Descargar la aplicación
60% Dilahirkan untuk kematian / Chapter 6: PERTEMUAN SINGKAT

Capítulo 6: PERTEMUAN SINGKAT

PERTEMUAN SINGKAT

"Plaaakkkk!"

Sebuah tamparan cukup keras. Kesadarannya kembali. Kakinya terasa lemas. Isum bersimpuh. Detik-detik itu juga ia menangis. Meratap sambil merutuki diri sendiri.

Daun-daun berserak. Perlahan angin kencang mulai reda. Andai masih menjadi manusia, Isum sudah seperti bangkai tikus yang biasa dibuang di jalan, lalu terlindas. Tidak berbentuk. Remuk. Ia arwah. Dalam wujud yang sekarang, sebanyak apapun kendaraan lalu-lalang tidak berpengaruh bagi arwah Isum yang belum beranjak dari tempatnya.

"Bagaimana yakin kau bisa menang, Sum? Jangan konyol. Lima kali pertandingan kau menangkan hanya bermodal nekat saja. Kalau mau jujur, mengendarai sepeda motor saja kau masih payah!"

"Santai, Bro, kalau pun memang faktor keberuntungan apa salahnya aku mencoba lagi. Kau, kan, tau lima kali aku mendapat keberuntungan. Tentunya keberuntungan untuk selanjutnya masih menanti." Isum tak kalah sengit menyangkal pernyataan Jaya sambil tertawa.

Pria bertubuh kurus itu terus membujuk agar Isum membatalkan pertandingan. Dibanding Isum, Jaya merasa lebih piawai dan mampu mengalahkan lawannya. Namun, tidak serta merta membuat Jaya terpilih untuk melawan Sugeng di arena trek lurus nanti. Dukungan lebih banyak justru diberikan untuk Isum. Bahkan pihak sponsor pun menginginkan Isum sebagai jokinya nanti di arena balap.

Jaya tak ingin melanjutkan. Ia tak ingin teman-teman yang lain mengira bahwa ada kecemburuan terhadap Isum.

"Bukannya nggak lama lagi kau magang?" Jaya mencoba mengalihkan.

"Begitulah. Masih belum nemu tempat yang cocok," sanggah Isum.

"Oh iya, Di, kalau misal nanti aku dapet tempat magang jauh di luar kota, aku titip orang tuaku ya. Jangan lupa sesekali menengok mereka." Isum tiba-tiba saja melontarkan suatu pernyataan aneh.

"Sum ... Sum ... kayak orang mau mati pake nitipin segala. Tanpa kau minta pun, orang tuamu juga sudah kuanggap sebagai orang tuaku."

"Bukan begitu, aku takut kalau-kalau mereka berantem lagi."

Merasa kehadiran Jaya seperti diasingkan, lelaki itu beranjak meninggalkan bengkel tempat biasa mereka nongkrong dan memodifikasi motornya. Mbah Rung, itu panggilan para pencinta balap menamai bengkel tempat mereka berkumpul. Nama itu sendiri sudah turun-temurun diberikan oleh pendahulunya. Siapa pencetusnya, mereka sendiri tidak mengerti.

Jaya berlalu tanpa pamit menaiki motor maticnya. Orang-orang di sana baru tersadar dengan adanya gerungan knalpot yang menggelegar.

"Biarkan saja. Sebenarnya dari kemarin dia terlihat berambisi memang untuk menggantikanmu, Sum," celetuk Ardi yang sempat menoleh dan melihat kepergian Jaya.

Isum tidak terlalu menganggap. Ia sudah tahu sejak awal. Posisi Jaya yang dulunya diagung-agungkan sebagai rajanya speed, tergantikan kini oleh posisi Isum, bocah yang baru tampil dan hanya bermodalkan nekat.

Darah yang masih terlihat membekas meski sudah melewati lima hari itu, mengingatkan kembali percakapan mereka di benak Isum.

"Benar juga. Tidak biasanya Jaya memisahkan diri dari kelompok. Kenapa di saat aku bertanding posisi dia berdiri ada di depan sekolah itu? Kenapa tidak turut bergabung dengan yang lain. Apakah semua ada hubungannya? Lalu di mana keterkaitannya?" Isum kembali mengingat-ngingat perihal kisah lalu yang terlewat.

"Mau berapa lama kau berdiam diri di situ bocah?" Tegur keras dari seorang wanita.

