Satu jam kemudian, kami pun sampai di rumah sakit. Aku segera menghubungi mas Dimas, tidak mungkin Ibu bisa mengurus semuanya sendiri. Apalagi di rumah sakit sebesar ini. Biasanya jika Ibu pergi ke rumah sakit, aku yang mendampinginya. Itu pun rumah sakit kecil yang ada di kampung.
"Halo, Mas Dimas," ucapku ketika Mas Dimas sudah mengangkat teleponku.
"Iya, Reyna! Kamu dimana? Apa sudah sampai?" tanya Mas Dimas dari seberang sana.
"Sudah, Mas. Ini aku sudah keluar dari parkiran. Bapak dirawat di ruang apa, Mas?" tanyaku.
"Langsung saja ke ruang HCU. Kami ada di depan HCU. Baru saja Bapak kami pindahkan," tuturnya.
"Iya, Mas. Makasih banyak ya, Kami segera ke sana," ucapku dengan bergegas melangkahkan kaki menuju ruang yang sudah ditunjuk oleh Mas Dimas. Kemudian aku tekan tombol merah yang berada di layar ponsel.
"Semoga tidak terjadi apa-apa sama Bapak," ucapku sambil terus mempercepat langkah kaki.
"Aamiiin," ucap Vina dan Haris bersamaan.
******
"Mas Dimas!" panggilku ketika sampai di depan ruang HCU. Terlihat Mas Dimas yang sedang membopong Ibu yang sedang terkulai lemas tidak sadarkan diri. Segera aku berlari menghampirinya.
Jantungku berdegub kencang. Kakiku terasa lemas tak berdaya. Melihat Ibu seperti itu membuatku takut. Tapi aku mencoba menguatkan diri, untuk tidak tumbang. Meski ada ketakutan yang luar biasa mendera.
"Mas, Ibu kenapa? Apa yang sudah terjadi pada Ibu? Kenapa bisa begini?" aku meracau ketakutan.
"Reyna," lirih Mas Dimas. Kemudian ia diam dengan wajah murung.
"Ada apa, Mas? Ibu kenapa?" Aku terus mendesak Mas Dimas. Aku yang sudah panik melihat kondisi Ibu yang seperti ini, aku mengguncang-guncang kedua bahu Mas Dimas, agar ia segera menjawab. Namun, ia malah terlihat diam dan mematung.
"Kamu yang sabar ya, Reyna. Bapak sudah pergi," ucap Mas Dimas memegang bahuku.
"Maksudnya Mas Dimas, Bapak sudah meninggal?" lirihku dengan berkaca-kaca. Mas Dimas mengangguk.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un," ucap mereka bersamaan. Dadaku semakin sesak, kakiku gemetar dan bibirku terasa Kelu seketika. Tanpa terasa air mataku mengalir deras tanpa henti.
"Bapak....," lirihku terkulai lemas. Hampir saja aku terjatuh kalau Haris tidak menahan tubuhku.
"Sekarang mari kita lihat jenazah beliau," ujar Mas Dimas mengajak kami semua. Kami semua mengangguk. Namun, Ibu masih belum sadarkan diri. Dengan sigap Nico membantu Ibu duduk di kursi roda dan mendorongnya menuju ruang HCU. Mas Dimas berjalan beriringan denganku, sementara Vina dan Haris juga Nico mengikutinya di belakang.
Sampai di dalam ruangan. Aku terus menangis melihat jenazah Bapak yang sudah terbujur kaku. Mataku terasa panas dan terus mengalir deras tatkala aku buka kain yang menutupi wajah Bapak.
"Bapak, kenapa begitu cepat pergi? Bapak bilang hanya sakit meriang, tapi kenapa Bapak malah pergi? Baru saja aku ingin membahagiakan Bapak, tapi kenapa Bapak malah meninggalkan Reyna? Untuk apa semua ini kalau Bapak pergi?" ucapku tersedu penuh tangis.
"Kamu yang sabar, Reyna," ucap Vina mengusap bahuku. Namun itu tidak bisa mengurangi rasa sesak dalam dada ini.
"Kamu yang sabar, Reyna. Kamu yang kuat. Semua yang bernyawa pasti akan kembali pada sang pencipta," ujar Haris menepuk bahuku.
"Maaf semuanya, saya akan mengurus jenazah Pak Handoko dulu," ucap Mas Dimas.
"Iya Mas," ucap Haris. Aku dan yang lain hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Mas Dimas sudah selesai mengurus administrasi dan masalah ambulance juga sudah siap.
Jenazah Bapak juga sudah selesai dimandikan dan sedang dikafani. Ibu juga sudah siuman.
"Alhamdulillah, Ibu sudah sadar. Yang sabar ya, Bu," ujar Mas Dimas yang melihat Ibu sudah siuman.
