Descargar la aplicación
16.66% PERJANJIAN DARAH / Chapter 12: Fotografer Dadakan

Capítulo 12: Fotografer Dadakan

Sekali lagi, itu dulu. Karena sekarang, yang ada dalam benaknya adalah bahwa ia gadis yang kurang menarik. Buktinya satu-satunya pria yang tidak tertarik untuk memandanginya adalah pacarnya sendiri. Pacarnya itu mulanya sangat perhatian ketika mereka pertama kali bertemu dan ketika mereka berkencan. Dia adalah pria pertama yang pernah ditidurinya -- meskipun pria itu tidak sedang tidur. Dia telah kehilangan keperawanannya terhadap pacarnya itu di kursi depan mobil miliknya. Ketika mereka pertama kali berpacaran, seks itu indah, tetapi segera kehilangan pesonanya.

Setelah berbulan-bulan, hubungan Love dengan pacarnya, Si X atau si Anu, berjalan makin kacau. Menurut Love, sering si Anu itu memberi komentar yang tidak senonoh. Bahkan ketika mereka bercinta, si Anu menjadi menyakitkan. Temperamennya jadi sangat kasar dan sering meninggalkannya di ranjang dalam keadaan menangis dan tidak puas. Setelah itu, Love dan si Anu itu broke up. Putus. Lyn tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Cerita tentang kehidupan cinta Love berakhir sampai di situ. Sekuat apapun ia mengulik, Love tak mau cerita.

Yang jelas saat ini Velove hidup terintimidasi dengan pikirannya sendiri bahwa ia gemuk, jelek, bodoh, tidak menarik. Lyn tidak setuju dan terus-menerus menegaskan bahwa Love itu menarik. Atas dasar itulah sudah sekian lama ini ia bermaksud menjodohkan Love dengan seorang temannya.

Lyn tampaknya memiliki rencana sendiri terhadap rekannya itu. Lyn sering membuat komentar tentang penampilan Velove dan tentang tubuhnya. Mereka sering menginap bersama dengan alasan untuk belajar bersama, dan Lyn nampak sekali dari sikapnya kalo ia senang memperhatikan Love.

“Cowok lu itu. Ahhh…. He sucks! Gue sedih denger cerita lu. Waktu itu gue pernah ngomong mau kenalin lu sama seseorang. Inget kan?”

“Inget. Dia ganteng kan?”

“Keren deh pokoknya. Nanti gue tunjukin fotonya.”

*

Ritme kehidupan yang baru telah keluarga Clara jalani. Clara pergi ke Rumah Sakit tempat ia bekerja sambil tetap melanjutkan proses pembukaan klinik di rumahnya yang ‘baru’ tapi ‘lama’ itu. Cahyo mengantar dengan Bentley putihnya sebelum berputar melanjutkan perjalanan ke kantornya di sebuah developer perumahan. Adapun Velove pergi ke sekolah dengan skutik baru yang dibelikan Cahyo untuknya. Cahyo jugalah yang mengajar Velove mengendarai motor, dan menemani proses pembuatan SIM, sampai akhirnya ia boleh secara resmi menggunakan motor di jalan-jalan umum.

Semua berjalan seperti yang direncanakan. Sampai sebuah kejadian sangat kecil dan sekilas tak berarti mulai mengusik pikirannya. Hari itu Minggu dan ia beserta Cahyo dan Velove di rumah saja ketika seorang tukang sayur berhenti di depan rumah dan menawarkan jualannya. Bagi Clara ini adalah penjual pertama yang singgah di depan rumah. Sebelumnya, penjual makanan dan ini itu tidak ada yang lewat di depan rumah yang bisa jadi karena lokasi rumah yang sedikit terpencil.

Clara mulai mulai memilih beberapa jenis sayuran, tempe, daging ayam, penyedap rasa, garam dan yang lain. Ia memilih agak banyak karena sekaligus berniat agar orang itu rutin datang ke rumah agar kebutuhan tercukupi. Perkara apakah nanti jam ia datang tidak akan cocok dengan jam berangkat kantor, itu urusan nanti.

“Baru tinggal di sini, Bu?” tanya orang itu ramah.

“Belum sebulan sih.”

“Mudah-mudahan betah.”

“Pastilah. Lingkungannya di sini bagus. Rumahnya juga segar. Nanti saya rencana mau buka klinik juga di sini.”

“Ibu ini dokter?”

“Iya. Kalo bisa tolong kasih tau yang lain ya?”

“Siap bu. Namanya ibu siapa?”

“Clara.”

“Siap, ibu dokter Clara,” cetusnya sambil mengambil sikap hormat tantara. “Kamal akan siap membantu promosikan.”

