"Kenapa kamu kepikiran untuk bermain bola?"
Kali ini, kakaknya mengajak pergi ke sebuah tempat dimana itu adalah tempat yang biasanya dikunjungi anak muda, cafe. Dia sepertinya mengajak dirinya untuk bertemu dengan rekan-rekan kerjanya yang ada di kantornya untuk sekedar diajak bercengkerama.
"Lu mau bawa gue kemana? Jangan bawa gue ke tempat maksiat ya, gue masih suci, jangan baluri gue sama dosa."
"Gue mau ngasih sepatu futsal, nanti lu tinggal milih aja."
Dia sampai ke tempat para teman-teman abangnya berkumpul, rasa ini pertama kali membuat Arya sangat canggung, karena ini pertama kali ia bertemu orang dewasa selain orang tuanya dengan banyak hal yang dipandangnya negatif dan buruk.
"Oh ini, adek lu yak."
"Iya," kata Rayyes yang berbicara dengan teman-temannya.
"Lu paham SWOT kan?" tanya Rayyes yang berbisik kepada Arya yang sepertinya melihat kecurigaan Arya terhadap kakaknya.
"Lah lu ngapain mau bawa gue kesini, bang? Jangan bilang, lu mau pake gue buat kerjaan kantor lo, bener-bener ye."
"Kaga gitu bang, lu bantuin gue dulu analisis SWOT, soalnya ini kerjaan tim gue, terus kalau udah selesai ntar tu bocah-bocah gue pada bahas sepak bola, soalnya harus ada yang lu dengerin dia."
Akhirnya, mau tidak mau dia harus mendengarkan kakaknya untuk sementara waktu. Ini adalah momen paling ribet dimana dia harus menuruti semua perkataan orang-orang disitu.
"Lu paham kan SWOT? Nah, coba tulis SWOT tentang Sepak Bola Indonesia,"
Dia benar-benar tidak berpikir lagi apa yang dimaksud oleh kakaknya tersebut, sepertinya dia sengaja untuk menjebak dirinya agar berbicara tentang politik. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah dia sangat enggan berbicara hal tidak perlu, termasuk politik, karena baginya passion ini akan sangat merugikan di masa depan.
"Aneh bet pertanyaan lu, gausah suruh gue bahas ini deh, gue tau ini pasti bakal masukin ujung-ujungnya ke politik. Plis ganti topik," jawab Arya didepan kakak-kakaknya yang sepertinya membuat rasa malu pada dirinya.
"Udah lu ungkapin aja unek-unek lu, gue yakin pasti lu tau banyak daripada gue."
Kemudian, Arya yang dibujuk berkali-kali itu akhirnya ikut berbicara tentang apa yang harus ia kerjakan. "Menurut gue, sepak bola Indonesia kurang berbakat, karena sering ganti pelatih, bursa transfer yang dilakuin sama PSSI menurut gue belum cukup kuat untuk membantu timnas lebih baik."
"Oke kalau gitu Weakness nya adalah sering gantinya kepelatihan, kalau Strengh menurut lu apa?"
"Bagi gue, strength nya itu ketika Indonesia bisa jadi runner up, tapi gak pernah juara. Bagi gue, runner up itu ada karena suatu weakness yang diatas, terus penataan liga 1,2, dan 3 gue rasa juga udah pas."
"Threakness, mungkin kalau sampai beberapa tahun kedepan bakal terus begini, kemungkinan Indonesia sepak bolanya bakal terus terbelakang, mungkin harus ada revolusi pelatih atau bahkan sistem organisasinya."
Setelah itu, kakaknya dan teman-teman lainnya ikut berdiskusi tentang SWOT yang diungkapkan oleh Arya, ini adalah kecerdasan yang terselubung kepada Arya. Setelah mereka selesai mengerjakan, mereka memesan makan dan mulai membahas apa yang sebenarnya ingin dibahas.
"Arya, lu ada keinginan gak buat merealisasikan hal-hal yang bakal jadi ancaman tadi? Misal, lu bakal bursa transfer ke Jepang, Inggris, atau bahkan Belanda, gitu?"
"Gue kalau ada kesempatan, bakal gue lakuin sebisanya, tapi inget gue baru sembuh, kemungkinan gue gabakal main bola itu bakal lebih besar, jadi jangan berharap lebih."
Rayyes sepertinya mulai mengantarkan topik yang tidak begitu mengenakan bagi Arya. Tapi, apa yang dipikirkan oleh teman-temannya Rayyes adalah sebisa mungkin bercerita bagi Arya betapa serunya sepak bola.