Isum tidak menduga jika ternyata yang menamparnya tadi adalah sosok wanita yang diperhatikannya tadi di sebuah taman ketika berbincang dengan Kijan. Wanita yang diasingkan. Wanita yang selalu menyendiri di antara banyak arwah lainnya.

"Bocah? Kau memanggilku bocah? Apa kau tidak melihat dirimu sendiri yang juga tampak bocah sama sepertiku?"

"Aku jauh lebih tua. Bahkan dari pria yang matinya mengenaskan seperti dirimu juga Kijan!"

Isum menelan ludah. Gaya bicara yang tegas. Tangan melipat di dada. Tidak menunjukkan sama dengan apa yang dilihat Isum sebelumnya. Wanita ini terlihat agresif. Sensitif. Tatap matanya liar meski ada pesona tersendiri.

"Gerangan apa yang membuatnya ada di tempat kematianku?" Setidaknya itulah yang melintas di benak Isum pertama kali.

"Tempat kematianku tak jauh dari tempatmu ini. Area ini dulunya adalah persawahan. Jauh sebelum menjadi jalur pantura."

Isum lupa jika Kijan sudah memberitahunya jika ada yang dipikirkan tidak ada yang tersembunyi di hadapan sesama orang mati. Isum tak ingin mengulas lebih jauh. Tak ingin pula mengetahui sebab kematian wanita yang berdiri di hadapannya sekarang.

"Cantik sih. Tapi aku tak tertarik pada arwah."

"Kau pikir dirimu bukan hantu?" Bentak wanita itu.

Isum tercekat. Ia lagi-lagi lupa jika apa yang diucapkan dalam hati bisa terdengar olehnya.

"Ah, sial sekali rupanya. Menjadi arwah pun tak enak. Tidak seperti manusia yang ketika mengumpat, lawan bicaranya tidak mengetahui," gerutu Isum.

Lelaki itu berjalan menuju trotoar. Di tepi pinggir jalan ia duduk dan tidak mengajak sama sekali pada wanita yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya tanpa sebab yang jelas. Bukan masalah besar. Wanita itu ikut duduk di sebelah Isum.

Sejenak mereka terdiam dan hanya memandangi langit yang kini sudah menampakkan bintang-bintangnya. Belum ada niat untuk membuka obrolan. Mereka bertahan. Meski ingin, tapi Isum tetap menahan untuk tidak berbicara di mulut juga di hati.

____

Isum melihat sosok wanita sedang berlari. Di tengah kegelapan. Di areal pematang sawah. Bajunya sudah terkoyak. Sebagian tubuhnya terlihat. Putih. Mulus. Sangat terjaga. Dua orang lelaki mengejar. Wanita itu bersembunyi. Isum hendak bergerak, namun tubuhnya seakan terpaku mematung bersama bumi. Ia hendak berteriak untuk jangan bersembunyi di sana tapi sia-sia. Kerongkongannya seakan ada yang mengikat hingga lidahnya terasa kelu.

Sial, wanita yang di sebelahnya pun tidak berbuat sesuatu apapun. Padahal jelas Isum menengok ke arahnya tapi wanita itu tidak peduli. Matanya masih terus menatap ke arah langit yang gelap.

Di antara iba dan marah, Isum mencoba untuk memberontak dari segala penahanan yang membuatnya tidak nyaman dan segera bergegas untuk bisa bertindak. Setidaknya membantu wanita itu lari dari dua orang yang sedang mengejarnya.

Isum segera tersadar. Dilihatnya lagi baik-baik. Yang di hadapannya sekarang hanyalah jalan raya seperti semula. Isum mengucek-ngucek matanya. Ia merasa apa yang dilihatnya itu tampak nyata. Ia tidak sedang tidur dan bermimpi.

Belum sempat Isum mengeluarkan sebuah pertanyaan, wanita itu berkata, "Apa yang barusan kau lihat adalah aku di masa lalu. Aku terbunuh di tempat ini. Dan terkubur di tempat ini."

Isum tersentak.

"Berarti apa yang kulihat tadi adalah apa yang sedang kau pikirkan barusan?"

Wanita itu tidak menjawab. Air mata yang menetes sudah cukup mengiyakan pertanyaan yang keluar dari mulut Isum.

"Pulanglah ke langit jika tidak ingin sepertiku yang terus terjebak di dunia ini."

Pesan wanita itu yang membuat Isum masih terheran dan pergi meninggalkannya kini sendiri, tanpa ia mengerti apa yang diucapkan oleh wanita tersebut.


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C6
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión