"Capek?"
"Nggak." Ines menggeleng sebagai jawaban. "Kan aku cuma duduk."
Keduanya turun dari triumph hitam yang tadi membawa mereka melintasi perjalanan hutan.
Mereka memasuki pelataran rumah bergaya modern bernuansa soft pastel ala-ala estetik. Disaat yang sama, Disha tengah menonton siaran TV dengan sepiring samyang di depannya.
Mengetahui kedatang bosnya, wanita itu menyeletuk. "Wih, yang abis uwu-uwuan udah pulang nih."
"Apa sih, Dis?! Sirik aja jomblo." Ujar Saga mendekatinya lalu turut duduk di samping Ines.
"Enak aja ngatain aku jomblo! Ndak ya! Aku punya pacar dan dia baik banget sama aku loh, Mas."
Saga memutar kedua bola matanya jengah. Wanita polos itu kalau diladeni makin menjadi.
Yah, namanya juga perempuan.
"Percuma baik kalau ilang-ilangan." Timpal Ines dan tepat sasaran, disusul Saga yang terbahak-bahak.
Disha yang merasa terpojok, hanya mengerucutkan bibirnya. Memang sih, Nino suka ilang-ilangan. Tapi tak apa, pria itu bilang dia sibuk kerja. Dan ya, Disha percaya.
Orang kalau sudah cinta, mau se tak masuk akal apapun alasannya, kita akan tetap percaya.
"Pinjam HP kamu." Pria itu menengadahkan satu tangannya ke arah Ines.
Deg!
Itu suara Saga. Disha yang mendengarnya seketika mendelik. Astaga, ia lupa memberitahu Ines bahwa semalam dirinya menerima telepon dari Saga! Apa pria itu akan melancarkan aksinya sekarang?
Shit! Disha belum siap menerima amukan bosnya.
"Buat apa?"
"Pinjam dulu. HP kamu bukan privasi, kan? Biasanya juga aku pinjam dan baik-baik aja."
Wanita itu hanya mengangkat kedua bahunya, tanda tak acuh dengan ucapan Saga. Toh selama ini benda pipih itu memang bukan hal privasi bagi Ines. Karena memang tak ada hal penting di dalamnya.
Setelah mendapat apa yang diminta, pria itu lantas membuka aplikasi kontak dan whatsapp. Namun Ines yang tak sadar dengan itu tetap fokus menonton siaran TV sambil memakan snack tanpa menoleh aktivitas Saga dengan HP-nya.
Lain halnya dengan Disha yang sudah ketar-ketir sejak tadi. Mau fokus makan dan bernapas pun kesulitan. Ia bahkan tak berani menoleh ke belakang. Posisinya yang lesehan di karpet membuat kedua sejoli di belakangnya tak sadar dengan raut wajah Disha yang tegang.
"Nih."
Ines menerima ponselnya kembali. Ditatapnya wajah Saga, sarat akan keheranan sebab Saga meminjamnya sebentar sekali.
"Ngapain?"
"Menghapus nomor kontak bernama Reinal." Ujar pria itu santai. Ia malah mengangkat sebelah kakinya untuk ditumpukan ke kaki sebelahnya.
Sial! Benar ternyata. Saga betul-betul melakukannya. Mampus sudah riwayat Disha. Ia menelan suapan terakhirnya susah payah.
Kalimat Saga barusan membuat Ines mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tak salah dengar, bukan?
"What the fuck are you doing?"
"Kamu mengumpatiku, Nes?" Pria itu tak kalah terkejutnya dengan Disha saat mendengar ucapan Ines. Wanita itu mungkin emosinya telah sampai di ubun-ubun.
"Kamu apa-apaan sih?! Apa maksudnya menghapus kontak Reinal? Lagi pula kamu tau dia dari mana?!"
"Disha." Jawabnya menghela napas berat. "Aku hanya menjauhkan kamu dari hal-hal yang mungkin bikin kamu celaka, Nes."
Hah?! Apa-apaan? Alibi yang tak masuk akal.
"Alasan kamu nggak berdasar tau nggak?!"
Mata Ines memancarkan kilat kemarahan. Bagaimana tidak? Pria di depannya ini selalu saja bertingkah semena-mena, sekehendak dirinya. Padahal itu bukan ranah yang harus ia campuri.
Disha betul-betul takut saat ini. Ada di tengah-tengah dua sejoli yang sedang ribut gara-gara dirinya, rasanya- ahh menegangkan.
"Sweetie, dengar. Aku cuma nggak mau kamu diapa-apain sama orang yang baru kamu kenal. Peselancar itu tetaplah orang baru buat kamu. Kamu nggak tau kan kalo dia ada niat jahat sama kamu? Makanya lebih baik kamu nggak perlu dekat-dekat sama orang kayak gitu, ya?" Kedua tangan kekarnya menangkup wajah Ines.
