Penyakit Mia datang dan pergi dengan cepat. Benar apa yang dikatakan Eri; dia memang takut.
Hujan di Jakarta berlanjut keesokan harinya Ketika Mia bangun, Petra sudah tidak di rumah. Dia lantas pergi ke kantor setelah mandi.
Ketika semua orang melihat bahwa dia masih sedikit lemas, mereka semua mengkhawatirkannya.
Fira pun merasa khawatir, dan dia menghampiri Mia ke ruang kerja tim desain. "Kak Mia, siapa yang menjawab telepon tadi malam? Ah… suaranya lumayan bagus." Dia duduk di depan meja Mia. "Pacar Kakak? "
Mia sedikit mengernyit mendengar pertanyaan Fira. Petra menjawab teleponnya saat dia sedang tidur?
"Temanku," jawab Mia dengan santai. "Kecuali kau mau mendengar suaranya saja, kalau mau kukenalkan, bilang saja dulu."
"…" Mulut Fira berkedut. Terlihat rasa kecewa di matanya. "Kak Mia, jangan terlalu memaksakan diri…. Kakak sudah jatuh sakit."
Mia memandang Fira, dan tidak mengerti apa maksud perkataannya.
"Pria itu…."
Mia tidak paham. Apa yang bisa dikatakannya? Petra, orang yang begitu dingin, menjelaskan kepada orang lain alasan dirinya sakit?
Yang Mia tidak tahu adalah, orang yang menjawab telepon kemarin bukanlah Petra, tapi Bayu.
Telepon tiba-tiba berdering, dan Mia mengangkatnya. "Ya, Pak?"
"Datang ke ruangan saya, ya."
"Oke, Pak." Suara Mia masih agak serak. Setelah tiba di kantor Pak Tahir, dia langsung merasa ingin dihangatkan karena suhu ruangan yang dingin.
"Pak Yudhi dengar kamu sakit karena terlalu banyak tekanan, jadi kita rehat saja untuk sementara dari proyek klub Grup Kaisar…." Suara Pak Tahir jelas terdengar lega.
Ketika Mia mendengarnya, dia merasa seperti mendapat berkah dari langit….
Meski begitu, beberapa detik kemudian, kebahagiaannya lenyap ketika kata-kata Pak Tahir selanjutnya menghantamnya bak guntur yang menggelegar.
"Pak Prawira Adhyaksa, beliau membuka sebuah firma hukum tepat setelah dia kembali ke Jakarta. Kamu kembalilah, lalu ajak seseorang untuk berkunjung ke sana…." Pak Tahir mengeluarkan kartu nama dan menyerahkannya kepada Mia. "Pak Wira ini memiliki pengaruh besar. Desain yang dimintanya khusus. Ketika media mewawancarai firma hukum nanti saat baru saja dibuka, kita masih bisa menjelaskan desain kita…."
Mia melihat nama di kartu nama itu, dan kata-kata Pak Tahir gagal merambat masuk ke telinganya.
Dengan napas agak tersengal, Mia bergegas mendongakkan kepala dan berkata, "Pak, saya masih ingin mencoba dalam proyek klub Grup Kaisar…. Bisakah proyek kantor hukum ini diserahkan kepada yang lain untuk dikerjakan?"
Pak Tahir terkejut. "Tapi yang lain juga sudah memegang beberapa proyek…." Dia mengira Mia menolak mengaku kalah tidak ingin dikatakan malas. "Terlebih lagi, kita sama-sama tahu soal pihak Kaisar. Kalaupun kamu ingin berpartisipasi dalam proyek keras itu, skala perusahaan kita tidak sampai di mata Kaisar."
Mia merasa seperti tercekik. Rasanya seolah-olah surga bersikeras untuk bermain-main dengannya.
Setelah mendengar hal ini, Eri ingin sekali tertawa, tetapi dia tidak mau menaruh tertawa di atas penderitaan temannya itu. "Kawan, kamu tidak harus bertemu langsung dengan Wira untuk membicarakan tentang rancangan gedung kantornya. Kalau kamu ingin menghindarinya, masih ada kesempatan."
