"Kau ...."
Anna tak hanya terkejut, tetapi tubuhnya memaku sesaat.
"Tadi ada sedikit masalah, karena itu, aku pulang terlambat," dalih Malik. Dia harap Anna percaya, karena sebenarnya dia tak pandai berbohong.
Emosi yang tertahan, kini berubah menjadi rasa iba dan khawatir.
"Kau duduklah," Anna menuntun Malik duduk di sofa kamar. "Aku akan meminta p3k pada pelayan."
Sudut mata Malik mengikuti langkah Anna, apa yang ingin dilakukan wanita itu?
Malik mendesah kasar dan pelan, kelopak matanya terasa berat, begitu lelah. Kepalanya menyandar pada sandaran sofa, sesekali matanya memejam dengan sendirinya.
"Malik ...," Anna menatap suaminya yang tertidur. Wajah tampannya terlihat sangat lelah.
"Bantu aku mengobatinya Lily," pinta Anna.
Lily berdiri di sebelah nonanya, sementara Anna membuka satu per satu kancing kemeja suaminya. Entah kenapa debar dada tak terkendali, Anna gugup, bahkan telapak tangannya terasa dingin dan berkeringat.
Glek!
Otot-otot penuh dan menggoda itu membuat tenggorokan Anna mengering.
'Fokus Anna! Fokus!' batinnya.
Pesona Malik sama besarnya saat pria itu tidur atau pun terjaga. Anna tak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi seperti kemarin.
"Alkohol, obat merah, dan perban," pinta Anna.
Lily langsung menyiapkan apa yang diminta oleh nonanya.
Anna membuka perban itu kembali, ada keanehan dengan luka suaminya. Kecelakaan apa yang mengakibatkan luka seperti itu?
"Oh ya. Panggilkan pengawal, sepertinya kita tidak mungkin bisa mengangkat tubuhnya ke ranjang," titah Anna.
Postur tubuh Malik terlalu tinggi dan berat, bahkan sekalipun dia dibantu Lily, tenaga mereka tidak akan mampu mengangkatnya.
"Baik, Nona," sahut Lily.
Anna terus menatap wajah Malik, mengusapnya pelan dan lembut. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah memikirkan hal yang tidak-tidak. Padahal apa yang terjadi tidak seperti yang dia pikirkan.
"Angkat Malik ke ranjangku," ucap Anna pada pengawal.
Pengawal itu sedikit kaget, "Bukan ke kamar Tuan, Non?" tanyanya.
"Tidak, kamar Malik terlalu jauh. Dan, dia tidak mungkin tidur di sofa dengan posisi seperti ini," terang Anna.
Tidur di ranjang yang sama dengan suaminya, tentu hal yang sangat wajar. Bukankah mereka pasangan sah?
"Ba-ik, Non," sahut pengawal itu.
*
"Pernikahan?" Malik tersenyum miring. Apa asistennya sedang ngelindur?
"Jangan mengatakan hal konyol, Erick. Aku tidak punya waktu untuk hal tidak berguna seperti itu," tandasnya.
Ya, Malik tidak punya waktu untuk mengurusi orang lain, memikirkan orang lain apalagi sampai menuruti permintaan orang tersebut. Bukankah dalam pernikahan ada istilah take and give? Malik tidak bisa melakukannya.
Namun sepertinya Erick tidak menyerah, entah apa yang merasukinya. Sorot mata pria itu menginginkan Malik untuk menikah.
"Umur saya mungkin tidak akan panjang, Tuan. Dan, sebelum itu terjadi, saya ingin melihat Tuan menikah," ucap Erick.
Yap hanya itu yang diinginkan!
Penyakit jantung yang dimilikinya seperti bom waktu, yang sewaktu-waktu merenggut nyawanya.
"Tidak akan terjadi apa pun, aku sudah membayar dokter terbaik untuk mengobatimu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa," Malik tidak suka dengan pembahasan itu.
Kematian adalah hal yang paling dia benci, sangat dia benci. Karena kematian sudah mengambil banyak hal darinya.
Erick menarik napas panjang dan berat, dia tidak memiliki keinginan lain, dia hanya ingin tuannya memiliki seseorang yang bisa menjaga dan menemani tuannya. Yang mampu mengerti dan memahami tuannya.
