Wira berdiri membeku, melihat mobil hitam itu pergi setelah Mia masuk ke dalamnya. Meskipun dia tidak bisa melihat mobil itu karena jarak dan pencahayaan, dia masih bisa melihat bahwa itu adalah mobil mewah.
Perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Wajah Wira yang pada dasarnya lembut dan tampan perlahan tampak murung.
Ketika berbicara dengan Mia tadi, Petra merasa cara bicara Mia tidak janggal, tetapi setelah Mia masuk ke dalam mobil, Petra bisa melihat sesuatu yang menekan dan sedih di wajah Mia.
Entah karena suasana hati yang sedang buruk atau apa, Mia merasa sakit kepala dan memandang ke luar jendela mobil.
Lampu-lampu yang menerangi kota Jakarta di malam hari orang selalu membuat Mia terpesona. Terlalu banyak orang di sana tidak dapat melepaskan diri dari pusaran kehidupan malam.
Wajah Petra yang datar dan dingin tidak membawa ekspresi apapun, dan wajah itu tampak sangat tidak acuh hingga orang lain tidak bisa menerka suasana hatinya saat ini.
Tadi di lorong, kalau Petra tidak salah ingat, dia sekilas melihat sekelebat rok Mia.
"Bukannya katamu ulang tahun temanmu akan berlangsung sampai malam?" Suara Petra tenang, tidak menunjukkan arus perasaan yang bergolak di balik kata-katanya saat ini.
Mia memalingkan pandangannya, bersandar dengan letih di kursinya. Dia menoleh ke arah Petra dan berkata, "Aku merasa agak tidak enak badan…."
Bukannya Mia sudah mengatakan hal ini di telepon?
Di lampu merah, Petra menghentikan mobil dan memandang Mia. Wajahnya tenang seperti laut yang tanpa angin dan ombak. Pada kenyataannya, arus di bawah air yang tenang itu mengalir deras.
"Ra, kalau kamu terus menatapku begitu, aku takut akan tenggelam dalam pusaran matamu…." Suara Mia lembut dan lirih. Sekalipun ada rasa tidak suka di dalam hati Mia, rasa itu tersembunyi dari pandangan Petra.
Petra memicingkan mata. Lampu berganti hijau, dan dia menyalakan mobil dan melanjutkan perjalanan menuju Taman Dewata. "Ada yang ingin kau katakan padaku?"
"Hah?" Mia bingung.
Bibir tipis Petra membentuk senyum dingin yang nyaris tidak tampak, namun Mia mendapati bahwa dia bisa menyadarinya dengan jelas.
Mungkin karena jauh di lubuk hatinya, Mia merasa bersalah, Mia tiba-tiba berpikir Petra mungkin telah melihatnya mencium laki-laki lain.
Tapi ketika memikirkan tinggi badan Wira yang sepenuhnya menutupi dirinya, dan pada sudut itu mereka berada di dalam gelap, sementara Petra dan yang lainnya berada di bawah cahaya, Mia tahu dia ada di titik buta.
"Aku ingin berkata…." Mia merengut. "Aku sedih harus bergantung pada berita gosip untuk tahu kabar mengenai suamiku sendiri!"
"Oh?" Tatapan Petra semakin dalam, dan dia tidak bicara lagi.
Mia merasa agak bingung akan apa yang dipikirkan Petra saat ini. Pria itu biasanya tersenyum manja dan menawan padanya.
Dia sadar, dia tidak benar-benar menganggap serius hubungan itu. Bagaimanapun juga, pernikahan mereka adalah pernikahan kontrak, dan tidak ada yang benar-benar punya pilihan untuk mendapatkan kasih sayang. Tapi, entah kenapa, saat itu Mia merasa akan ada hal besar yang terjadi.
Hening.
Petra tidak bicara, dan Mia juga cemas karena pertemuan tak terduga dengan Wira, dan tidak tertarik untuk mencurahkan isi hatinya.
Setibanya di rumah mereka di Taman Dewata, Petra turun dari mobil dan berjalan mengitari bagian depan mobil ke bagian penumpang. Dia membukakan pintu mobil, dan sebelum Mia bisa menjawab, dia menyentakkan Mia keluar.
Pergelangan kaki Mia belum sembuh total sebelumnya, dan ketika ditarik seperti itu, pergelangan kakinya kembali tertekuk, dan dia merasakan kakinya kebas.
Petra tidak menyadari ada yang salah dengan Mia, dan langsung membawanya masuk ke dalam rumah dalam diam. Dia tidak berhenti di ruang tamu, melainkan langsung pergi ke kamar tidur di lantai dua.
