"Kak Mia, bukannya Kakak mengemudi hari ini?" Fira buru-buru berjalan keluar, dan melihat Mia berdiri di dekat tiang sendirian, melihat ke arah langit.
Mia tiba-tiba kembali tersadar dan bergegas menata pikirannya yang kacau dan melihat ke sekelilingnya, hanya untuk mendapati bahwa dia berada di pintu gedung kantor. "Hah…."
Fira melangkah maju dengan ekspresi khawatir di wajahnya. "Kak Mia, kamu tidak apa-apa?"
Mia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja, hanya memikirkan tentang sesuatu...." Dia lalu berbalik dan kembali ke dalam gedung, berencana untuk naik lift ke tempat parkir bawah tanah.
Fira memandang ke arah Mia dari belakang begitu saja dengan sedikit mengerutkan bibir, lalu menghela napas panjang. Sejak dia memasuki perusahaan untuk magang, dan dari hari pertama ketika bertemu dengan Mia, dia merasa bahwa wanita muda ini punya cerita.
Orang lain mungkin tidak tahu, tetapi dia pernah mendengar cerita tentang tentang seorang seniornya dengan seseorang bernama Wira di sekolah. Hubungan kedua orang tersebut sangat terkenal hingga mereka kadang-kadang dibicarakan bahkan setelah mereka lulus dari sekolah.
Saat Andini berbicara tentang kehilangan cintanya, entah kenapa, yang pertama terpikirkan olehnya adalah kejadian soal Wira….
"Ah, cinta jarak jauh memang berakhir tragis," gumam Fira dengan pasrah. Dia pun mengedikkan bahu dan berbalik pergi.
Mia mengendarai mobilnya kembali ke Taman Dewata. Dia tidak makan malam. Setelah naik ke atas, dia melemparkan dirinya ke tempat tidur. Dia sendiri tidak tahu kapan dirinya tertidur.
Di dalam mimpinya, dia kembali ke dua tahun yang lalu. Perusahaan konstruksi ayahnya tidak mengalami kecelakaan, dan kakaknya belum terobsesi dengan judi. Keluarganya, meskipun tidak kaya, selalu bahagia.
Kemudian, dia bermimpi bertemu Wira untuk pertama kalinya…. Pada saat itu, dia dibawa oleh temannya Eri untuk mengikuti kelasnya. Kejadian itu pun terjadi. Kedua laki-laki dan perempuan itu rasanya tidak akan bosan saling melihat satu sama lain selama seribu tahun. Kemudian mimpinya berpindah, menunjukkan dirinya yang menggendong putranya. Tangannya telah mengucapkan sumpah untuk menua bersama Wira.
Angin bertiup lembut dari jendela yang terbuka, menunjukkan waktu yang berangsur memasuki akhir musim panas. Angin di Jakarta pada malam hari mulai terasa sedikit sejuk…. Saat membelai pipi Mia, dia bertanya-tanya kapan air matanya akan menetes, membuat hatinya merasa cemas.
Ketika Mia terbangun di sekitar jam lima pagi keesokan harinya, ufuk timur baru saja memperlihatkan semburat putihnya.
Usai terbangun dari mimpinya di malam sebelumnya, Mia tidak mengingat banyak, tetapi dirinya masih dipenuhi kesedihan dan tidak bisa bersikap ceria.
Mia ingin bangun dan mandi, namun hanya duduk dan merasa kepalanya pusing. Rasanya seperti ada bola meriam yang berputar-putar di dalam kepalanya.
Mia memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam sebelum dia merasa lega. Seraya menopang tubuhnya yang lelah, dia beranjak dan pergi ke kamar mandi.
Setelah mandi, semangat Mia jauh lebih baik, namun dirinya masih merasa lesu.
Karena masih terlalu pagi untuk pergi bekerja, Mia duduk bersandar di sofa, melihat ke luar melalui jendela-jendela tinggi yang bersih, dan perlahan-lahan terhanyut dalam pikirannya.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu sebelum Mia melihat ke belakang dan mengambil ponselnya untuk mengirim pesan kepada Eri. Pesan itu berbunyi: "Ri, dia pulang."
Tidak banyak kata yang dituliskannya, hanya beberapa kata. Tapi pesan itu mengungkapkan keraguan dan ketakutan Mia, dan berisikan lebih banyak lagi kesedihannya.
Setelah mengirim pesan itu, Mia terus memeluk lutut dan menoleh untuk melihat ke luar jendela lagi. Menyaksikan datangnya hari baru yang suram dan tidak berhenti karena kesedihannya.
Ada beberapa luka yang pikirnya tidak akan terasa sakit jika tidak disentuh olehnya, namun ternyata…. Dia selalu membohongi diri sendiri.
