Rembulan menutup mata dengan kedua telapak tangan, kenangan itu berkelebat kembali di pelupuk matanya. Meninggalkan bekas dan tidak akan pernah hilang. Itulah salah satu alasan dia membenci keramaian dan selalu merasa ketakutan. Salah satu alasan yang membuat dia pergi meninggalkan kotanya dan lebih memilih merantau. Walaupun dia tahu, dia tidak akan pernah merasa aman tapi lebih baik pergi. Kalau masih berada di kota itu, hampir setiap sudutnya mengingatkan dia pada peristiwa itu. Rembulan menangis tergugu, pungungnya naik turun. Sarah mendekat kemudian mendekapnya.
"Maafkan aku Lan, maafkan aku," katanya dengan perasaan bersalah. Sarah mendekap Rembulan erat.
***
Sarah sudah terlelap, Rembulan memandangi wajahnya yang terlihat tenang. Ternyata dia tidak pernah bisa marah kepada Sarah. Rembulan malah menyalahkan dirinya karena tidak peka terhadap Sarah.
Sahabat macam apa yang tidak tahu kalau sahabatnya sedang bersedih. Walaupun Sarah jatuh cinta berkali-kali dan patah hati berkali-kali, sebagai seorang sahabat seharusnya Rembulan mengerti dan mau mendengarkan. Sarah memang tidak langsung menceritakan masalahnya pada Rembulan, mungkin karena Sarah merasa segan. Ah, seharusnya tidak perlu ada perasaan semacam itu diantara dua orang sahabat.
***
"Pagi Sar!" Rembulan sedang duduk menikmati kopinya ketika Sarah keluar dari kamar.
"Pagi!" Sarah menyapa dengan suara malas, dia masih mengantuk.
"Kamu itu sejenis makhluk apa sih? Berapa jam kamu tidur?" Suaranya mendadak berubah menjadi galak begitu melihat Rembulan sudah terlihat rapi dan di meja makan sudah tersedia berbagai macam makanan.
"Ini sudah jam delapan Sarah. Kenapa?"
"Jam berapa kamu bangun untuk menyiapkan semua ini, heh! Kamu pasti susah tidur! Harusnya kamu minum obat tidur ,Lan! Kurang tidur juga nggak bagus buat kesehatan. Kamu terlalu sering begadang!" Sarah mulai mengomel. Rembulan berdiri mendekati Sarah lalu mendorong Sarah pelan ke arah meja makan.
"Duduklah dulu, sarapan dan minum kopi! Mengomel juga membutuhkan tenaga." Rembulan tertawa, dia suka mendengar Sarah mengomel. Dia kangen ada yang memarahi dirinya, bagi Rembulan itu salah satu bentuk perhatian untuknya. Kalau di rumah ada mama yang selalu memperhatikan Rembulan termasuk mengomeli dirinya. Sesibuk apapun mama selalu ada untuk Rembulan. Dia hanya tidak suka ketika mama mulai mengatur dirinya soal pekerjaan.
Mama dan papa menginginkan Rembulan menjadi pengusaha atau pekerja kantoran dengan karir yang bagus. Itu tidak pernah ada dalam angan-angannya sedari dulu. Tekadnya sudah bulat ingin jadi penulis.
Dulu dia menulis dengan sembunyi-sembunyi, mengirimkan karyanya ke beberapa majalah dan penerbit. Beberapa majalah menerima karyanya tapi lebih banyak yang menolak. Begitu juga dengan penerbit, tulisannya lebih sering di tolak. Namun Rembulan tidak pernah putus asa, tujuannya sudah pasti dia hanya ingin jadi penulis.
***
"Apa rencanamu hari ini?" Sarah bicara sambil mengoles rotinya dengan selai.
"Nggak ada, seperti biasa di rumah saja. Kamu tahu kan aku benci keramaian dan menghadapi macetnya Jakarta."
"Hmm, seperti biasa...alasanmu tidak pernah berubah. Baiklah, aku temani kamu di rumah tapi nanti sore aku akan pulang."
"Oh, ada janji?" Rembulan melihat Sarah dari balik cangkir kopinya.
"Begitulah...kencan." suara Sarah nyaris seperti orang berbisik. Rembulan tertawa, "Sekarang siapa lagi? Aku kenal?" Sarah menggeleng," Nanti aja kalau sudah benar-benar jadian aku kenalkan sama dia."
"Kamu belum cerita tentang Bagaskara." Rembulan tersenyum canggung.