Setelah mengucap "Baiklah," dengan singkat, Mia dilempar ke tempat tidur besar oleh Petra. Dengan refleks, Mia ingin bangun, tapi tubuhnya yang tertahan itu kembali ditekan oleh Petra.
Mia tanpa sadar ingin melawan, namun ketika tangannya menyentuh dada Petra, dirinya dihadapkan dengan sepasang mata sehitam tinta yang dalam tak berdasar. Dia pun bergegas mengurangi kekuatan di tangannya.
"Kenapa, kamu mau mendorongku menjauh?" Suara Petra tenang, tapi ada kekuatan yang tidak bisa diabaikan di balik kata-katanya.
Mia menjadi semakin panik. Dia merasa Petra marah karena tahu bahwa orang di lorong pada saat itu adalah dia….
"Dengan apa?" Sudut-sudut mulut Mia berkedut, dan matanya melengkung naik dengan menggoda.
Wajah tegas Petra tampak berselimut kabut, dan telapak tangannya yang besar langsung menyentakkan tangan Mia ke atas kepalanya. Dia lantas menciumnya kuat-kuat.
Dulu, meski ciuman Petra kuat, caranya mencium Mia tetap lembut. Namun sekarang, Mia bisa merasakan dengan jelas amarah Petra, dan sikap Petra yang dingin menelan segala sesuatu yang lain dalam ciumannya.
Tetapi Mia tidak berani melawan. Meski begitu, sikap pasrahnya tidak hanya tidak membuat Petra marah, namun sebaliknya, Petra justru semakin ganas.
Mia merasa agak sakit, namun tidak berani menunjukkannya. Petra yang ini belum pernah dia lihat sebelumnya. Petra yang terlihat seolah-olah hewan peliharaannya telah ternoda…. Ya, Mia bukan teman tidur atau istrinya, melainkan hewan peliharaannya.
Mia merasa agak sedih. Ketika seseorang dikecewakan pertama kali, rasanya masih tidak apa-apa. Namun ketika mereka sudah mencapai batas, rasanya seperti mau mati saja!
"Ra," panggil Mia dengan lembut, "Kayaknya kamu nggak sekuat biasanya."
"Oh, ya?" Petra tiba-tiba berhenti bergerak, dan menatap wanita di bawahnya dengan mata yang dalam. "Nafsu makanmu besar, ya? Masih belum puas?"
Mia selalu merasa bahwa Petra adalah orang yang tak terduga. Meski mereka berhubungan intim di hari kerja, bisa dikatakan bahwa orang ini bak hewan buas.
Ini tidak bisa menyembunyikan kerasnya perlakuannya sebagai pemimpin dari Grup Kaisar.
Dunia tahu bahwa Petra adalah seorang pemegang kuasa di Jakarta. Hanya dengan torehan pulpennya, sudah berapa banyak orang yang mendapatkan keuntungan darinya dalam sekejap?
Mia mengaitkan lengannya di leher Petra, tersenyum manja, dan berkata sambil mengedipkan matanya, "Kalau begitu kamu… kamu mau berusaha lebih keras lagi untuk memuaskanku?"
Bibir tipis Petra tersenyum, lalu benar-benar berusaha keras untuk memuaskan Mia….
Apa ingin dihindari wanita ini?
Siapa laki laki itu?
Mereka berciuman seperti itu di lorong. Heh, mereka bahkan benar-benar tidak bisa menahan diri.
Mia kelelahan setelah beberapa kali melakukannya, dan pada awalnya dia masih bisa menanggapi Petra, tapi kemudian dia kehabisan tenaga. Dia hanya bisa memelas meminta ampun.
"Siapa yang tadi bilang aku tidak cukup kuat?" goda Petra.
Mia memeluknya dan mencium wajahnya. "Aku salah…."
"Salah apa?"
Mia terdiam, lalu berkata dengan lembut, "Aku seharusnya tidak mempertanyakan kemampuanmu sebagai seorang pria."
Sudut mulut Petra berkedut samar, dan dia berguling dan menekan Mia di bawah tubuhnya.
"Aku benar-benar tidak sanggup lagi…." Mia bergegas memohon belas kasihan. Tubuhnya sudah terasa nyeri.
Petra memandang wanita yang tampak malang itu dengan mata yang dalam, dan berkata dengan pelan, "Mia, ada beberapa hal yang... aku boleh, tapi kamu tidak. Mengerti?"