Setelah menghilang hampir sehari penuh, Zeno datang bersama seorang lelaki tampan dengan kulit yang tampak mengkilap putih.
Rambutnya sewarna pirau, dengan tinggi tubuh sedikit di bawah Zeno. Senyumnya tampak ramah, namun tatapan netranya sangat tajam.
Setelah dipersilakan masuk, pria itu mulai menyampaikan tujuannya datang di kediaman Sofia.
"Perkenalkan, saya Theo Bridgestone. Kedatangan saya kemari, dengan maksud ingin mempersunting Sofia untuk adik saya, Zeno Bridgestone. Apakah, Tuan dan Nyonya mengizinkannya?" tanya Theo, kakak dari Zeno.
Kedua orang tua Sofia tampak terkejut, pasalnya sang anak tidak pernah mengatakan apa pun pada mereka.
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya mereka semua sepakat untuk menyetujui pinangan Zeno untuk Sofia.
Menentukan tanggal pernikahan, yang disepakati sekitar satu minggu dari sekarang.
Setelah semuanya selesai, Theo segera berpamitan untuk pulang. Ia bilang, masih ada pekerjaan yang harus lelaki itu selesaikan.
***
Satu minggu kemudian....
Pernikahan Zeno dan Sofia telah selesai dilaksanakan. Mereka tidak mengatakan alasan yang sesungguhnya, saat memilih untuk secepatnya melangsungkan pernikahan.
"Bunga Calendula, kemari!" panggil Zeno. Pria itu tersenyum hingga memperlihatkan lengkungan seperti bulan sabit di matanya.
"Jangan panggil saya begitu, saya malu Zeno!" protes Sofia kepada lelaki yang kini sudah resmi, menjadi suaminya.
"Baiklah, kemari istriku. Kamu pasti sangat lelah, biarkan saya pijat kaki kamu." Ucapan Zeno membuat Sofia tersipu malu, hingga pipinya bersemu.
Tanpa menunggu panggilan suaminya untuk kedua kali, Sofia segera duduk di samping Zeno. Kakinya dipijat oleh sang suami dengan lembut dan telaten.
Sofia sangat bahagia. Ia merasa sangat beruntung, memiliki suami seperti Zeno. Sudah tampan, baik hati, sabar dan penyayang pula.
Entah, kebaikan apa yang wanita itu lakukan di masa lalu. Hingga Dewa memberikan kebahagiaan sebesar ini kepada dirinya.
"Zeno, terima kasih. Terima kasih karena sudah mau bertanggung jawab menikahiku. Awalnya, saya sempat berpikiran buruk tentangmu," ucap Sofia.
Zeno hanya tersenyum, mengusap lembut pipi sang istri yang masih sedikit basah. "Saya mencintai kamu, Sofia. Lalu, apakah ada alasan hingga saya meninggalkanmu begitu saja?"
Sofia menundukkan kepalanya, ia tersenyum malu.
"Sofia, lihat kemari! Kenapa senyumnya disembunyikan? Saya ingin melihatnya," pinta Zeno.
Kini, sang pria mengangkat dagu Sofia. Tatapan mata mereka saling beradu, hingga tanpa sadar jarak mereka semakin terpangkas.
Kini keduanya bergelung dalam selimut yang sama, berbagi kehangatan di malam dingin bersama rintik hujan.
Jika air di luar sana membasahi bumi, maka air di dalam kamar pasangan pengantin baru juga sama basahnya. Berbagi cinta dalam keindahan, semoga ini bukan hanya sementara saja.
Memejamkan mata, menyelami mimpi sembari menunggu sang mentari menampakkan batang hidungnya.
***
Saat Zeno dan Sofia sedang memindahkan kayu bakar untuk memasak, tiba-tiba saja ada sekelompok prajurit dan pasukan berkuda yang sedang sibuk berkeliling.
Sayup terdengar, jika mereka sedang mencari Pangeran Mahkota Zen William yang menghilang tanpa jejak.
"Zeno, mereka sedang sibuk mencari Pangeran Mahkota Zen William. Menurutmu, kenapa Pangeran menghilang begitu saja?" tanya Sofia kepada sang suami.
"Mungkin, dia ingin mencari suasana baru. Atau, bisa jadi dia sudah meninggal," jawab Zeno seadanya.
Sofia mencubit perut suaminya, "Sembarangan kamu, nanti kalau salah satu dari mereka mendengar. Kita bisa berada dalam masalah!"
"Mereka tidak sekejam itu, Sofia. Tidak mungkin, mereka akan berbuat semena-mena pada rakyatnya," jelas Zeno.
