Rumah Sakit Mitra Sejahtera sangat terkenal di Jakarta. Peralatan medis dan tenaga kesehatan di sana selalu dilengkapi dengan sangat baik. Rumah sakit itu milik keluarga Eddy Trikusuma.
Sebelum Petra datang, dia sengaja menelepon Eddy terlebih dahulu, dan sudah ada dokter ortopedi yang menunggu mereka di sana.
Mia bergerak dengan kesulitan. Kaki kirinya sangat sakit hingga tidak bisa menyentuh lantai.
Petra melihat sikap Mia yang keras kepala. Pada awalnya dia mengira akan membiarkan Mia kesakitan, tapi pada akhirnya, dia tidak tega dan langsung turun. Dia menggendong Mia, yang masih bersikap keras kepala.
"Sandarkan kepalamu di dadaku…." Petra berjalan menuju rumah sakit, suaranya tak acuh dan tenang.
"Hah?" Mia tidak bereaksi, mendongak ke wrah dagu Petra yang tegas dengan agak bingung.
Langkah kaki Petra tidak cepat atau lambat, dan tanpa melihat ke arah Mia, dia berkata pelan, "Kalau kami mau berada di halaman depan bersamaku sebagai perempuan yang digunjingkan denganku, tatap saja aku dengan lembut…."
Kata-kata itu langsung menakuti Mia setengah mati dan membuat pikirannya lamban. Dia sudah membenamkan wajahnya di pelukan Petra secara alami.
Bibir tipis Petra berkedut tepat pada saat itu, menampakkan senyum yang seolah antara ada dan tiada.
Mia hanya terkena kram, yang tidak akan membuat khawatir kepala dokter ortopedi Rumah Sakit Mitra Sejahtera; mungkin hanya membuat Mia khawatir. Mia refleks menundukkan kepalanya dengan sangat rendah ketika dia melihat hasil pemeriksaan dari profesor berusia lebih dari lima puluh tahun itu
Tapi untungnya, Petra ada di sebelahnya. Meskipun profesor tua itu kesal, pria itu tidak mengatakan apa-apa.
Mia menjalani pemindaian x-ray. Tidak ada masalah dengan tulangnya, dan memang hanya terkilir. Sang dokter meresepkan obat-obatan seperti suplemen pelancar sirkulasi darah dan setelah menjelaskan bahwa Mia tidak boleh menggerakkan kakinya dengan terlalu kuat selama dua hari ke depan dan hal-hal terkait lainnya, dia pun pergi.
Namun, tatapan Mia ketika melihat dokter itu berbalik dipenuhi dengan ketidakpuasan, dan dia benar-benar jengkel.
"Aku akan berada di rumah selama dua hari ini, jangan pergi ke mana-mana…" ucap Petra dengan tenang. "Aku akan meminta Bibi Lana datang."
"Tidak usah merepotkannya, aku tidak tega…." Di bawah tatapan Petra yang suram, ujung kalimat Mia memelan hingga lirih tak terdengar, dan pada akhirnya dia hanya bisa mengalah lagi.
Enak saja, siapa bilang dia bukan istri paling baik?!
Terlebih lagi, dia mendengarkan kata-kata suaminya….
Bibi Lana berasal dari garis wanita keluarga Petra, dan Petra bersikap baik pada wanita tua itu, jadi membiarkan Bibi Lana merawatnya selama dua hari memang merupakan pilihan terbaik.
Namun, Mia merasa dia tidak punya dua hari untuk beristirahat. Rancangan pertama desain aula konser Julian Subagyo telah disusun, dan dia belum mengajukan pembahasan masalah selanjutnya.
Ada juga rencana desain Firma Hukum Wira…. Semua ini membuat Mia pusing!
Sudah hampir pukul sebelas siang ketika Petra tiba di kantor Grup Kaisar. Rapat eksekutif yang sudah dijadwalkan sebelumnya diundur sampai setelah Petra membawa Mia ke rumah sakit.
Keberhasilan Petra bukanlah kebetulan. Dia bekerja dengan sangat keras. Setidaknya, saat dia bekerja, jarang ada kelalaian akibat kecerobohannya. Kalau tidak, Kaisar tidak akan mengalami peningkatan bagi hasil tahunannya setelah Petra mengambil alih posisi pimpinan perusahaan.
Ketika Petra bicara dengan Susan di telepon hari itu, Susan memberitahunya bahwa para eksekutif kaget karena Petra menunda pertemuan penting pagi ini, dan mereka semua bertanya-tanya.
Sayangnya, Susan tutup mulut. Toh dia pun tidak bisa mengatakan bahwa Petra membawa istrinya ke rumah sakit dulu, 'kan? Ini hanya masalah kaki terkilir…. Yah, tepatnya, dikhawatirkan kabar itu akan mengejutkan sekelompok orang tua.
"Pak." Bayu masuk dengan membawa sebuah kamera SLR di tangannya, lalu meletakkan kamera itu di depan Petra. "Mereka di ruang konferensi."
Ketika pergi ke rumah sakit sebelumnya, alasan utama Mia menutupi wajahnya adalah takut wajahnya terekspos. Entah mereka kawin kontrak atau tidak, dia bisa saja diumbar ke publik. Dia tidak mau, dan tentu saja dia tidak akan pernah sudi.