Clara tertawa atas ulah Kamal. Ia senang pada anak muda ini. Umurnya mungkin baru 18 tahun, cupu, polos, tapi kocak. Wajahnya khas pria ndeso yang sederhana dan tubuh yang sedikit kurus. Dengan tinggi hampir 170 membuat tubuhnya terkesan jangkung. Mereka masih berbicara beberapa hal ketika pembicaraan balik ke soal rumah membuat mimik wajah Kamal terasa berbeda oleh Clara.

“Kenapa? Koq tampang bang Kamal seperti beda.”

Setelah didesak berkali-kali barulah orang itu bicara. “Daerah sini sepi, gak banyak penduduk sekitar lewat karena mereka suka denger suara-suara aneh di rumah ini.”

Clara terusik dengan pernyataan itu. “Suara?”

“Bukan dari rumah sih. Tapi dari gudang.”

“Suara? Dari gudang?” ia membalik badan dan melihat sudut rumah dimana terdapat gudang di sana. Dari posisinya berdiri, gudang dan pintunya yang klasik memang terlihat jelas.

“Maaf ya bu. Bukan saya mau nakut-nakutin. Tapi rumah itu udah beberapa kali didatangin orang untuk dibeli tapi nggak pernah laku.”

“Karena suara itu?” tanyanya dengan sorot mata penuh selidik.

Ragu-ragu, orang itu mengangguk. “Maaf bu. Iya, karena suara itu.”

“Kayak apa?” Ia mulai merasa mengerti ke arah mana omongan itu akan berlanjut.

“Suaranya… anu. Seram.”

“Suara kayak apa emangnya? Apakah suara cekikikan seperti kuntilanak?”

“Nggak, nggak. Bukan itu,” Kamal nampak tidak enak untuk melanjutkan. “Aku jadi nggak enak nih ngajak bicara soal begini ke ibu.”

“Nggak apa-apa. Coba kamu kasih tau. Suara apa sih?” Lagi-lagi Clara perlu sedikit memaksa untuk meminta orang itu bicara.

“Suka ada suara kayak cewek lagi nangis.”

*

Di Rumah Sakit tempatnya bekerja, Clara mendapat kejutan manis. Sebuah email datang lagi dari Aliff. Buru-buru ia lantas melakukan chat dengan orang itu.

‘Aku udah baca emailmu. Kamu serius mau datang?’ – Clara

‘Serius. Estimasi awal bulan depan mungkin, berkaitan dengan konvensi Asia Pasifik.” - Aliff

‘Sendiri?’ – Clara

‘Yes.’ – Aliff

‘Aku kangen kamu.’ – Clara.

‘Aku juga. Aku mau terusin yang sempat ketunda.’ – Aliff.

‘No prob.’ – Clara

‘Suamimu dimana?’ – Aliff

‘Dia ada proyek properti baru di Tangerang.’ – Clara

‘Berarti aman ya?’ – Aliff

‘Ya.” – Clara

*

Lyn yang lesbo sudah sejak lama sangat ingin menikmati tubuh Love. Ketertarikan Love pada lingerie dan thong, mungkin bisa menjadi jalan ke arah demikian. Itu yang ada dalam pikirannya saat itu. Sepulang dari sekolah hari itu ia kembali membawa Love ke kamarnya. Tak lama kemudian mereka sudah melepas seragam sekolah serta mengenakan lingerie masing-masing.

“Bagus nggak?” tanya Love sambil berkacangpinggang di depan Lyn dengan mengenakan lingerie-nya.

“Wowww,” ia menatap kagum. “Perfect body, perfect boob. Gimana kalo gue foto?”

“Difoto?”

“Yup.”

“Mmmm.... gimana ya.”

“Love sayang, bodi mulus lu gak akan terus ada. Akan ada saatnya lu tua, keriput, kendor, penuh lipatan sana-sini. Sebelum bencana alam itu terjadi, lu nggak mau diabadiin bahwa lu dulu punya bodi dewi-dewi Yunani?”

‘Betul juga’, pikir Love.

Love setuju dan segera saja Lyn menjadi fotografer dadakan. Walau mereka sebetulnya berlatarbelakang ekonomi biasa tapi Lyn ternyata memiliki sebuah kamera DSLR canggih di lemari kamarnya. Segera saja ia meyakinkan Love untuk berpose dalam beberapa pakaian dalam miliknya. Dan Velove yang setuju, membiarkan saja Lyn mengambil gambar dirinya. Mulai pengambilan di kursi dekat ranjang, pinggir ranjang, sampai ke atas ranjang.

“Gimana hasil karyaku?” tanya Lyn pada Love saat mereka break sesaat dan ia menunjukkan hasil foto di layar LCD kamera DSLR yang ia miliki.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C12
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión