'Pengecut!'
Satu kata yang terus terngiang di kepala Langit sejak pembicaraannya dengan Mauren semalam. Apa benar dia pengecut? Bersembunyi dengan niat untuk melindungi hati Maura, tetapi sesungguhnya dia takut menerima kenyataan. Apa itu benar yang sebenarnya dia pikirkan saat ini?
"Ada apa Bapak Langit? Kenapa muka Anda suram sekali hari ini?" goda Jery yang baru saja duduk di sofa single tepat di samping Langit terlihat sedang merenung. Laki-laki itu masih memakai piyama padahal matahari sudah membumbung tinggi. Langit biasanya sudah rapi meski di hari libur seperti sekarang.
"Apa gue beneran pengecut?" gumam Langit sembari menghela napas, lalu menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Ditatapnya langit-langit ruang tengahnya yang dicat dengan bentuk awan sesuai permintaan Lesi.
Jery yang mendengar gumaman itu tentu saja bingung. "Siapa yang berani ngatain lo kayak gitu?" Terdengar serius, sebelum seringai kecil muncul dari bibir laki-laki keturunan Jawa dan Inggris itu muncul.
"Nggak mungkin Ara, kan?" ujar Jery lagi, ikut menyandarkan kepalanya pada punggung sofa dan melakukan hal sama dengan Langit, menatap gambar awan di atas sana.
"Kakaknya Ara," bisik Langit sembari menegakkan tubuhnya, ada helaan lelah yang muncul dari bibirnya.
"Mereka udah ketemu?" Sedikit banyak Jery tahu apa permasalahan yang terjadi di hidup calon istri sahabatnya ini karena Langit memang sering bercerita padanya.
Langit mengangguk, lalu menceritakan apa yang terjadi tiga hari lalu, juga semalam. Pembicaraannya dengan Mauren yang tidak berakhir baik, malah dia yang disebut seorang pengecut.
Jery yang mendengar bagian Langit berbicara dengan Mauren dan gadis itu mengatai sahabatnya pengecut, memancing tawa laki-laki itu meledak. "Baru kali ini gue denger ada cewek berani ngatain lo kayak gitu."
Langit yang kesal karena ditertawakan hanya bisa berdecap. Namun, memang kenyataannya seperti itu. Dari dulu semua gadis yang berada di sekitarnya selalu memujinya, belum ada yang seberani Mauren. Dan jujur, dia agak syok mendapat sikap ketus yang gadis itu tunjukkan.
"Tapi kenapa, gue malah setuju, ya, sama kata-kata si Mauren itu." Jery kali ini berusaha serius. "Kenapa lo nggak cari tahu tentang masa lalu Ara?"
Langit yang tidak bisa menjawab hanya diam, alasan memberikan Maura privasi rasanya memang tidak masuk akal. Apa benar dia terlalu takut mendengar masa lalu gadis itu? Takut jika hatinya akan goyah?
"Harusnya lo cari tahu seperti apa gadis yang mau lo nikahin. Jangan sok jadi orang baik dengan ngomong bisa menerima kekurangannya. Gimana kalau ternyata masa lalunya itu sesuatu yang fatal?" Sebagai sahabat Jery tidak mau Langit kecewa setelah menikah dan hidup dalam penyesalan.
"Gue ...." Langit bahkan tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk merespon kalimat yang Jery ucapkan. Sepertinya benar apa yang Mauren katakan, dia ini adalah pengecut.
"Tapi ngomong-ngomong, Mauren itu cantik nggak?" Jery mulai dengan gaya playboynya. "Maura, kan, cantik, harusnya kakaknya cantik juga dong."
Langit berdecap sembari melempar bantal sofa ke arah wajah Jery yang mulai menunjukkan cengiran menyebalkan.
"Lo saingan sama Bumi kalau mau deketin dia." Langit bangkit karena Lesi sudah mulai terdengar suaranya. Gadis itu biasanya akan mencarinya saat bangun tidur.
"Bumi?" Jery mengernyit bingung mendengar adik Langit itu disebut.
"Dia ceweknya Bumi," jawab Langit tanpa menoleh, dan meneruskan langkah untuk naik ke lantai dua. Meninggalkan Jery yang sedang mengerutkan keningnya semakin dalam.
"Kakak sama adek, yang sini juga kakak sama adek?" ujar laki-laki itu bingung. "Terus kalau dua-duanya nikah manggilnya gimana?" lanjutnya pusing sendiri mengetahui fakta yang ada.