"Kembalilah bekerja—"
"Kalau Tuan tidak memiliki waktu, biar saya sendiri yang mengurus semuanya. Saya akan mencarikan wanita yang tepat untuk Tuan, dan saya yang akan menyiapkan persiapan pernikahan itu. Bagaimana?" Erick kekeh.
Malik mengusap rambutnya dengan kasar. Dia sangat menghormati Erick, pria itu sudah seperti orangtuanya sendiri. Tetapi, akhir-akhir ini permintaan Erick sangat konyol.
"Tuan tidak peru memikiran apa pun, dan hanya terima beresnua saja," tambah Erick.
"Terserah kau saja!" tandas Malik. Sedikit kesal.
Berat!
Empuk?
Malik merasa ada sesuatu yang menindih tubuhnya. Ada sesuatu yang menempel di bagian sisi kanannya. Pria itu pun membuka mata, mendapati sosok Anna yang tidur pulas di sampingnya.
Cukup lama dia terdiam, sampai akhirnya dia mengingat apa yang terjadi sebelum dia tidur.
Perban di lengannya pun sudah diganti dengan yang baru. Sepertinya Anna lah yang menggantinya.
"Anna," panggil Malik dengan nada pelan. Malik pikir dia harus pindah kamar. "Bangunlah, Anna."
"Hmmmph."
Anna menggeliat dan semakin memeluknya erat. Membuat tubuh Malik terkunci dan tidak bisa bergerak leluasa.
"Ann ...," Suara Malik menghilang. Sepertinya percuma membangunkan istrinya.
Pria itu menyerah, pasrah.
Malik menatap langit-langit kamar, memikirkan ucapan Erick saat mencetuskan ide tentang pernikahan. Dan, kali ini ada beberapa hal yang Malik sepakati. Pernikahan tidak terlalu konyol. Mungkin yang lebih pantas disebut konyol adalah dirinya.
Malik tak pernah merasa marah untuk hal yang menurutnya tidak berkaitan dengannya, tetapi dia malah marah karena pakaian Anna. Dia marah karena ada orang yang memandang istrinya.
Lagi, Malik menatap Anna, gaun malam yang dipakai istrinya itu menunjukkan belahan dada, juga bra yang membungkus payudara istrinya. Tangan pria itu bergerak, menarik sedikit gaun itu.
"Kau memang bandel, Anna. Kenapa kau lebih banyak bertanya dan menentangku?"
Istrinya tak pernah sepakat dengan keputusannya, dan membuatnya marah mungkin sudah menjadi hobi Anna.
Malik mengusap rambut Anna, istrinya cantik. Dan, hati Malik pun membenarkannya. Bahkan saat pertama kali bertemu dengan Anna, dia pun kagum pada paras istrinya.
Namun, Malik bukan pria hidung belang yang hanya melihat seseorang dari kecantikannya. Dia tidak peduli entah istrinya cantik atau tidak, intinya saat itu, dia terpaksa menikahi Anna.
Dan, sampai detik ini pun, Malik tak menyangka kalau Erick benar-benar mengadakan pernikahan untuknya. Benar-benar mencarikan wanita untuknya.
Lalu, Erick mendapatkan Anna dari mana? Bagaimana cara mereka berkenalan?
Malik menyelidiki semua itu setelah satu hari menikah. Dia tahu siapa Anna, keluarga Anna, dan siapa-siapa saja yang terikat dengan istrinya itu.
"Wehehehehe," Anna tiba-tiba terkekeh. Gadis itu memutar tubuhnya, menggaruk perutnya dengan kasar.
Malik mengernyit, tawa kecil mengudara setelahnya. Anna memiliki kebiasaan tidur yang lucu.
"Apa yang sedang kau mimpikan sampai tertawa seperti itu?" Untuk beberapa menit Malik menatap Anna. Memandangi wajah istrinya, sampai sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan terlintas.
Malik mendekati wajah Anna, sangat dekat, hingga embus napas hangat menyentuh pipinya. Tatapan pria itu terarah pada bibir merah cerah milik istrinya.
Akal sehat dan prinsip yang selama ini dia pertahankan sedikit goyah. Malik tidak akan pernah menyentuh wanita yang tidak menginginkannya, dan dia tahu bahwa istrinya itu tidak menginginkannya. Namun, kenapa malam ini Malik sangat menginginkannya? Perasaan aneh mendesak Malik untuk mencicipi bibir ranum itu.
"Fuck!" umpat Malik pada dirinya yang berpikiran bodoh.
"Apa yang kau lakukan Malik?!" gumamnya.