"Nggak ada yang perlu aku ceritakan, semua sudah berakhir. Dia sudah bertunangan dan aku tidak mungkin memilikinya. Lebih baik aku membuka hatiku untuk laki-laki lain." Sarah tersenyum tipis, terasa getir. Sarah menatap cangkir kopi yang berada di tangannya seolah-seolah itu benda berharga yang harus di jaga dengan segenap jiwa.
"Kamu sangat mencintainya?" kata-kata Rembulan lebih menyerupai pernyataan daripada pertanyaan walaupun nada bicaranya seperti bertanya. Sarah melihat ke arah Rembulan, matanya yang bening bagaikan tersaput awan kelabu. Ada air mata yang nyaris tumpah saat melihat matanya.
"Lan, jangan membicarakannya lagi. Sungguh, aku ingin melupakannya meskipun sangat sulit untukku."
"Aku pikir mungkin dengan menceritakannya padaku kamu bisa sedikit merasa lega." Ekspresi Rembulan menjadi serba salah. Rembulan tidak bermaksud mengorek luka Sarah, sebagai sahabat dia hanya merasa sangat keterlaluan melewatkan bagian kehidupan Sarah yang ini. Dia hanya ingin Sarah berbagi dengannya. Biasanya kalau kita bisa berbagi cerita apalagi cerita itu membuat kita bersedih, ada perasaan satu beban telah lepas. Namun kali ini sepertinya pendapat Rembulan salah.
Rembulan mendengar Sarah menghela napas, terasa berat, "Baiklah, aku akan menceritakannya sekali ini saja dan ini cerita yang terakhir tentang Bagaskara, aku berharap suatu saat kamu tidak pernah menanyakan lagi." Rembulan menganggukkan kepala. Rembulan mengusap telapak tangan Sarah dan menuntut dengan tatapan matanya agar Sarah segera bercerita.
Sarah menghela napas sekali lagi, " Perasaanku padanya adalah cinta, aku tahu kali ini aku benar-benar jatuh cinta dan takut untuk kehilangan. Aku nyaris gila dibuatnya! Lan, hampir setiap hari aku melihat wajahnya karena kami menjadi satu tim dalam sebuah proyek pekerjaan. Dia selalu datang menghampiriku, pembicaraan kami saat ini memang selalu soal pekerjaan. Aku sudah tidak berminat untuk mengajaknya bicara di luar pekerjaan seperti dulu. Aku sudah tidak berminat untuk mengajaknya bercanda. Mungkin dengan begitu aku bisa menghapus sedikit-sedikit tentang dia. Itu sangat sulit Lan!" Sarah menangis, Rembulan langsung mengusap-usap punggung Sarah.
"Aku membuat jarak diantara kami, terkadang dia memancing aku untuk bercanda seperti dulu. Aku berusaha mengeraskan hatiku. Kau tahu, pertahananku nyaris jebol !" Sarah tersenyum getir.
"Mungkin dia bertanya di dalam hatinya atau mungkin dia tahu tapi pura-pura tidak tahu dan menganggap semua akan berlalu bagaikan angin. Kami tidak pernah membicarakan soal perasaan kami. Aku berharap ini hanya sekedar sakit kepala yang akan sembuh dengan mudah."
"Kenyataannya?"
"Kenyataannya ini lebih dari sekedar sakit kepala, ini seperti kanker yang mulai menggerogoti diriku perlahan-lahan menyebar dan akan merampas semua kehidupanku. Aku seperti bukan diriku kalau di kantor. Aku nyaris kehilangan keceriaanku, kebahagiaanku bahkan untuk tertawa sangat sulit bagiku. Aku yang dulu tidak pernah terlalu serius dengan pekerjaanku menjadi begitu seksama sampai melihat sedetail-detailnya. Hahaha!" Sarah tertawa, tawanya sangat kering.
"Mungkin tahun ini aku bisa merebut gelar karyawan terbaik."
"Berarti patah hati dengan teman sekantor bagus untukmu." Rembulan tersenyum jenaka sambil mengangkat cangkir kopinya seolah-olah memberikan selamat.
"Dasar kunyuk!" Sarah mengumpat, lalu tertawa terbahak.
"Semoga aku bisa naik gaji sampai lima puluh persen tahun depan, jadi aku tidak terlalu menyesali proses patah hati."
"Kenaikan gaji segitu hanya ada dalam mimpimu!" Rembulan tertawa mengejek.