Jika aku tak salah, sekitar dua atau tiga bulan yang lalu, polisi tak berseragam memang menemuiku. Malam itu sehabis kelas Mr. Samuel, beberapa langkah dari gerbang utama tanganku ditarik paksa oleh seorang lelaki dengan jaket coklat dan kaca mata hitam. Berkali-kali Aku berusaha memberontak, tetapi jemari lelaki itu terlanjur menempel erat padaku.
"Lepaskan! Siapa kamu?"
Namun sosok itu tampak acuh, sampai kupikir aku sedang berbicara dengan bukan manusia.
"Hey! Apa aku sedang bicara dengan orang tuli?" kesalku merasa dihiraukan oleh si empunya tangan.
Tak diduga, ia membawaku ke samping tembok kampus lalu memojokkanku disana. Perlahan kaca mata hitam terangkat memperlihatkan kedua manik mata yang sebelumnya pernah kukenali. Ya, kedua mata yang menatapku penuh curiga di ruang rawat rumah sakit, sungguh hari yang begitu tak diharapkan.
"Anda?"
"Hmm, kami perlu bicara," ucapnya kali ini langsung dengan nada enggan bersahabat.
"Tentang kasus itu?"
"Tentang apa lagi? Tentang bulan dan bintang? Tidak mungkin," tukasnya dengan nada makin tak berkompromi.
Sekitar kampus sedang ramai kala itu, banyak mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kelas malam dan keluar dari gedung. Alhasil, aku membawa lelaki itu ke kafe tempatku singgah biasanya, karena posisinya yang kubilang agak tersembunyi tidak banyak orang yang mampir kesana, terlebih pada malam hari. Jadi, mungkin tempat itu akan cocok untuk percakapan agak tertutup dengan lelaki bernama Iqbal itu.
"Apa masih ingin mencurigaiku sebagai tersangka?" tanyaku mencoba memancing si detektif ini.
Bukannya menjawab, ia hanya terdengar melepaskan napas keras-keras.
"Terlalu membuatku pusing," tangan kanannya mantap mengacak-acak rambut hitam yang menempel di kepalanya, "apa yang akan kau lakukan jika di TKP hanya ada mayat korban tanpa barang bukti pembunuhan? Tanpa jejak pelaku apalagi sidik jari, dan secara kebetulan Engkau, Aster Widoyo, kontak terakhir yang dihubungi Giny muncul di UGD seperti teleportasi dengan luka sayatan pergelangan tangan,"
Aku membetulkan posisi duduk sementara Iqbal masih bermain dengan kata-katanya.
"Bekas tancapan anak panah dan satu anak panah di dapur mengisyaratkan kalau Giny sengaja dilukai saat hendak kabur dari manor, pintu yang sengaja di rusak oleh benda tajam juga mengartikan Giny sempat bersembunyi di dalam kamar saat pelaku itu masuk,"
Perlahan memoriku kembali berputar selaras dengan penjelasan lelaki yang duduk di hadapanku.
"Semua jendela dan pintu selain pintu depan terkunci rapat saat polisi datang ke TKP, berarti pelaku sempat meneror dan mengintai korban sebelum kejadian, dan mungkin Giny menghubungi disaat teror itu terjadi agar kau cepat datang ke manor, benar begitu nona Aster?"
"Tidak sepenuhnya benar!"
Kedua alis Iqbal tampak agak mendekat satu sama lain.
"Aku heran mengapa kau menanyakan hal itu baru sekarang, kukira kau adalah polisi pintar yang bisa melakukannya sendiri tapi ternyata Anda hanya lelaki egois,"
Iqbal belum mau membalas. Kutarik napasku untuk membangun keberanian bicara lebih lanjut, meski hanya bermodal mulut, tapi tak mudah menghadapi lelaki berpangkat polisi.
"Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi malam itu, hanya beberapa hal yang masih kuingat, kepalaku dipukul saat dalam perjalanan ke manor, aku diseret menelusuri tanah hutan dan... mataku terbuka di sebuah tempat yang sangat gelap," jelasku sengaja tak sepenuhnya membeberkan kebenaran.
"Aku mengingatnya, sosok yang menggores pergelangan tanganku,"
"Siapa?" tanya Iqbal antusias.
"Sosok hitam bertopeng, dia yang berusaha menghilangkan nyawaku,"
"Apa yang dia katakan padamu?"
"Dia berkata sekarang giliranmu nona,"
"Apa dia sempat membuka topengnya saat itu?"
Aku tak berani menjawab, sementara kedua kakiku gemetar dibawah sana. Bibirku kaku seperti terkunci dengan sendirinya, padahal kurasa aku bisa menjawabnya.
"Tidak, aku tidak tahu,"
Akhirnya, hanya kata itu yang keluar dari mulutku.
"Baiklah, intinya ada sosok bertopeng dibalik semua ini, tapi ngomong-ngomong kemana ponselmu saat itu? Apa kau sempat menerima telepon dari Giny sebelum bertemu sosok itu?"