Mereka akan berpisah, cepat atau lambat, jadi jika Petra tidak boleh membiarkannya mendapat masalah ke depannya sebagai kompensasi padanya karena telah berusaha menyenangkan Petra selama menikah.
Rumah Sakit Mitra Sejahtera adalah sebuah rumah sakit besar di Jakarta. Ada banyak pengusaha dan selebriti kaya yang datang ke sana. Banyak wartawan pergi ke sana untuk mencoba peruntungan ketika mereka tidak dapat menemukan berita.
Apa itu Petra bersama pacarnya yang sudah lama dirumorkan itu?!
Tidak, judulnya harus lebih sensasional…. Aborsi?!
Petra membalikkan badan dan melihat ke arah kamera. Dari sudut pandangnya, foto itu diambil oleh wartawan yang sangat profesional. Sulit untuk berjongkok secepat ini dan mengambil foto.
"Pak Petra, Bapak mau menghadapinya secara langsung?" Bayu bertanya dengan ragu-ragu.
Dalam keadaan normal, Petra hanya akan mengambilnya dan menghapus kartu memorinya, lalu memberi peringatan. Membalas? Tidak akan…. Bayu tidak bisa menerka isi pikiran Petra.
Setelah melihatnya lagi, Petra bangkit dengan membawa kamera itu dan langsung berjalan keluar. Bayu bergegas mengikutinya.
Ketika memasuki ruang konferensi, wartawan yang mengambil foto itu jelas tampak gugup dan gelisah. "P-pak Petra…."
"Duduk," satu kata sederhana itu menunjukkan sikap tegas dan dingin, dan aura angkuh itu bahkan lebih sulit untuk diabaikan.
Sang wartawan duduk dengan sedikit gemetar, tetapi duduknya pun tidak mantap, siap bangun kapan saja….
Petra mengambil kamera itu dan mulai menghapus isinya. Tapi, dia meninggalkan dua foto.
Bayu dan wartawan itu dapat melihat apa yang dilakukan Petra. Yang satu terkejut karena dia meninggalkan dua foto, dan yang lainnya mengeluh karena telah sia-sia mencari-cari berita baru.
Yang seperti mereka juga sangat sulit ditangani.
Angin berhembus membawa berits itu. Untungnya, muncul berita besar. Sayangnya, itu belum menjadi berita besar selama beberapa hari pertama…. Terkadang sudah sulit mengejar beritanya, tetapi tidak ada cara untuk mengunggahnya.
Rasanya seolah…. Wartawan itu sangat tertekan, dan merasa Petra yang menghapus foto-foto itu benar-benar membuatnya refleks merebut kameranya kembali.
"Pekerjaan kalian ini memang tidak mudah," kata Petra dengan tak acuh. "Saya sisakan dua untukmu. Tuliskan sesuatu yang lumayan. Jangan tulis yang tidak-tidak, saya tidak suka."
Sang wartawan terkejut, tidak menyangka Petra menyisakan dua foto untuknya. Hanya saja ketika dia melihat keduanya, dia merasa getir. Yang satu terlalu jauh, yang lain diambil ketika mereka hendak masuk ke dalam lift, hanya menunjukkan tampak belakang keduanya.
Petra sudah melihat dari awal hingga akhir, dan sang wanita hanya dapat terlihat samar-samar, paling banyak seperlima dari wajah bagian samping karena sudut pengambilannya yang rumit, beserta kaki yang ramping dan rambut hitam panjang.
Tapi itu pun lebih baik daripada tidak ada sama sekali…. Sang wartawan bersyukur, dan berkata bahwa dia tahu apa yang harus dia tulis.
Mudah saja, bisa apa saja…. Tapi, tidak ada yang namanya membawa seorang wanita untuk melakukan aborsi.
Petra menyalakan rokok dan berdiri di depan jendela yang terbentang dari lantai ke langit-langit, menghadap baris demi baris gedung pencakar langit di Jakarta. Pemandangannya begitu luas hingga ujungnya tak terlihat….
Dia tidak mencintai Mia, dan tahu bahwa Mia tidak mencintai dia…. Untuk seorang wanita yang hanya mencintai uang, Mia telah bersikap sangat pantas selama lebih dari setahun.
Setiap kali Petra memberikan perhiasan berlian kepadanya, Mia tampak sangat bahagia. Mia selalu berinisiatif membuat hatinya kacau balau.
Petra tidak yakin seberapa besar rasa obsesifnya pada Mia, tapi Mia mencium pria lain dengan begitu santainya, dan Petra tidak suka!
Jika tidak memberi Mia pelajaran, sudah pasti Petra tidak akan sadar kapan harus menahan diri.
Memikirkan hal ini, Petra meremas puntung rokoknya dengan kesal di asbak di atas meja kecil di sebelahnya. Berkat tangannya yang terlalu kuat, dia langsung menghancurkan rokoknya.
Pada saat yang sama, ponselnya bergetar di atas meja. Dia berbalik dan mengambilnya. Setelah melihat peneleponnya, dia mengangkatnya dan meletakkan ponsel itu di telinganya.
"Kak Petra, ibu memintaku untuk menanyakan apakah kamu punya waktu malam ini untuk makan malam di Villa Bukit Indah, bersama Bibi juga," suara Wira yang malas terdengar dari telepon. Ketika menyebut kata "Bibi," terdengar jelas bahwa Wira tersenyum kecil.