Tyra tampak sangat serius memeriksa dan memberi penilaian satu per satu rancangan pakaian terbaru dari para designer. Itulah rentetan desain pakaian pria, wanita, dan unisex itu rencananya akan ditampilkan dalam event fashion week perempat tahun pertama tahun depan di Singapura dan Hongkong. Sudah tugasnya sebagai pemegang multiperan; model, designer, art director menangani itu semua sampai selesai.
Mudah sekali gadis itu terfokus pada satu pekerjaan dan menekan yang lain untuk mendistraksi. Ya, masalahnya dengan Eric kemarin bahkan belum kembali disentuhnya.
Agak merepotkan jika sudah berkaitan dengan banyak target, namun Tyra setidaknya bersyukur karena mundurnya Alsy dari jabatan Presdir tak akan mengubah banyak hal dalam pekerjaannya. Tapi diam-diam Tyra memikirkan Eric. Apakah pria itu sanggup memegang jabatan Presdir minggu depan? Bukan karena Eric tidak kompeten, hanya saja Eric terkadang terlalu keras pada bawahannya menurut Tyra.
Varischa contohnya, belum apa-apa sudah menjadi korban keskeptisannya. Tapi ya sudahlah, biarkan Eric berpikir dan menata diri.
TING NING!
Bel apartemennya tiba-tiba berbunyi. Siapa gerangan semalam ini? Pikir Tyra. Mau tak mau Ia harus membuka pintu, khawatir seseorang yang penting.
CKLK!
Tyra terdiam bingung, celingukan ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang mungkin menekan bel unit apartemennya. Oh, satu lagi, siapa yang mengirimkan tumpukan kotak berisi makanan dan menaruhnya tepat di depan pintu itu?
"Horor ..." gumamnya, hendak menutup pintu dan kembali masuk. Namun matanya mencegah Ia mengabaikan makanan yang sepertinya enak bahkan dari kemasannya saja. "Siapa orang baik hati yang mengirim makanan di saat lapar seperti ini? Penggemarku?"
"Yasudahlah ..." lanjutnya, membawa masuk makanan-makanan itu, tidak tega jika dibiarkan begitu saja di depan pintu. Perutnya juga tak mau menolak tiga kotak yang masing-masing berisi pizza, donat, dan tofu goreng itu.
"Hm ... ini ..."
"Eric?" Dilihat dari restoran yang membuatnya, Tyra tahu siapa si pengirim misterius itu. "Ah, pasti dia. Ya Tuhan, baik sekali," pujinya, membuka makanan-makanan berlemak itu dengan senang hati.
Ditengah acara makan tengah malam itu, ponselnya tiba-tiba berdering tanda panggilan masuk.
+6189-xxxx-xxxx is calling ...
Tyra mengerutkan dahinya, "Siapa ya? Eric? Mana mungkin Ia mau berganti nomor telepon," gumamnya, kemudian ragu menjawab panggilan asing itu. "Halo?"
"H-hello ..."
Tyra terdiam, mulut, tangan, dan tubuhnya terdiam. Sebentar, suara itu ...
"Elleanor Tyra ..."
Tyra meneguk salivanya dalam-dalam, memutar matanya ke segala arah, reaksi spontan tubuhnya ketika panik dan bingung bersamaan.
"Elleanor ..." ulang suara itu.
Tyra masih terdiam, hingga Ia berani berucap sesuatu, "E-ehm ... are you ... the 'just mee' guy?"
****
Tak direncanakan oleh Tyra sendiri, bahwa Ia sudah berada di depan rumah Eric usai seorang laki-laki misterius menghubunginya tadi. Tyra ketakutan di apartemen sendirian tengah malam. Bagaimana kalau si laki-laki 'just meet' itu adalah seorang penjahat yang akan tiba-tiba muncul lagi di hadapannya seperti waktu itu di Perancis?
Terdengar Eric melangkah menuju pintu depan. Tyra tahu kalau Ia mengganggu, karena Eric si anak rumahan selalu sudah tertidur selarut ini. Mungkin juga pria itu sudah merutuk, khususnya pada security yang bisa-bisanya meloloskan tamu semalam ini.
CKLK!
"Siapa ..."
Eric terdiam, matanya memicing menerawang siapa gerangan wanita di depannya itu. Apa Ia tidak salah lihat? "Tyra? Kenapa Kau datang semalam ini? Aku bisa menjemputmu jika Kau mengatakan lebih awal," celotehnya panjang lebar.
