Ardian sedikit ragu saat mendorong pintu ruangan tertutup di depannya. Sebenarnya dalam pikirannya sudah bisa menebak siapa orang yang kini ada di dalam. Hanya untuk memastikan dugaannya benar, maka laki-laki dengan rambut gondrong itu membuka pintu dengan sedikit cepat. Dan saat sudah melihat orang yang mencarinya benar seperti yang ada di kepalanya, laki-laki itu kembali keluar dengan perasaan kesal. Kenapa peringatan dan kata-katanya seperti tidak didengar? Dia hanya ingin dihapus dari memori orang-orang itu.
"Tunggu! Lo harus dengerin dulu gue ngomong, Bum!"
Tidak dipedulikannya teriakan itu, Ardian terus berlari keluar sembari merogoh ponselnya untuk menghubungi Mauren.
"Yang, aku tunggu di mobil, kamu cepetan keluar." Setelah mengatakan itu Ardian mempercepat langkahnya, tetapi sial karena orang yang mengejarnya berhasil mencekal lengannya.
"Lo mau berhenti, kasih waktu gue ngomong, atau keberadaan kita bakalan nyita perhatian orang?"
Mata Ardian pun sontak mengedar ke sekeliling dan beberapa orang sudah mulai mengalihkan perhatian pada mereka. Andai saja sekarang dia tidak sedang menunggu Mauren keluar, tentu saja dia bisa lari ke mobil dan semuanya selesai. Namun, kali ini dia tidak mungkin meninggalkan gadis itu begitu saja.
"Oke, lima menit, nggak lebih," ujar Ardian pada akhirnya. Kakinya mengayun keluar kafe untuk menemukan tempat tenang yang tidak akan menyita perhatian banyak orang.
*
Langit menghela napas pelan sembari mengawasi Lesi yang kini sedang bermain air di tepi pantai. Suasana tidak terlalu ramai, tetapi tidak juga bisa dikatakan sepi.
"Papa sakit parah, dan dari kemarin dia terus berharap bisa liat muka lo," katanya sembari menoleh sekilas pada adik laki-lakinya yang akhirnya bisa ditemuinya. Tiga tahun terakhir ini Bumi atau Ardian terus saja melarikan diri ke beberapa kota untuk melakukan tour konser, dan sulit sekali untuk diketemukan karena selalu menghindar setiap kali dia datang. Malam ini ternyata pengecualian.
Terdengar dengkusan sini yang keluar dari bibir Bumi. Entah mengapa tidak ada rasa cemas atau simpati sama sekali saat mendengar kabar papanya sedang sakit keras. Dia sudah terlalu kecewa dengan sikap yang pernah papanya tunjukkan di masa lalu. Karena laki-laki itu, selama bertahun-tahun ini dirinya selalu saja mengalami mimpi buruk. Tidurnya tidak pernah tenang karena terus dihantui oleh rasa bersalah.
"Trik lo nggak mempan, gue nggak bakalan pulang hanya karena itu." Usia kedua laki-laki itu hanya terpaut dua tahun, jadi tidak ada yang memanggil kakak atau pun adik.
Langit megembus napas lelahnya, melambaikan tangan saat putri kecilnya memanggilnya. "Terus, apa yang ngebuat lo pulang? Berita duka dari papa?"
Bumi terdiam, meski dia sangat membenci papanya, tetapi tidak akan sampai hati mendoakan papanya meninggal. Hanya saja dia masih enggan menemui laki-laki itu.
"Dan Lesi, sampai kapan lo mau mengacuhkan dia?" Langit menoleh pada adiknya dan mendapati mata Bumi tengah menatap Lesi yang kini tengah memainkan pasir.
"Gue nggak punya hubungan apa pun sama dia." Bumi meredam keinginan kuat untuk menghampiri gadis kecil itu dan memeluknya. Tidak, dia tidak membenci kelahirannya, hanya saja dia merasa tangannya tidak pantas untuk sekadar menyentuh Lesi.
Langit kembali menghela napasnya. "Tes DNA itu—"
"Cukup!" potong Bumi cepat. Ditatapnya wajah kakaknya yang tampak putus asa. "Lo yang ngambil dia dari panti asuhan, dan lo udah mutusin untuk besarin dia. Tolong jangan sangkut pautin dia sama gue."
"Tapi dia itu—" Kalimat Langit kembali terpotong saat mendengar teriakan Lesi.
"Tante Ren!" Panggilan itu membuat Langit dan Bumi segera menoleh, dan mendapati Lesi kini tengah berlari ke arah gadis yang tampak kebingungan karena keberadaannya diketemukan.
*
Love : Kamu tunggu di mobil, aku ada urusan sebentar.