Namun tak lama, wanita itu malah menepis segala perlakuan Saga. "What the fuck are you thinking about?!"
Ya, sebut saja Saga kurang ajar. Ines tak habis pikir dengan jalan pemikiran pria itu. Hanya karena curiga orang lain ada maksud buruk? Memangnya Saga pikir dia siapa? Apa dia pikir Ines juga aman saat bersamanya? Pikiran Ines berkecamuk.
"Are you crazy?" Umpat Ines lagi.
"I'm crazy without you."
"What the hell?!"
Saga menyugar rambutnya ke bekakang. "Dengar baik-baik, Ines Alve." Ucapnya terjeda.
"Kalau diantara kita tidak ada kejelasan, maka aku juga tak akan membiarkan orang lain memberimu kejelasan. Got it, sweetie." Imbuhnya lagi lantas berlalu dari rumah itu.
Ines tergugu di tempat. Ia masih memikirkan betapa kerasnya perangai Saga. Saat lunak, pria itu akan sangat lembut padanya. Namun ketika sudah diusik, jiwa otoriternya akan keluar.
"Jelasin, Dis!"
Ya, wanita itu tentu akan meminta penjelasan dari asistennya yang kini hanya bisa mematung.
Oh, bukan main kagetnya Disha.
"M-maaf, Mbak." Ujarnya tertunduk.
"Kamu nggak menjawab pertanyaanku, Disha." Sorot mata Ines tak lepas dari Disha yang masih tak berani mengangkat kepalanya.
Namun Disha meyakinkan dirinya, ia tak boleh seperti ini terus-menerus. Mau tak mau harus ia ceritakan apa yang Saga bilang semalam.
Wanita itu mengangkat kepalanya. Menatap kedua netra bosnya yang tengah menyoroti dirinya tajam.
"Semalam Mas Saga telepon di HP kamu, tapi aku yang angkat karena ndak berani bangunin kamu. Terus dia tanya soal kamu ngapain aja dan ketemu siapa aja pas di G-Land."
Ines mendengarnya dengan seksama.
Disha melanjutkan. "Ya aku bilang kalo kamu dideketin sama peselancar namanya Reinal. Terus kalian juga ada chemistry satu sama lain, gitu. Dan kayaknya sih Mas Saga marah pas dengar itu. Terus katanya besok mau hapus semua akses Reinal dari HP kamu. Ya terjadilah yang barusan itu. Cuma yang reschedule acara kamu hari ini, aku sama sekali ndak tau loh. Dia ndak bilang sama aku dan ndak nanya juga schedule kamu apa aja."
Wanita itu mengatur napasnya teratur saat mengatakannya. Jujur saja ia takut dengan respon bos cantiknya.
"Kenapa baru bilang?" Tanya Ines melunak.
"Sebenarnya mau bilang tadi pagi, tapi aku lupa karena buru-buru ke kantor agensi. Aku bangun kesiangan juga, Mbak."
Ines menghempaskan punggungnya ke sofa. "Kenapa kamu kasih tau Saga kalau aku dekat sama Reinal, Dis? Kan kamu sendiri yang ngasih saran biar aku buka hati buat siapapun yang datang? Tapi kenapa jadi gini, sih?!"
Disha akui ia salah. Ia memang menyuruh Ines untuk membuka hati pada pria lain saat di hotel. Agar cinta yang ia dapat juga tak melulu dari Saga. Agar suatu hari nanti Saga juga tau bahwa ia tak memiliki hak penuh untuk mengatur hidup Ines.
Namun di satu sisi, Disha juga merasa iba dengan Saga yang sedari dulu hingga kini tetap berjuang untuk mendapatkan Ines. Entahlah, ia bingung sendiri mau di kubu yang mana.
Tapi berhubung semalam Saga sudah memberinya imbalan atas info yang ia berikan, mungkin Disha akan lebih prefer ke Saga.
Manusia mana bisa nolak kalau dikasih uang?
"Iya Mbak, maaf. Aku sebenarnya kasihan aja sama Mas Saga. Kupikir ndak ada salahnya aku bantu dia buat mendapatkan kamu. Biar kamu luluh, karena orang kayak Mas Saga hampir punah di dunia ini."
Haha, dikira spesies binatang kali ya hampir punah?
Satu hal yang belum Disha tau. Ines tak mudah untuk marah lama-lama. Ia tak terbiasa hidup bermusuhan walau di lingkungannya wanita itu bisa dibilang memiliki sedikit teman.
Orang kalau sudah cinta, mau se tak masuk akal apapun alasannya, kita akan tetap percaya.