Tentu saja Mia tahu, tapi dia selalu merasa hal itu sia-sia. Dia merasa sesuatu akan terjadi, dan tidak ada kesempatan baginya untuk bersembunyi.
Mia diam-diam berniat mencoba mengacaukan rancangan desain kantor firma hukum Wira. Ditambah dengan fakta bahwa meski demamnya sudah reda, dia masih terkena pilek, Mia benar-benar linglung sepanjang hari.
Sepulangnya dari kantor, Mia kembali ke Taman Dewata. Mia terkejut melihat mobil Petra ada di sana.
Ketika masuk, dia tidak melihat ada orang di lantai bawah. Mia melirik ke pintu ruang kerja yang tertutup dan berpikir bahwa Petra mungkin sibuk, lalu pergi ke dapur setelah mengenakan pakaian rumahnya.
Dengan tiga jenis makanan dan semangkuk sup serta nasi yang sudah matang, Petra pun muncul.
"Kamu… sudah menyiapkan makan malam!" Saat Mia menyapa Petra, dia selalu tersenyum dengan senyuman yang ramah, tapi tidak mengganggu.
Mia cantik, terutama matanya yang sedikit melengkung saat tersenyum. Matanya luar biasa cerah. Setiap kali Petra menatap mata Mia yang tersenyum, tanpa sadar dia merasa sedikit terkejut.
Pada awalnya, Mia merasa aneh, namun kemudian dia sudah terbiasa. Dia hanya mengira matanya menarik.
"Kamu sudah lebih baik?" Petra bertanya dengan santai.
"Jauh lebih baik…." Mia mengangguk dan menjawab dengan senyum lebar. "Berkat kepedulian dan perhatianmu, aku tidak perlu banyak memikirkan penyakitku!"
Petra mengucap, "Ya," entah menjawab dia setuju dengan Mia atau mengiyakan jawaban soal tubuhnya.
Setelah makan, Petra pergi ke ruang kerja dan kembali menyibukkan diri. Setelah bersih-bersih, Mia naik ke lantai atas untuk mandi dan pergi tidur.
Karena urusan Wira membuatnya dalam suasana hati yang buruk dan tubuhnya agak kelelahan, dia merasa tidak ingin menyenangkan Petra. Mia langsung mematikan lampu dan pergi tidur.
Dalam keadaan linglung, dia merasakan tubuhnya ditarik ke dalam dekapan yang kuat.... Mia sudah terlelap dan tidak memikirkannya dengan serius, jadi dia tertidur lelap.
Keesokan harinya, aku terbangun dalam pelukan yang familiar dengan aura yang dikenalnya.
"Pagi." Suara Mia penuh semangat, terdengar agak grogi dan serak sehabis sakit.
Petra membuka matanya dan menatap Mia dengan mata yang dalam.
Meskipun istrinya itu menikahinya dengan tujuan, harus diakui bahwa Petra merasa suasana hatinya baik setiap kali Mia bangun dalam pelukannya dan mengucapkan selamat pagi kepadanya.
"Pagi!" kata Petra, dan tiba-tiba berbalik dan menekan Mia di bawahnya. "Aku membiarkanmu tidur tadi malam, jadi sepertinya kita hanya bisa berolahraga di pagi hari."
Soal yang maksud Petra dengan "olahraga" itu, Mia tidak perlu terlalu berpikir keras untuk tahu.
"Aku masih lemas setelah sakit, tidak apa-apa?" Mia memeluk leher Petra dengan kedua tangannya, cara bicaranya muram, namun ada undangan di matanya yang memikat itu.
Petra tersenyum licik. "Olahraga membuatmu berkeringat dan membantumu sembuh...." Sembari mengatakannya, Petra sudah menyentakkan baju tidur Mia.
Kedua orang itu saling mengenal tubuh satu sama lain. Berkali-kali, Mia berpikir…. Petra, suaminya, sebenarnya lumayan. Setidaknya dia bisa menyelesaikan tubuhnya tanpa mengeluarkan uang, sekaligus mendapatkan uang untuk dibelanjakan!
Sayangnya, ada satu hal yang buruk…. Orang ini adalah paman Wira, dan sisa hidupnya akan sedikit berantakan.