"Terimakasih, Nak, Dimas," ujar Ibu.
"Sama-sama,Ibu," jawab Mas Dimas.
"Maaf Bu, Bapak mau dimakamkan dimana? Apa sudah disiapkan tempatnya?" tanya Mas Dimas.
"Sudah siap semuanya, Mas. Tadi saya sudah menghubungi Pak RT dan meminta bantuannya untuk mengurus menggali kuburan hingga proses pemakaman," sahutku.
"Baik, kalau begitu," jawabnya.
********
Tak terasa hari sudah mulai malam, proses pemakaman Bapak pun berjalan dengan lancar. Malam nanti insha Allah di rumahku akan diadakan acara tahlilan selama 40 hari yang akan dibantu oleh tetangga terdekat. Terlihat para tetangga sangat bersimpati kepada keluargaku. Mereka nampak antusias membantuku dalam kondisi berduka, padahal aku terhitung warga baru di sini.
Alhamdulillah dari rekan-rekan kantor pun datang ke rumahku untuk turut berbela sungkawa.
Ibu terlihat sudah sedikit lebih tenang. Namun, terlihat juga masih ada kesedihan yang dalam dari wajah rentanya. "Kasihan, Ibu," lirihku memandangnya. Kemudian aku mendekatinya dan memeluknya. Mencoba untuk memberikan senyum dan semangat, meski batinku juga butuh semangat. Namun, aku tidak boleh terlihat rapih di depan Ibu.
Sehabis salat Maghrib, terlihat dari dalam rumah ada cahaya lampu mobil yang berhenti di halaman. Aku bergegas keluar rumah untuk melihat siapa yang datang.
Terlihat dua seorang wanita yang turun dari pintu belakang. Ia berjalan mengitari mobil. Ternyata ia membantu seseorang turun dari dalam mobil.
Cahaya tidak begitu jelas. Aku perhatikan ia mendorong seseorang yang berada di atas kursi roda. Baru aku sadari ketika mereka sudah dekat dariku.
"Mas Reyhan, Keyla," aku terkejut saat menyadari kedua orang itu. Mas Reyhan tersenyum manis, tapi tidak dengan Keyla. Ia masih menunjukkan muka masamnya ke aku.
"Reyna, kami datang ke sini untuk mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya, Bapak," ucap Mas Reyhan.
"Iya, Mas. Terimakasih. Silahkan masuk!" ucapku.
Dengan langkah angkuhnya Keyla mendorong kursi roda Mas Reyhan masuk dalam rumahku.
"Mari, silahkan duduk!" ucapku seraya menunjukkan sofa pada Keyla. Namun ia tidak segera duduk, pandangan matanya melihat ke seluruh ruangan dan atap rumah ini. Dan terlihat begitu jijik untuk duduk di sofa ini.
Keyla mengambil tissu basah dan alkohol dari dalam tasnya untuk disemprotkan ke sofa yang akan ia duduki. Terlihat begitu jijiknya. Aku hanya menyunggingkan senyum untuk tingkahnya yang sombong.
"Sebentar aku ambilkan minum," ucapku.
"Tidak, usah repot-repot, kami datang ke sini hanya sebentar," ketus Keyla.
Tak berapa lama, Ibu keluar dari dalam kamarnya dan sekilas pandangannya tertuju pada kami yang tengah duduk di ruang tamu.
"Siapa yang datang, Nak?" tanya Ibu seakan tak mempunyai gairah dan mendekat ke arahku.
"Saya, Bu," ucap Mas Reyhan. Seketika Ibu menoleh ke arah Mas Reyhan dan Keyla. Nampak binar amarah dari wajah Ibu. Namun, Ibu berusaha menahannya karena masih dalam situasi berduka.
"Kalian, untuk apa datang ke sini?" tanya Ibu menunjukkan wajah tidak sukanya pada kedua tamu itu.
"Oh, Ibu tak suka kami datang ke sini? Aku sebenarnya juga malas datang ke rumah ini. Tapi karena Mas Reyhan yang mengajakku, aku pun mengikutinya meski sebenarnya aku juga tidak ingin berjumpa dengan kalian," ujar Keyla dengan berdiri. "Ayo Mas, kita pergi dari sini," ujarnya lagi dan menarik kasar kursi Mas Reyhan. Aku hanya tersenyum melihatnya.
"Keyla, jaga sikapmu di hadapan mereka," ucap Mas Reyhan memberi ketegasan pada istrinya. Namun, Keyla tidak mempedulikannya.
Saat mereka hendak keluar dari rumah ini, Haris dan Nico datang. Aku yang masih duduk di sofa segera berdiri untuk menyambut mereka. Namun, aku melihat Nico dan Keyla saling menatap. Apakah mereka saling mengenal?