Tap-tap-tap-tap.
"Haah.. haah.. haah.."
Sudah lebih dari dua puluh menit, Marigold berlari sepanjang trotoar menuju The Alexander's Hotel. Kakinya yang hampir sembuh dari keseleo, menginjak kerikil kecil sehingga tidak tepat menapak, akibatnya rasa nyut-nyutan itu kembali lagi. Dan sialnya, tidak ada taksi yang lewat. Jika lewat pun, taksi itu sedang membawa penumpang.
Marigold bersandar pada tiang lampu kota, tersengal-sengal dan berusaha menetralkan nafas. Kepalanya mulai terasa pening karena berlari tanpa henti, ditambah perutnya mulai tegang dan melilit lagi. Meski dirinya atlet karate, namun kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk mengikuti lari maraton jarak jauh, dibawah matahari yang sedang bersemangat untuk bersinar.
"Aduuh," keluh Marigold yang sedikit membungkuk sambil menyeka keringat. "Sudah jam berapa ini?" gumamnya sambil melihat waktu di jam tangannya. Seketika matanya membelak. "Mati aku. Sudah jam dua belas," teriaknya sambil mulai berlari lagi. Jarak dari tempatnya berdiri hingga ke The Alexander's Hotel masih setengah jam perjalanan dengan kendaraan.
"Hosh.. hosh.. hosh.. hosh.."
Tiba-tiba..
"Nona Marigold," panggil seseorang.
Langkah Marigold melambat lalu berhenti. Matanya memindai area sekitar. Marigold memiringkan kepala sambil menggaruk pelipisnya yang berkeringat. Apakah dirinya berhalusinasi akibat kelelahan? Tetapi dirinya memang mendengar seseorang memanggil namanya.
"Nona Marigold."
Suara itu terdengar lagi.
Marigold memicingkan matanya. Seorang pria sedang melambaikan tangan ke arahnya. Dia sedang berdiri di dekat mobil yang terbuka pintu penumpang belakangnya.
"Siapa laki-laki paruh baya itu?" gumam Marigold sambil berjalan mendekati pria yang tersenyum ramah padanya. "Apa yang diatas sedang berbelas kasihan padaku? Mengirimkan sebuah mobil mewah yang tidak tanggung-tanggung, sebuah Roll-Royce?!"
"Bapak memanggil saya?" tanya Marigold setelah mendekat. Matanya tidak berkedip menelusuri mobil keren super mewah itu. Bibirnya pun berbisik wow tanpa suara. Kemudian memandang bapak itu. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Nona Marigold."
"Ya saya sendiri. Ada apa ya pak?"
"Silakan masuk. Saya akan mengantar anda, Nona Marigold."
"Tidak. Tidak perlu, pak. Kita tidak saling kenal. Saya tidak ingin merepotkan, apalagi ini mobil mewah. Pasti bapak sedang ditunggu sama bos," tolak Marigold sambil menggoyangkan tangan, menolak tawaran bapak yang baik hati.
"Saya memang ingin mengantar anda, Nona Marigold."
"Dari tadi bapak menyebut nama saya. Bapak mengenal saya?" tanyanya heran.
Bapak itu mengangguk. "Nama saya Pak Umar."
Seketika raut wajah Marigold langsung ceria. Tangannya menggenggam dan menyalami bapak paruh baya itu dengan penuh semangat. "Pak Umar? Jadi bapak yang bernama Pak Umar? Bapak yang menolong waktu saya dijambret itu kan? Bapak juga melunasi biaya rumah sakit saya. Saya belum mengucapkan terima kasih atas pertolongan bapak. Terima kasih banyak, Pak Umar."
Pria paruh baya bernama Pak Umar tergelak pelan. "Sama-sama. Sekarang Nona Marigold naik ya. Bapak akan antar."
"Eng.. tapi," ucap Marigold ragu sambil menggaruk rambutnya. Bukan masalah takut diculik. Masa iya, penculik pakai mobil Rolls-Royce begini? Masalahnya, Marigold takut menyentuh mobil mewah itu, lalu tidak sengaja merusak, kan bisa berabe. Duit berapa keturunan, yang akan habis dipakai untuk membayar kerusakan yang tidak disengaja itu?
"Anda sedang terburu-buru kan? Saya bisa mengantar dengan cepat."
"Saya memang terburu-buru," jawab Marigold bingung sambil melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul dua belas lebih lima belas menit, Marigold sudah pasti terlambat jika tidak segera mendapatkan taksi. Kini ada seorang baik hati yang berniat mengantarkannya. "Tapi.."
"Sudahlah, jangan banyak protes. Nanti anda terlambat dan anda akan menyesal."
Marigold menghela nafas lalu memantapkan hati. "Baiklah," sahutnya sambil masuk ke dalam mobil mewah itu.
"Nona Marigold akan pergi kemana?" tanya Pak Umar setelah masuk mobil dan memasang sabuk pengamannya. Beliau menoleh ke belakang dan tersenyum ke arah Marigold yang duduk dengan tegang.
"The Alexander's Hotel."
