Sudah berhari-hari Andine dan Andra hidup dalam rumah tangga penuh keasingan itu, keduanya menjalani rutinitas seperti biasa tanpa ada tegur sapa. Kedua anak manusia itu hanya akan bicara jika ada hal-hal yang penting saja.
Hal ini tentu saja membuat Andine merasa bingung. Di satu sisi ia ingin sekali mengajak Andra mengobrol atau sekedar basa-basi, tapi seolah tak ada kesempatan baginya untuk memulai. Bahkan saat libur pun, Andra memilih mengasingkan diri di dalam ruang kerjanya. Bekerja seharian penuh tanpa jeda.
"Dasar manusia gila kerja! Di kantor kerja, di rumah kerja, kok bisa sih ada manusia kayak dia?" Andine hanya bisa menggerutu. Minggu pagi, setelah membuat sarapan ia berniat memanggil Andra di kamarnya, tetapi Andra malah mengatakan bahwa ia sedang sibuk dan tidak mau diganggu.
"Aku cuma mau nawarin kamu sarapan, Mas! Masa pagi-pagi udah kerja aja sih? Nggak ngisi energi dulu?" teriak Andine dari luar ruangan pria itu.
"Udah aku bilang jangan ganggu! Ntar kalau aku mau sarapan aku keluar sendiri!" Suara Andra terdengar menggema, pemuda itu menjawab dari dalam dan tak kalah kerasnya dengan suara Andine.
Andine berdecak kesal, gadis yang mengenakan piyama biru itu hanya bisa menggerutu kemudian berbalik dan pergi menuju ruang makan.
"Tuan belum mau sarapan, Non?" tanya Bi Lastri dengan raut muka tak enak, ia sudah tahu bagaimana kehidupan tuan dan nyonya-nya selama ini.
Andine menghela napas dan mengempaskan duduk di salah satu kursi, gadis itu menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan sang asisten.
"Ya sudah, Non. Sarapannya bareng sama, bibi aja." Wanita paruh baya itu berniat menghibur Andine.
Ya, Bi Lastri tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga Andine dan Andra. Hanya saja, ia tak berniat bertanya lebih dalam dan memilih untuk bungkam. Wanita itu tidak mau ikut campur.
Di depan Andine tersaji berbagai menu makanan lezat. Namun, gadis itu tak berselera untuk menikmatinya. Pikirannya tengah berkecamuk memikirkan sosok lelaki di dalam ruang kerjanya.
Tentang Andra, dan sesuatu yang sulit ditebak di dalam diri pria itu. Kenapa dia sangat sulit didekati, sulit diajak bicara, dan sulit untuk sekedar berbagi cerita dengannya.
Padahal, Andine sangat ingin melakukannya. Agar kehidupan rumah tangga mereka bisa lebih baik dan ada kemajuan.
Andine mendesah lelah, ia pun memilih menikmati sarapannya seorang diri.
Di ruang kerjanya, Andra duduk di balik meja dengan sebuah laptop menyala di hadapannya. Pemuda yang sudah selesai mandi itu mengenakan kaus pendek berwarna putih, dan juga celana selutut berbahan katun. Andra sedang mengamati lembar kerja yang ada di layar laptop.
Pemuda itu memang terlihat sibuk, walau sebenarnya tidak juga. Ya, Andra hanya sedang berusaha menghindari sosok istrinya, pria itu tidak mau terlalu sering berinteraksi dengannya. Bahkan sejak kemarin, keduanya berangkat kerja sendiri-sendiri. Andra dengan mobilnya, dan Andine dengan sopir pribadi mereka.
Jika Andine berusaha mendekati Andra, maka pria itu berusaha menghindari Andine. Keduanya tak sama, memiliki niat yang berbeda.
Ponsel Andra yang tergeletak di atas meja bergetar, sebuah panggilan masuk dengan nama kontak 'Romi' tertera di layar.
"Halo?" Andra langsung mengangkatnya.
"Halo, Pak."
"Bagaimana, Romi?" Andra mengecilkan suaranya, ia begitu penasaran akan jawaban selanjutnya dari pekerja kepercayaannya tersebut.
"Saya sudah dapat hasilnya, Pak."
Andra terkesiap, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Pria itu menelan ludah, ia pun mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat selanjutnya dari Romi.
"Bapak … masih di sana?"
"Ya! Saya masih mendengar, lanjutkan."
Terdengar suara deheman dari ujung telepon.
