Black menatap Viona seolah mengintimidasi. Pria ini sejak pertama kali Viona bertemu tak pernah terlihat senyum di bibirnya. Entah kehidupan macam apa yang dilalui oleh Black, tapi Viona merasa kalau seharusnya Black bisa bersikap lebih ramah kepadanya.
"Kenapa kau tak pernah tersenyum padaku? Dan kenapa kau tak pernah menjawab pertanyaanku?" cecar Viona dengan berbagai macam pertanyaan.
"Nyonya Watson, tandatangani saja surat kontrakmu. Setelah kau tandatangani, kau boleh langsung bekerja hari ini."
Lagi-lagi Black tak mengindahkan ucapan Viona dan hal itu tentu saja membuat Viona kesal Bagaimana bisa dia bekerja sama di dalam satu atap dengan orang yang seperti ini? Ditambah lagi sosok tuan rumah yang begitu misterius.
Karena terus dipandangi oleh Black dengan tatapannya yang begitu tajam, Viona pun langsung menandatangani surat kontrak itu. Ia langsung memberikan surat kontrak yang sudah ia tanda tangan ini kepada Black.
"Apa yang harus kulakukan hari ini?" tanya Viona dengan nada ketus. Dia memutuskan untuk bersikap ketus kepada Black karena Black selalu mengacuhkannya.
"Bersihkan kamar Jimmy. Sejak kematiannya, tak ada yang berani masuk kamar dia," kata Black.
"Kau memintaku membersihkan kamar orang yang sudah mati?" tanya Viona. "Aku pun tak berani untuk masuk ke sana."
"Kau baru saja dari sana bersamaku, Nyonya Watson."
"Apa kau akan menemaniku di sana, Black?"
"Tentu saja tidak. Aku di sini bukan seorang pelayan," jawab Black dengan mantap.
Viona tak bisa berkata-kata mendengar jawaban dari Black yang begitu lugas namun tersirat secara kasar.
'Kurasa tak ada yang normal di rumah?' ini batin Viona.
"Kau tak perlu khawatir, Nyonya Watson. Orang yang sudah mati tidak akan pernah bangkit kembali," ucap Black. "Kupikir kau cukup berpendidikan untuk tidak meyakini tentang arwah atau sejenisnya."
Mendengar ucapan Black tentang orang mati seketika Viona teringat akan suaminya yang juga sudah mati. "Kau benar akan sangat menyenangkan, jika orang yang sudah mati bisa bangkit kembali."
Black tak mengerti dengan ucapan Viona. Ia hanya mengangkat satu alisnya mencoba untuk memahami kata-kata dari wanita ini.
"Baiklah kau bisa ke belakang. Tanyakan pada orang-orang yang ada di bagian belakang. Tanyakan alat-alat untuk membersihkan kamar Jimmy," kata Black yang kemudian bersiap meninggalkan ruangan itu.
Melihat Black yang segera pergi, Viona pun kebingungan. "Kau mau ke mana?" tanya Viona.
"Aku akan melakukan pekerjaanku," jawab Black. Memangnya kenapa?"
"Hanya begini saja?" tanya Viona.
"Kau juga harus melakukan pekerjaanmu. Kita tidak punya waktu mengobrol setelah masuk di dalam rumah Tuan Drigory, Nyonya Watson," ucap Black dengan wajahnya yang datar.
Black lantas meninggalkan ruangan itu begitu saja. Sementara Viona masih bertanya-tanya dalam pikirannya, kenapa dia bisa terjebak di rumah ini?
"Astaga! Apa yang sudah kulakukan? Kenapa semua hal yang ada di rumah ini terasa aneh bagiku?" Viona mengumpat pada dirinya sendiri.
Viona lantas bergegas keluar dari ruangan itu menuju ke bagian belakang rumah. Lalu ia mengambil peralatan yang akan digunakan untuk membersihkan kamar Jimmy.
****
Kimberly merenung di bawah pohon ceri, setelah kelas Profesor Grey selesai. Gadis itu memang lebih sering diam, setelah kepergian ayahnya. Ia melihat mahasiswa lalu lalang sambil bercanda tawa. Beberapa bahkan terlihat seperti sepasang kekasih. Mereka terlihat begitu mesra.
"Kimberly!" Elena yang baru saja keluar dari gedung jurusan segera menghampiri kliring yang duduk di bawah pohon ceri.
"Hai!" sapa Kimberly asal-asalan.
"Ayo ikut ke pesta," ajak Elena tiba-tiba.
Kimberly menggelengkan kepalanya sambil tersenyum samar. "Aku tak ... Aku tak bisa, Elena." Sekuat hati Kimberly menolak.