*
"Dia nggak gangguin kamu, kan?" Pertanyaan dari seberang telepon itu memunculkan senyum di wajah Mauren. Setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar, akhirnya Bumi menghubunginya.
"Enggak," jawab Mauren tidak sepenuhnya berbohong. Langit sudah tidak lagi menganggunya semenjak pembicaraan terakhir mereka empat hari yang lalu.
Terdengar desahan lelah dari seberang sana. "Kangen kamu."
Bisikan itu kembali memunculkan senyum di bibir Mauren. Dia pun merindukan sosok Bumi yang kini ada di luar Pulau Jawa. Tidak mungkin untuk Mauren menyusul karena deadline pekerjaannya sungguh sedang banyak dan harus segera diselesaikan. Apalagi beberapa penulis yang dia kerjakan naskahnya ada yang membuat ulah. Perasaan Mauren yang sedang tidak baik beberapa hari ini membuat pekerjaannya sedikit berantakan.
"Minggu depan sepertinya aku ada jadwal di Jogja. Kamu bisa dateng?"
Mauren tidak langsung menjawab karena harus mempertimbangkan apakah pekerjaannya sudah selesai hari itu. "Aku nggak tahu," ujarnya saat merasa yakin pekerjaannya belum selesai.
"Kalu gitu nanti aku yang susulin kamu kalau ada waktu." Bumi terdengar sangat merindukan Mauren saat ini.
"Jangan dipaksain, nanti kamu malah sakit kalau terlalu capek." Mauren tidak mau hanya karena dirinya pekerjaan Bumi jadi berantakan.
"Tahun depan tour-ku selesai. Jadi kita punya waktu banyak untuk ketemu," ujar laki-laki itu tanpa menanggapi kalimat Mauren.
Mauren yang mendapatkan informasi tersebut otomatis langsung melarikan matanya ke kalender. Dan mendapati tahun depan yang Bumi maksudkan masih beberapa bulan lagi. "Masih lama," ujarnya.
Terdengar suara senyuman dari seberang. "Sabar aja, ya. Setelah tour-ku selesai kita bisa bicarakan masa depan kita."
"Heem?" Mauren sedikit terkejut dengan kalimat yang Bumi katakan. Apa pembicaraan masa depan yang dia pikirkan sama dengan yang laki-laki itu pikirkan? Mauren tidak berani bertanya jelas karena takut kecewa, dan takut Bumi jadi tertekan jika dia salah menebak.
"Tahun depan aku berencana untuk mempublikasikan hubungan kita. Kamu nggak keberatan, kan?" tanya Bumi serius.
Dulu Mauren keberatan, tetapi untuk sekarang sepertinya tidak. Dan lagi, hubungan mereka tidak mungkin disembunyikan selamanya, bukan? Namun, bagaimana kalau banyak orang yang akan memandang sebelah mata dirinya? Bumi begitu dikagumi, memiliki paras dan postur tubuh yang nyaris sempurna. Bagaimana dengan dirinya yang biasa saja ini? Apakah tidak akan dihujat?
"Ren," panggil Bumi karena Mauren tidak menjawab.
"Apa nggak masalah?" tanya gadis itu ragu. Dia tidak percaya diri dengan penampilannya.
"Apanya yang masalah? Aku bakalan mamerin pacar aku yang cantik ini, kenapa harus masalah? Sekarang juga aku publikasikan bisa." Andai saja Mauren setuju, sudah dari lama Bumi ingin mengabarkan pada semua orang jika dia sudah memiliki kekasih.
"Jangan gegabah," ujar Mauren yang sudah memikirkan konsekuensinya. "Lebih baik nanti saat kamu udah menetap di sini. Walaupun sesekali kamu akan ke luar kota, tapi seenggaknya kamu udah punya tempat pasti untuk pulang."
"Oke," jawab Bumi cepat. Apa pun yang Mauren mau akan dia turuti. "Kamu persiapkan diri kamu untuk hari itu. Karena aku juga bakalan serius sama hubungan kita di hari itu."
Mauren tersenyum, lagi-lagi takut untuk berpikir jauh. Setelah mengobrolkan hal-hal tidak penting sambungan telepon berakhir karena Bumi harus latihan. Tepat saat itu juga pintu depan kontrakan Mauren diketuk seseorang. Mauren pikir itu adalah kurir makanan yang sedang ditunggunya. Namun, siapa yang menyangka jika yang berdiri di hadapannya adalah wanita yang telah melahirkannya. Mauren tidak mungkin menghindar lagi, bukan? Mungkin ini memang sudah waktunya dia harus menghadapi masa lalunya.