"Lo tau gak sih, Ar, gue dulu di Red Chamelion FC itu pernah kepikiran ambil kuliah se universitas, se jurusan dan se kostan, itu tindakan nekat banget. Tapi, kemudian ada yang misah, dua orang dan sekarang lagi main buat tim Persebaya sama Bali United."
Arya hanya mengangguk tanda dia mengerti dan paham yang diinginkan oleh orang-orang tersebut terhadap dirinya. Namun, sekali lagi pendirian tetaplah pendirian, dia tidak mau memaksa dirinya untuk tetap melakukan hal-hal bodoh tersebut.
"Kakak, pernah gak selama main sepak bola, karier kakak dikekang orang tua?" tanya Arya kepada teman Rayyes yang ada disitu. "Lo diem!" ketus Arya kepada Rayyes.
"Hmmm, Vid, lu jawab duluan aja."
"Gue selama main bola ntu, orang tua sering banget ngekang, mungkin karena memang gue punya bakat alami dan orang tua gue gak suka main bola."
"Terus cara kakak ngelawan orang tua itu, gimana?"
Vidi hanya bisa tertawa lepas mendengar Arya mengatakan dia "melawan orang tua", karena pada dasarnya Vidi hanya mampu meyakini kedua orang tuanya bahwa sepak bola itu adalah prestasi yang membanggakan, bukan hanya sekedar pamer kemampuan.
"Hahaha, mana ada ngelawan, mungkin lebih ke meyakinkan orang tua, karena biasanya orang tua butuh hal konkrit buat lo yang mungkin gak terlihat dewasa di depan mereka."
"Pernah masuk tim junior, atau tim muda?" tanya Arya yang sepertinya sangat penasaran dengan jawaban dari pertanyaan ini.
"Kalau U-15 kayaknya enggak, U-17 sempet masuk, cuma karena gue keterima sebagai pemain nomor 1 alias kiper, gue nolak."
"Lu kudu tau, Ar, abang-abangan Vidi ini tes tulis sama masuknya pinter banget, udah macam bakat alami."
Teman satunya lagi bernama, Erza sepertinya ikut membantu menjelaskan tentang kepribadian seorang Vidi, sebagai bekasan timnya dulu dia jelas mengenal apa yang harusnya dipikirkan.
"Tes seleksi itu buat nentuin masuk kesebelasan, pendaftarnya lebih dari 100 pemain, dan Erza itu peringkat 8, Vidi itu peringkat 2, dan gue itu peringkat 12, awalnya gue masuk ke daftar pemain cadangan, cuma teman gue ini keberatan klo Erza gajadi penyerang tengah."
"Berarti, kalian nolak karena spesialisasi kalian yah?"
"Sebenarnya gue gak nolak sih, cuma karena ga semua bisa masuk ke tim muda U-17, jadi ya gue rasa ini kayak sia-sia aja ngebangun pertemanan, rasa sebagai seorang tim. Jadi, akhirnya kita mundur dan akhirnya bikin tim sendiri. Walaupun pada akhirnya, kita main sepak bola sama futsal itu cuma buat seneng-seneng doang."
Sepanjang malam, dari pukul sembilan sampai dua belas malam, mereka bercerita tentang masa lalu mereka sebagai pemain sepak bola. Itu cukup membuat Arya terkagum dengan apa yang mereka pikirkan, tapi pada akhirnya keluarlah sebuah pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan kepada orang lain.
"Btw, orang tua kakak dateng gak pas kalian lagi tes seleksi masuk itu?"
"Orang tua Vidi dateng, tapi dia cuma dateng sebentar, terus Darren orang tuanya juga dateng, nah si Rayyes kagak."
"Eh, bukannya dateng ye?" tanya Arya kepada Rayyes.
Pertanyaan itu tidak ditanggapi sedikitpun oleh Rayyes. Dia tidak ingin adiknya sakit hati mendengar bahwa ibu dan ayahnya benar-benar bertolak belakang tentang olahraga. Akan tetapi, mereka malah senang kalau Rayyes keterima di Statistika.
"Gue penasaran, adik vs kakak, kalau diadu bakal menang siapa?"
Arya yang diam sejenak tiba-tiba kaget mendengar pernyataan itu, langsung mengalihkan topik dan membuka jam tangannya yang menunjukkan pukul 24:12.
"Udah malem woi, kagak balik apa? Nanti mak gue ngomel loh, kalau lo mah jadi kalong juga sebodo amat, gak peduli."
Mereka mengakhiri percakapan tersebut malam ini, semua pertanyaan sudah selesai dijawab kecuali dua pertanyaan terakhir, yaitu tentang Orang Tua Arya dan Rayyes dan satu lagi tentang adu kekuatan adik dan kakak. Untuk yang terakhir Arya sengaja tidak menjawabnya karena itu adalah suatu masalah yang sulit dieksplanasikan