Astaga, aku beneran akan bermain tenis.
Butuh beberapa puluh detik dan perpindahan raket tenis dengan garis kuning, oranye, hitam dan pink ke tanganku sebelum realitas sepenuhnya masuk ke otakku.
"Tunggu sebentar aku tidak bisa main tenis..!"
Di saat itu, aku merasakan tatapan mencurigai. Kenapa dia melihatku seolah - olah Leonardo da Vinci tidak bisa melukis. Seolah - olah Hanyu Yuzuru tidak bisa ice Skating. Seolah - olah aku berbohong.
"Kamu selalu bisa mempelajarinya," lanjutan kata itu datang sebegitu halus aku hampir tidak menangkapnya,"..lagi."
Lagi ?
Apakah dia sedang berbicara dalam bahasa lain. Aku tidak bisa mengenalinya . Sebenarnya, apa yang dalam pikirannya ?
"Jadi yang pertama kamu perlu pelajari adalah cara memegang raket, untuk forehand dan backhand. Ini pegangan forehand."
Cassius mendemonstrasikan metode yang benar, dengan pertama menaruh raket di lantai dan mengambilnya dengan telapak tangan mengarah ke bawah.
"Untuk pukulan forehand, setelah melempar bolanya, kamu harus mengayunkan-"
Bosan dengan penjelasan Cassius, aku mencoba pukulan forehand dengan iseng. Tanganku berpindah dari ke bawah sampai ke atas bahu kiri. Entah kenapa, gerakan itu terasa familier seperti aku telah melakukannya sebelumnya.
"Iya, seperti itu." Cassius berbisik sesuatu hal yang terlalu rendah untuk terdengar. "Rupanya kamu masih mengingatnya."
"Eh, beneran ?"
Kebanggaan memenuhi dadaku. Meskipun itu adalah keberuntungan pemula- aku berhasil melakukannya dengan benar.
"Kalau begitu bagaimana jika kita langsung bermain, aku akan melakukan serve."
Maaf aku telat 2 hari TT Chapter 15 akan diupload dalam 15 menit