"Baik," jawab Pak Umar ramah, lalu lanjutnya, "Santai saja duduknya dan nikmati perjalanan."
"I-iya," jawab Marigold yang mengangguk kaku bak robot. "Sial, aku tegang dan perutku sakit lagi," umpatnya dalam hati.
Sepanjang perjalanan, Marigold berusaha untuk tidak banyak bergerak, takut jika pergerakan yang sepelan apapun bisa menimbulkan kerusakan yang fatal. Mata Marigold memindai interior mobil dengan mewah dan elegan. Jemarinya mengelus jok sofa yang halus dan nyaman.
"Memang beda ya antara mobil orang kaya dengan mobil rakyat jelata," gumam Marigold yang tanpa sadar menyandarkan punggungnya yang lelah ke sandaran jok. "Aku ngantuk," gumamnya dengan menutup mata.
Kenyamanan di dalam mobil mewah, membuat ketegangan Marigold berangsur menurun dan digantikan dengan keletihan tubuhnya. Lonjakan adrenalin yang tinggi akibat berlari tanpa henti dan tegang karena takut terlambat, kini mulai melambat hingga membuat tubuhnya semakin melemas karena sudah merasa aman. Kini Marigold menjadi rileks dan akhirnya tertidur pulas.
"Nona Marigold, bangun."
"Hah?" Marigold yang terkejut langsung terduduk tegak dan tanpa sadar mengusap bekas air liurnya yang ada di sudut mulutnya.
"Kita sudah tiba di lobi The Alexander's Hotel."
"Sudah tiba? Ya ampun, aku ketiduran," seru Marigold sambil menepuk pelan keningnya. Lalu sambil meringis, Marigold berkata, " Maaf ya pak, saya ketiduran."
Pak Umar kembali tergelak melihat tingkah menyegarkan dari Marigold yang polos. "Tidak apa. Saya lihat anda kelelahan."
"He-he-he, energi habis karena lari maraton," jawabnya sambil meringis yang disambut gelak tawa Pak Umar. "Kalau begitu, saya turun dulu. Terima kasih atas tumpangannya."
"Sama-sama. Hati-hati Nona Marigold."
Cklek. Blam.
Marigold mengecek waktu dan langsung berkeringat dingin. Sial. Sepuluh menit lagi, dia akan terlambat. Marigold mendorong kuat pintu masuk lobi hotel, lalu berlari kencang menuju ruangan yang sama sewaktu tes awal.
Tetapi...
"Astaga," seru Marigold terkejut ketika mendapati seseorang yang sedang berjongkok di depan lift, tepat di jalur yang dilaluinya. Karena jarak yang sudah dekat, Marigold yang berlari kencang sudah tidak bisa menghindar. Jadi..
Hup.
Marigold menambah kecepatan berlarinya, kemudian melompat dengan menumpukan punggungnya pada punggung laki-laki yang sedang berjongkok di depan lift itu, dengan ketepatan yang akurat.
"Hei," teriak laki-laki itu yang terkejut hingga terjatuh.
"Maafkan aku, pak," balas Marigold dengan berteriak sambil menghadap ke arah laki-laki itu. Jadi Marigold berlari mundur sambil melambaikan tangannya, meminta maaf. "Aku sedang terburu-buru."
Marigold membuka pintu ruangan tes dengan terengah-engah. Seseorang yang membawa papan klip, berdiri di dekat pintu sambil memelototi Marigold yang datang terlambat.
"Maafkan aku. Aku terlambat."
"Ck, sudahlah. Sekarang, cepat pergi ke belakang panggung. Ambil gaun yang tersisa untuk kamu pakai. Karena kamu terlambat, jadi kamu tidak bisa memilih gaun. Cukup tidak cukup, pantas tidak pantas, kamu tetap harus mengenakan gaun itu," perintah staf itu ketus sambil mengedikkan dagunya ke arah panggung.
"Baik," jawab Marigold sedikit lemas, karena kembali berlari kencang.
Di belakang panggung.
Marigold mengernyitkan dahinya memandang gaun pendek berwarna putih gading. "Apa ini tidak terlalu tipis dan terbuka?" gumamnya sambil membolak-balik gaun itu. "Pantas tidak ada yang memilih gaun ini. Sial, aku mendapat gaun buangan," gerutunya sebal.
"Heh kamu, cepat kenakan gaunmu!" perintah seorang staf yang kebetulan melihat Marigold masih belum berpakaian resmi.
"Baik," jawabnya cepat.
Marigold berjalan menuju ruang ganti dan menukar pakaiannya dengan gaun cantik itu. Marigold sedikit memutar-mutar tubuhnya yang sudah terbalut kain sifon dengan anggun.
"Not bad," pujinya sendiri.
Plok-plok-plok..
"Semuanya berbaris ya. Kita akan segera masuk ke acara babak final," teriak staf yang mengarahkan delapan gadis finalis. Semuanya bergerak sesuai instruksi, tak terkecuali Marigold.
"Sial, perutku tegang lagi," gerutu Marigold dengan meringis.
Bersambung...