"Tidak, aku tidak menerima telepon apapun, dan ponselku hilang sejak kejadian itu," jawabku dengan pandangan menunduk tak berani menatap mata lawan bicara.
"Jangan-jangan sosok itu yang mengambil ponselmu," tukas Iqbal dengan pendapatnya.
Sontak mataku langsung terangkat mendengar perkataan barusan.
"M-mungkin,"
Iqbal membetulkan posisi duduknya sesaat setelah meminum beberapa teguk cola yang baru datang.
"Aster, apa kau tidak sedih saat tahu Giny tewas dengan tragis?" tanya Iqbal dengan cuatan retorisnya.
"Siapa yang akan bahagia dengan itu?"
"Sungguh? Kukira kau akan jadi orang paling sedih atas kematian Giny, sebab karena kaulah Giny menjadi korban di manor,"
Aku tertegun, tak menyangka jika Iqbal akan berpikiran seperti itu. Sebetulnya hal inilah yang paling aku takutkan saat berhadapan dengan polisi, cecaran pertanyaan dan pernyataan yang menyudutkan. Seolah mereka dengan sengaja membuatku seperti tersangka.
"Itu kesepakatan bersama untuk menginap di manor, aku sama sekali tidak menghasutnya," jelasku meluncurkan pembelaan dengan hal yang sebenarnya.
"Kalau begitu, kenapa hanya kalian berdua yang menginap disana? Kenapa tidak mengajak yang lain juga?"
"Karena hanya kita berdua yang tidak percaya dengan kutukan Victoria Black," jawabku penuh kewaspadaan.
"Hhahaahah lagi-lagi soal itu,"
"Apa Anda tidak mempercayainya, detektif?"
"Bagaimana ya? Sudah banyak kasus yang tak terungkap di masa lampau, aku hanya ingin mencari kebenaran, terlebih hanya kamu satu-satunya korban yang selamat dari kutukan tersebut,"
Benar juga, selama ini semua kasus yang berhubungan dengan manor itu selalu saja tak menyisakan korban. Victoria Black membantai semua orang yang berkunjung ke manornya. Namun hanya Aku, ya... hanya aku yang lepas dari jemputan ajal untuk sementara.
Iqbal menghabiskan cola-nya, sementara aku diam membisu. Aku yakin kasus ini akan berbuntut semakin panjang sampai sosok itu berhasil dipungut polisi. Parahnya, semuanya akan melibatkanku dan seorang Aster Widoyo tak bisa benar-benar hidup bebas sampai kasus ini terungkap.
"Oh Giny, sudah mati pun kau tetap saja merepotkanku," - batinku dalam hati.
***
Guyuran hujan di luar sana sudah agak mereda, sebuah payung hitam menjulang di atas kepalaku sambil menerjang udara malam yang dingin. Perlahan langkahku meninggalkan kafe yang sepi sebelum kedatanganku lalu tiba-tiba ramai setelah aku masuk ditambah hujan yang menyerbu.
Menurutku, hanya disanalah pikiranku bisa berjalan dengan tenang dan tentram. Kuharap setelah semua yang terjadi padaku, Tuhan memberikan pengampunan dan kesempatan terbaik untuk hidup di dunia ini. Karena kudengar samar-samar, kasus pembunuhan Giny Kumalasari di manor kutukan akan segera ditutup polisi dengan berbagai alasan. Akhirnya, setelah sekian lama aku bisa lepas dari bayang-bayang polisi, investigasi, dan terlebih kematian Giny.
Kedua sol sepatuku kembali menapakki jalan pulang, sudah satu tahun belakangan aku memutuskan untuk tinggal sendiri. Di umurku yang menginjak delapan belas tahun mungkin lebih baik sudah berpisah dengan rumah untuk hidup lebih mandiri.
Tak sampai sepuluh menit kedua mataku bisa melihat bangunan rumah tingkat empat didepan lapangan basket. Salah satu telunjukku memencet bel sebelum menutup payung, lalu masuk ke dalam rumah tersebut. Kamarku ada di lantai dua nomor lima dimana Aku bisa santai menikmati orang-orang bermain basket tiap sore tiba.
"Aster, kuharap kau tidak melupakan makan malammu," celetuk sebuah suara sesaat setelah pintu tertutup.
"Tentu saja tidak Nyonya Jean, Aku tak suka membiarkan perutku keroncongan," balasku sembari menaruh payung dalam kotak kayu disamping pintu masuk.
"Baguslah kalau begitu, jangan lupa bersihkan dirimu sebelum tidur,"
"Yeah, terimakasih,"
Derap-derap langkahku langsung meluncur menaikki tangga, sementara kamar sebelah sudah tak menyalakan lampu.
"Kemana Celine?" - tanyaku dalam hati.
Ya, biasanya anak itu yang paling terlambat pulang. Namun malam itu kamarnya sudah gelap, apa Dia sudah tidur? Atau sedang pergi? Oh tidak, itu bukan urusanku.
#bersambung#