"Baik, Pak. Jadi, setelah saya selidiki, ternyata benar wanita di foto itu adalah Viona. Dia … sudah berhasil menjadi model di Paris, Perancis. Dan, pengikutnya di Instagram juga sudah mulai naik beberapa waktu belakangan ini. Menurut berita yang saya baca, saat ini Viona sedang dekat dengan salah satu penyanyi yang cukup populer di sana. Sekian laporan dari saya, Pak, kalau perlu saya akan kirim beberapa buktinya." Penjelasan dari Romi berhasil membuat Andra terdiam.
Pemuda itu sampai menahan napas demi mendengar dengan seksama kalimat pekerjanya.
"Terima kasih." Andra langsung menutup sambungan telepon, ia meletakkan benda pipih itu kembali di atas meja.
Andra mengusap wajah, ia menyandarkan punggung dengan muka yang kusut.
"Kau sudah berhasil rupanya?" gumam Andra seraya tersenyum miring, "Selamat kalau begitu," lanjutnya. Pemuda itu kini tersenyum lebar, tapi sorot matanya tidak dapat menipu bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja.
Andra memejamkan mata, ia kembali mengingat pada malam di mana pemuda itu memilih untuk pergi dulu sebelum tiba di rumah. Ya, Andra sering kali beralasan lembur pada Andine, dan baru pulang saat menuju tengah malam. Padahal, yang dilakukannya bukanlah lembur kerja, melainkan pergi ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya dan hening malam.
Satu-satunya tempat yang sering Andra kunjungi selama beberapa waktu ini, adalah tepi danau yang terdapat di sudut kota. Di sana, di tengah kesunyian, dan gelapnya malam, Andra sering bersendiri mencari ketenangan, sambil memikirkan cara bagaimana melupakan seseorang yang selama ini ada di dalam kepalanya.
Viona.
"Kau sudah berhasil mengejar impianmu, selamat untuk itu." Andra tersenyum dengan mata terpejam, kini di kepalanya tengah terbayang sosok wanita yang baru saja ia bicarakan. Viona.
Viona, gadis itu telah berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya, tapi tak berselang lama ia kembali pergi meninggalkan luka yang lebar menganga.
Viona, adalah alasan mengapa Andra tak pernah siap dengan yang namanya pernikahan. Sebab hatinya sudah berjanji, bahwa ia hanya akan menikah dengan nama gadis yang sudah lama terukir di sanubari. Viona.
Tok, tok, tok! Ketukan pintu berhasil membuyarkan lamunan Andra. Pemuda itu membuka mata dan mengambil duduk tegak.
"Mas! Kamu masih kerja?" Suara Andine terdengar dari luar ruangan.
Andra mendengkus, merasa diganggu.
"Kenapa?" sahut pria itu dari dalam.
"Bisa nggak pintunya dibuka dulu? Dari tadi kita teriak-teriak!" Gadis itu sudah mulai kesal rupanya.
Andra berdecak lirih, ia akhirnya mengalah dan memilih bangkit dari kursinya.
"Udah aku bilang, kalau aku mau sarapan aku bisa turun sendiri ke bawah--" Andra membeku di tempatnya berdiri setelah ia berhasil membuka pintu.
Pemuda berhidung mancung itu terkejut, ia mengira bahwa sang istri datang membawakan sarapan untuknya. Namun, ternyata tidak, wanita itu malah berpakaian rapi seperti siap untuk pergi.
"Iya, aku udah tahu," sahut gadis itu cepat.
"Ada apa?" Andra bertanya seraya berdehem kecil.
"Aku cuma mau pamit, Mas," ujar Andine seraya berpangku tangan.
"Ke mana?"
Andine menghela napas pendek, "Mau ke rumah temen, sekalian jalan-jalan juga. Daripada aku di rumah stress sendiri? Mending keluar." Wanita itu sedikit menyindir pria di hadapannya.
"Oke," jawab Andra singkat.
Andine sesungguhnya ingin mengumpat, tapi gadis itu menahannya. "Oke doang?"
"Ya, terus?" Andra bertanya bingung. Sungguh, dia adalah pria dingin yang tak peka pada istrinya sendiri.
"Nggak! Yaudah lupain aja, aku berangkat dulu," jawab Andine sambil bersiap untuk pergi.
"Silakan!" Andra tersenyum kecil.
Sambil bersungut-sungut, Andine berlalu begitu saja.
"Kalau aku pamit mau cari selingkuhan, mungkin dia bakal iya-iya, aja kali ya? Nyebelin banget sih!" Andine menggerutu dengan suara lirih.
Bersambung.