Tyra hanya cengengesan, menggaruk lengannya yang tidak gatal. Eric peka saja, lekas menyelimutkan sweater pada Tyra, mencegahnya kedinginan, "Ayo masuk," ajaknya, menuntun Tyra ke dalam.
"Maaf ya Ric, Aku mengganggumu selarut ini." Tyra tak enak hati.
Eric menggeleng, mengambil duduk di sofa empuk sebelah Tyra, "Tidak masalah. Tapi Aku penasaran kenapa Kau datang tiba-tiba? Apa Kau ... khawatir soal perkataanku di lift tadi siang?" tebaknya setengah tak yakin.
"Hmm ..." Tyra berpikir sejenak, "Mungkin itu juga, tapi ..."
"Tapi apa, hm?" Eric memeluk Tyra hangat, "Kenapa sulit sekali untukmu bercerita padaku, Tyr? Aku selalu mendengarkanmu pahit atau manis. Jika Kau lupa."
Tyra menghela nafasnya sejenak, lalu balas memeluk Eric, menenggelamkan wajahnya di dada bidang pria itu. Bau parfum malam hari Eric selalu menjadi favoritnya untuk menghangatkan diri, "Maaf ..."
Eric hanya terkekeh pelan, "Maaf untuk apa? Berapa kali Aku harus minta dijelaskan? Sejujurnya Aku tidak percaya jika alasanmu ingin menjauh dan menunda bahasan pernikahan hanyalah karena bosan dan jenuh ..."
Tyra menggeleng, "Memang hanya itu. Aku tidak punya alasan untuk marah apalagi membencimu, Ric. Aku minta maaf, Aku kekanak-kanakan."
"Kau serius mengatakannya?"
"Hm ..." angguknya, mendonggak menatap Eric lebih jelas, "Hanya itu, dan memang ... Aku tidak bisa jauh-jauh darimu. Buktinya sekarang, Kau orang pertama yang kutemui jika Aku merasa tidak aman," ujarnya.
"Tidak aman? Siapa yang mengganggumu? Para penguntit itu lagi? Kenapa kurang ajar sekali mereka itu?" celotehnya beruntun, seraya mengelus surai panjang Tyra lembut. Gadis itu sudah seperti bayi di pelukannya.
"Aku tidak tahu. Seseorang mengirimku makanan, dan Aku kira itu darimu ..."
"Makanan? Aku tidak mengirim makanan apapun," bantah Eric.
"Ya, karena itu ... Aku takut, dan Aku datang kesini."
Eric hening sejenak, menatap Tyra dalam-dalam, sampai gadisnya itu salah tingkah sendiri. "Kau tahu? Aku selalu khawatir soal batasan privasimu sebagai artis dan model yang sangat rentan. Tempat tinggalmu sekarang bahkan sudah sangat rahasia, tapi masih saja ada yang sampai mengetahuinya ..."
"Aku khawatir suatu saat, bukan lagi makanan yang dikirim padamu. Kau tidak tahu siapa yang membencimu diluar sana, dan bisa mencelakaimu kapanpun. Aku khawatir," lanjut Eric, mengelus pipi tirus Tyra penuh perasaan. Eric tak berbohong, bahkan sorot matanya itu tulus sekali dirasakan Tyra.
"Hmm, Aku paham itu memang risiko pekerjaanku," ujar Tyra.
"Alasanku mengajakmu menikah secepatnya juga ... adalah soal itu. Aku mau menjagamu sepanjang waktu. Kau tinggal sendiri, dan tinggal bersamaku disini pastinya lebih aman ..."
Tyra hanya diam, Ia tak memilki tanggapan langsung atas ajakan menikah Eric yang kesekian kalinya.
"Kau masih tidak mau?"
Tyra menggeleng, "Entahlah, Aku merasa ... Kita perlu lebih lama bersenang-senang sebelum menikah," ujarnya, lebih erat memeluk Eric.
Eric hanya tertawa lagi-lagi, balas memeluk Tyra, membawanya berbaring bersama di sofa ruang tengah, "Kau mau memintaku menunggu lagi? Kenapa Kau sangat jahat sih?"
"Bukan begitu, Aku hanya membayangkan ... Kita akan sangat sibuk jika sudah menikah. Tidak sebebas sekarang."
"Hmm begitukah?"
"Ya, begitu. Kau tidak percaya Aku menyayangimu seperti itu?"
Eric tersenyum manis, sekilas mencium bibir Tyra lembut, "Aku percaya, dan Aku selalu menunggumu."