"Kenapa? Kenapa kau selalu menyendiri dan tak mau bergabung bersama kami? Apa kau tak mau berteman dengan orang desa seperti kami?" tanya Elena.
"Bukan ... Bukan seperti itu, Elena. Aku tak bisa pergi ke pesta," jawab Kimberly.
Raut wajah Elena seketika berubah nyinyir. "Wanita kota sepertimu, tak suka pesta? Ayolah Kimberly. Jangan menipuku," kata Elena.
"Saat ayahku masih hidup, dia tak pernah mengizinkanku keluar kecuali bersamanya. Setelah dia mati aku bahkan tak berani keluar sendiri."
Mendengar tentang ayah Kimberly seketika Elena merasa bersalah. "Maaf Kimberly, aku tak tahu .... "
"Kenapa kau meminta maaf? Kau kan memang tak tahu?" Kimberly tak ingin Elena merasa bersalah.
"Kalau begitu, ikutlah. Jangan merenungi kesedihanmu. Mungkin ayahmu akan lebih suka, kalau kau bertemu dengan teman-temanmu di sini." Elena kembali membujuk Kimberly.
Kimberly menatap ke arah Elena. Selama ia di kota X, Kimberly memang tidak pernah pergi ke mana pun selain ke kampus dan rumah Nathan tentunya.
"Carilah kehidupan barumu di sini, Kimberly. Kenapa kau harus bersedih?"
"Aku tidak bersedih, Elena."
Elena tersenyum lalu ikut duduk di samping Kimberly. "Kau memang tak bersedih tapi sikapmu menunjukkan kalau kau tak menerima kematian ayahmu."
"Tentu saja dia adalah cinta pertamaku," jawab Kimberly.
"Kau merebut cintanya dari ibumu?" tebak Elena.
Kimberly tersenyum mendengar candaan temannya itu. "Ibuku dan aku lebih sering bertengkar. Dan ayahku yang akan mendamaikan kami. Setelah dia pergi aku dan ibuku jarang bertengkar tapi kami juga jarang bicara."
"Kalau begitu aku akan menjemputmu Sabtu malam, di rumahmu." Elena tiba-tiba memutuskan sendiri.
Kimberly sedikit tak mengerti, kenapa Elena terus memaksa dia untuk datang ke pesta. "Aku tak ingin datang, Elena."
"Kau ingin mengecewakanku?" Elena menatap Kimberly dengan penuh harap. Ia bahkan mengeluarkan jurus pamungkasnya dengan tatapannya yang memelas.
"Oke." akhirnya Kimberly menyerah.
"Benarkah?" Elena segera menyunggingkan senyumnya. Saat mendapat jawaban 'oke' dari Kimberly.
"Tapi aku tak punya gaun?" jawab kembali.
"Pesta ini sama sekali tidak mengharuskan memakai gaun. Kau bebas memakai apapun," kata Elena begitu percaya diri.
Kimberly hanya tersenyum ke arah temannya. Ia senang, paling tidak Ia memiliki Elena di kota ini.
****
Usai jam kuliah selesai Kimberly mencari Nathan yang ada di sudut kampus. Ia harus melakukan apa yang Nathan mau karena ia sudah berjanji untuk menjadi pelayannya.
Saat Kimberly tiba di sudut kampus, ia menemukan Nathan bersama gerombolannya sedang merokok. Beberapa bahkan terlihat memegang minuman beralkohol. Nathan sendiri terlihat duduk bersama seorang gadis seksi dan sesekali mencium bibir gadis itu.
'Kenapa setiap hari, gadis yang bersamanya selalu berganti?' batin Kimberly.
Kimberly langsung menghampiri Nathan di depannya. Gerombolan Nathan yang duduk di sekitar Nathan pun menghampiri Kimberly yang begitu berani mendekati Nathan.
"Tugas apa yang akan kau berikan padaku hari ini?" Kimberly memang sengaja memberanikan diri. Padahal ia sebenarnya takut.
Wanita yang ada di samping Nathan terlihat tak menyukai. "Dia siapa, Nathan?" tanya wanita itu.
"Pelayan baru," jawab Nathan sambil tersenyum ke arah Kimberly.
Teman-teman Nathan menatap Kimberly. Beberapa tersenyum meledek penampilan Kimberly yang sangat sederhana. Bahkan bisa dibilang mirip lelaki. Namun, meskipun penampilannya begitu tomboi Kimberly masih terlihat cantik dengan rambutnya yang pirang.
"Antar aku pulang," kata Nathan.
"Aku tak punya mobil atau kendaraan, untuk mengantarmu pulang," jawab Kimberly.
Bersambung ....