Ketika Eri menelepon, hari sudah hampir siang. Saat ini, Eri bekerja di bidang hukum, dan dia baru-baru ini menerima kasus pidana. Dia sedang sibuk dalam sidang kasusnya.
"Hei, anak jahil, apa maksudnya dengan pesanmu itu?" Suara Eri mantap dan tenang; kebiasaan yang didapatnya dari pekerjaan yang benar-benar perlu sikap tajam.
Mia berdiri di depan jendela, mengamati baris demi baris bangunan tinggi yang diselimuti gerimis air hujan dan menjadi kabur. "Dia akan pulang...." ucapnya lagi.
"Kenapa tiba-tiba sekali?" tanya Eri. "Kami belum menerima kabar apapun."
Wira, seorang warga negara Indonesia, sekarang menjadi bintang internasional yang hebat di dunia hukum.
Setelah berada di luar negeri selama dua setengah tahun, reputasinya telah menyebar dan kembali. Orang seperti dirinya mau kembali ke negara itu, dan wartawan dalam negeri belum lama ini menyorotnya.
Mia menunduk. Dia sendiri pun berharap itu bohong.... Tapi bagaimana mungkin Petra berbohong? Lagipula, Wira adalah keponakannya, dan keluarganya mengetahuinya begitu Wira kembali. Bukankah itu wajar?
Merasakan diamnya Mia, Eri mengerutkan dahi. Dia tahu akan situasi temannya saat ini. "Lalu kamu mau bagaimana?"
"Aku tidak tahu…" Hati Mia terasa seperti tertahan oleh tali.
Eri terdiam, dan akhirnya berkata, "Kawan, cepat atau lambat, kamu harus menghadapinya…. Karena kamu sudah tahu tentang hubungannya dengan Petra, kamu juga pasti telah menduga hal ini akan terjadi, 'kan?"
Suasana hati Mia menjadi lebih serius. Mudah saja menduga suatu hal akan terjadi, tapi ketika dia benar-benar harus menghadapinya, dia merasa takut.
"Sudah dua tahun, mungkin… mungkin dia sudah merelakannya?" Eri merasa dia seharusnya tidak membuat asumsi seperti itu sebagai seorang pengacara, tetapi pada saat ini, bahkan jika dia sangat ahli sekalipun, dia tidak tahu bagaimana harus menghibur sahabatnya itu.
Dengan berat hati, ditambah dengan kemungkinan dirinya tidur dengan jendela terbuka dan tanpa selimut di malam sebelumnya, Mia mengalami demam sore itu. Tapi karena ada sesuatu bersarang di pikirannya, dia tidak menyadari dari mana asalnya rasa pusing itu.
Dan dengan begitulah, setelah tidak bisa tidur meskipun didinya sudah mengantuk, penyakit Mia datang menerpa.
Keesokan harinya, dia meminta tolong kepada Fira dan mengirim pesan untuk memberitahukan bahwa dia sakit dan tidak bisa datang ke kantor hari ini, lalu kemudian tidur pulas setelahnya.
Setelah mengirimkan pesan kepada Mia dan tidak dibalas, Petra memutuskan untuk menelepon.
Tidak ada yang menjawab pada awalnya. Petra merasa jengkel, dan dia menelepon untuk kedua kalinya, namun tetap tidak ada yang menjawab.
Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali ponsel Mia tidak ada di depannya. Petra tidak berpikir terlalu jauh, hanya memeriksa waktu dan kembali ke Taman Dewata untuk menunggu.
Ketika dia tiba di Taman Dewata, Petra melihat Hyundai milik Mia terparkir di garasi. Dia mengerutkan dahi dengan samar, lalu segera menelepon Mia, namun tidak ada yang menjawab.
"Mungkin saja ponsel Mbak Mia terselip…." Bayu merasakan kekesalan Petra saat itu, dan tanpa sadar ingin membantu Mia.
Petra tidak berbicara. Dia hanya membuka pintu dan turun dari mobil untuk masuk ke dalam. Tidak ada orang di lantai bawah, jadi dia naik ke kamar tidur.
Ketika membuka pintu, ruangan yang gelap membuat matanya agak kaget, dan pandangannya tertuju pada tempat tidur besar, tempat suatu sosok yang sedang meringkuk.
Petra melangkah maju dengan selubung kabut di wajahnya yang pucat, persis seperti cuaca di luar.
"Ya…."
Keheningan dipecah oleh gumaman ringan Mia, yang juga mengernyitkan dahinya dengan dalam seolah merasa tidak nyaman, entah benar tidak nyaman atau karena mimpi buruk.
Petra membungkuk dan pandangannya jauh. Tangannya yang berjemari ramping dan kuat dan persendian yang kukuh mendarat di dahi Mia. Rasa panasnya membuat Petra seketika mengerutkan dahi.