Pesan yang Ardian kirim beberapa menit lalu. Mauren tentu saja tidak menuruti kata-kata itu karena kini sangat penasaran apakah benar Langit dan kekasihnya saling mengenal. Dengan mengendap-endap, gadis itu mengikuti langkah dua laki-laki itu yang berakhir di tepi pantai. Mauren tidak mendengar apa yang keduanya obrolkan, tetapi dari sini dia bisa melihat keduanya seperti tengah bersitegang.
Jadi mereka benar-benar saling mengenal? Dunia begitu sempit ternyata. Langit adalah calon suami Maura, dan laki-laki itu mengenal kekasihnya. Akan semakin lucu jika ternyata Langit dan Bumi Ardian ternyata adalah kakak adik. Tunggu, Langit? Bumi? Jangan-jangan mereka—pemikiran Mauren terhenti oleh teriakan Lesi yang ternyata mengetahui keberadaannya.
Sudah terlambat untuk kabur karena gadis kecil itu kini berlari ke arahnya, dan kedua laki-laki yang sejak tadi dipantaunya dari kejauhan juga sudah melihat keberadaannya.
"Tante Ren liburan juga?" tanya Lesi penuh semangat saat kini berdiri di depan Mauren yang tampak kebingungan. Apalagi saat sosok Langit dan Bumi berjalan mendekat, gadis itu berniat kabur, tetapi tidak mungkin bisa.
"Papi! Ada Tante Ren!" teriak Lesi lagi sembari melambai ke arah papanya yang tengah berjalan mendekat.
"Kamu kenal mereka?" Bumi langsung mendekati Mauren dan memeluk bahu gadis itu. Hal yang tentu saja membuat Langit langsung mengerutkan kening.
"Kalian saling kenal?" Kali ini Langit yang bertanya dan Mauren hanya bisa mendesah pasrah.
"Kenapa dunia sempit banget?" keluh gadis itu tidak lagi bisa memikirkan apa pun.
*
"Tante Ren, besok aku mau ke zoo, Tante ikut, ya." Lesi belum mengerti ketegangan yang tercipta di antara tiga orang dewasa yang kini duduk di sekitarnya. Mereka kini tengah duduk di sebuah rumah makan karena Lesi merengek ingin makan malam dengan Mauren.
Mauren tersenyum bingung, ditatapnya Langit dan Bumi bergantian. Dia masih belum tahu apa hubungan antara dua laki-laki ini.
"Jadi kalian ini?" Langit yang berinisiatif untuk bertanya terlebih dulu. Sangat penasaran dengan kedekatan yang terjalin antara Mauren dan adiknya. Meski sebenarnya dia sudah bisa menebak apa hubungan keduanya, tetapi Langit perlu konfirmasi langsung dengan jelas.
"Dia cewek gue," jawab Bumi cepat sembari meraih jemari Mauren. Seolah-olah takut kakaknya akan merebut gadis ini.
Langit tersenyum tipis, lalu berujar, "Ternyata dunia itu sempit banget, ya."
Mauren menundukkan wajah, merasa kesal dengan fakta yang Langit beberkan. Kenapa Bumi harus menjadi bagian dari Langit? Salah satu orang yang harus dihindarinya karena berhubungan dengan keluarganya. Kali ini, bagaimana lagi dia bisa kabur dan menyembunyikan diri?
Sementara Bumi yang belum paham hubungan apa di antara Mauren dan kakaknya mengerutkan kening. "Kamu kenal dia di mana?" tanyanya pada Mauren yang terus murung semenjak mereka bertemu dengan Langit.
"Gue calon suami adiknya." Langit yang menjawab, dan Bumi langsung menunjukkan wajah terkejut. Ditatapnya kembali wajah Mauren yang tampak keruh, kini dia tahu apa alasannya.
"Gue harap lo nggak mempersulit dia," ujar Bumi yang merasa yakin kehadiran Langit akan membuat Mauren sulit untuk kembali kabur dan menyembunyikan diri dari orang-orang yang membuat gadis ini kecewa.
"Gue hanya bantu calon istri gue untuk bisa ngobrol sama kakaknya. Apa itu namanya mempersulit?" Langit mendengkus kesal, dia baru sadar jika adiknya dan Mauren memiliki satu kesamaan.
"Lo nggak pernah merasa kecewa sama sesuatu, jadi lo nggak akan paham apa yang kita rasain." Bumi bangkit, berniat untuk mengajak Mauren pergi.
"Kalian itu sama-sama pengecut." Kalimat Langit menghentikan gerakan adiknya dan juga Mauren. "Kalian dua orang yang ngerasa tersakiti, dan memilih kabur tanpa memedulikan perasaan orang-orang yang kalian tinggal," lanjutnya.
"Lo nggak tahu apa-apa, jadi lebih baik lo nggak usah ikut campur." Bumi muak dengan sikap Langit, dan sebelum Mauren bertambah murung, laki-laki itu mengajak kekasihnya untuk segera pergi.