Sofia mendengus pelan, "Kamu saja yang tidak tahu. Mereka itu suka menyiksa rakyat kecil seperti kami. Bahkan pajak yang ditentukan Raja, mereka naikkan nilainya."
Zeno terbelalak, ia terkejut mendengar pernyataan istrinya. "Jangan berbicara sembarangan, Sofia. Mereka, tidak mungkin tega melakukan hal seperti itu."
"Suamiku, hidupmu habis untuk berburu. Jadi, mana mungkin kamu tahu keadaan kami di sini seperti apa? Kalangan atas memang selalu seperti itu," jelas Sofia dengan sangat yakin.
Zeno terdiam, entah apa yang sedang pria tampan itu pikirkan. "Baiklah, ayo kita masuk."
Di dalam kamar, Zeno terus merenung. Di telinganya selalu terngiang, tentang apa yang Sofia katakan tadi pagi.
"Suamiku, saya bingung. Bagaimana rakyat bisa mengenali wajah Pangeran Zen William, sedangkan wajahnya saja tidak ada yang tahu. Mereka dulu pernah bilang, jika Pangeran akan menemui rakyatnya setelah menikah nanti," ujar Sofia tiba-tiba.
Zeno menoleh ke arah Sofia, "Kenapa kamu penasaran sekali, hmm? Apa, yang kamu sangat ingin tahu itu?"
Zeno mencolek dagu Sofia untuk menggoda sang istri. "Tidak perlu mengkhawatirkan Pangeran Mahkota, kita pikirkan saja tentang kita," lanjutnya.
Sofia mengerucutkan bibirnya, "Terserah saja, saya hanya penasaran dan tidak ada maksud lain."
Zeno gemas, ia menarik sang istri untuk ia bawa ke pangkuannya. Meninggalkan kecupan sayang berkali-kali, hingga wajah Sofi basah.
Tiba-tiba saja pikiran sang pria berkelana jauh, apakah kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bisa menjadi selamanya? Atau ini hanya untuk sementara? Zeno tentu tidak bisa menjawabnya, ia hanya akan berusaha untuk memperjuangkan Sofia.
***
Sudah hampir dua minggu, Zeno melarang Sofia untuk keluar rumah. Bahkan pria itu tidak lagi mengizinkan sang istri untuk membantunya mencari kayu bakar.
Di pagi hari, Zeno pergi bersama ayah mertuanya untuk menyadap nira. Lalu, pada siang hari lelaki itu pergi untuk mencari kayu bakar. Terakhir, sore hari ia akan pergi ke tengah hutan guna mencari tanaman obat.
Zeno tidak mengeluh sedikit pun, ia dengan senang hati melakukannya. Pria itu juga tidak pernah protes soal makanan, apa pun yang disajikan, itu pula yang akan ia makan.
"Suamiku, jangan terlalu lelah. Minum dulu," ucap Sofia sembari memberikan sebuah kendi berisi air kepada Zeno.
Peluh pria itu mengalir deras. Wajahnya tampak memerah.
"Zeno, tanganmu terluka!" seru Sofia saat menyadari luka menganga di tangan suaminya.
Zeno tersenyum lembut, "Tidak perlu khawatir, ini hanya luka kecil. Tidak sengaja tergores saat mencari kayu bakar."
Sofia langsung berlari, mencari obat untuk tangan suaminya yang terluka parah.
Dengan telaten, Sofia membersihkan luka di tangan Zeno. Sesekali wanita itu meniupnya, memberikan sensasi sejuk dan juga perih di saat yang sama.
"Lain kali, hati-hati. Jangan membuat saya khawatir seperti ini." Sofia mencium luka di tangan Zeno, berharap ia bisa menjadi penyembuh untuk sang suami.
Zeno tertawa pelan, "Saya tidak takut terluka. Ada kamu, bunga Calendula. Saya hanya takut, jika kamu pergi meninggalkan saya."
Sofia mencubit perut suaminya, "Justru kamu, bisa saja meninggalkanku suatu saat nanti!"
Zeno terdiam, entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Yang jelas, raut wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Pria itu tidak tahu, akan ada kejadian apa di kemudian hari. Namun, ia berharap agar semua terjadi sesuai dengan keinginannya.
Ia hanya ingin hidup bahagia bersama Sofia. Wanita yang berhasil mengambil penuh hatinya. Seseorang yang mampu membuatnya melupakan dunia, setelah busur panah kesayangannya.
"Saya, sangat mencintai kamu. Semoga ke depannya, semua berjalan sesuai keinginan kita."