Blitar, 2009
Di meja makan sudah tersaji menu untuk sarapan pagi. Menunya terbilang sederhana, sebakul besar nasi goreng beserta telur mata sapi yang ditumpangkan di atasnya.
Biasanya aku langsung kegirangan jika melihat menu makanan ini di meja makan, tetapi nasi goreng ini terlihat berbeda dari yang pernah ku makan sebelum sebelumnya. Entah hidungku di pagi hari yang bermasalah atau memang bau itu menyeruak di dalam hidung.
Dengan heran tanganku memicing telur mata sapi yang bentuknya sama sekali tak berbentuk bulat, tepi telur tersebut yang biasanya berwarna kecoklatan dan gurih saat ini berwarna coklat gelap dan lebih rapuh dari biasanya.
"Kenapa En, kau tak memakan sarapanmu?" tanya ayah.
Ayah menarik satu kursi hingga suara deritannya terdengar, kemudian segera duduk berhadapan denganku.
"Ayah, apa ayah yang memasak?" tanyaku.
Mendengar pertanyaanku barusan ayah tak langsung menjawab, perlu sesaat ayah terdiam hingga akhirnya membuka mulut untuk menjawab pertanyaanku.
"Iya, hari ini ayah hanya memasak nasgor. Kemarin ayah lupa untuk membeli beberapa bahan makanan, maaf ya" ayahku menjelaskannya begitu panjang sambil tersenyum hangat ke arahku.
Aku pun membalasnya dengan senyuman,"Gak papa yah"
"Tapi, kau suka kan? Biasanya kamu paling seneng kalo dimasakin nasgor"
Lagi lagi aku hanya membalasnya dengan senyuman, aku sama sekali tak bisa menjawab ataupun mengelak, mengelak bahwa aku sebenarnya tak berselera memakan nasi goreng yang sudah tersaji di hadapanku.
Bukan karena aku ingin makanan lain, hanya saja aku ingin memakan nasi goreng spesial buatan ibuku.
Jika pagi ini yang tersaji adalah nasi goreng buatan ibuku. Sudah kupastikan tidak ada yang boleh menghabiskannya selain aku. Betapa nikmatnya nasi goreng buatan ibuku.
Dengan berat hati sesuap demi sesuap masuk ke dalam mulutku penuh penuh. Aku sengaja memakannya lahap lahap agar ayahku merasa senang karena aku menyukainya, selain itu aku juga sengaja agar aku segera bisa pergi agar tak berlama lama dengan menu sarapan ini.
Setelah isi piringku bersih tak bersisa, aku beranjak ke dapur membawa piring kotorku dan milik ayah.
"En, yakin mau naik bus saja?" ayah bertanya sambil meletakkan piring kotor milik kakak, hari ini kakak sedang sakit demam. Alhasil aku pun pergi ke sekolah sendirian.
"Iya yah"
"Yakin?" ayah bertanya untuk kesekian kalinya.
"Enggeh, Bapak" ayah terkekeh mendengar jawabanku, secepat kilat perutku dicubit pelan oleh tangan besar milik ayahku.
"Sekarang udah kelas tiga, udah pinter basa krama"
"Gak juga" balasku seadanya.
Canda di pagi hari akhirnya berakhir setalah aku melirik sekilas ke arah jam. Di mana ternyata sudah lima menitku kuhabiskan bercanda bersama ayah.
Aku pun langsung berpamitan dan bergegas berangkat.
***
Sekali lagi aku melihat arloji yang melingkar di tanganku. Jika arloji ini bisa bicara mungkin ia akan memakiku karena sudah kesepuluh kalinya aku mengecek waktu.
Pikiranku tak tenang jika aku sampai terlambat, belum pernah aku terlambat.Biasanya pagi pagi sekali kakak akan koar koar untuk menyuruhku segera berangkat agar tak terlambat.
Dan hari ini ia sakit.
Aku merapatkan pelukanku terhadap tas sekolahku.Beberapa pasang mata serasa sedang memerhatikanku saat ini.Apalagi seorang wanita yang berdiri menghadap ke arahku dengan tatapan sendu itu. Menyedihkan.
"Tolong..."
"Tolong aku...."
Aku berusaha menutup mataku rapat rapat. Aku tak mau mendengar suara itu sekarang, memang apa yang bisa kulakukan?
Aku hanyalah anak berusia sembilan tahun yang untuk melakukan semua keperluanku saja masih perlu dibantu orang lain.
Lalu bagaimana aku bisa menolongnya?
"Tolong..."
"Pergi kau!" usirku masih dengan mata terpejam. Samar samar terdengar suara seseorang mendecak sebal.
"Kau ini kenapa?" tiba tiba aku sudah mendapati orang itu duduk tepat di sebelah kiriku. Aku diam dan menoleh ke arahnya sebentar.
Sepertinya dia juga seumuranku, karena sama sama memakai seragam merah putih sepertiku.
Kalau ku lihat lihat sepertinya dia blasteran, terlihat dari manik matanya yang terlihat sangat indah, lain dengan yang pernah ku lihat sebelumnya, rambut pirang kecoklatan, serta kulit yang lebih putih dariku.
Heran, ini yang cewek aku atau dia sih?
"Ma ... af, tadi aku kira dia yang minta tolong" jelasku sedikit canggung.
Bagaimana tidak, awal bertemu saja aku sepertinya sudah membuatnya kesal, ditambah lagi kalau dia tau keistimewaanku. Mungkin nanti ia akan mengira aku ini anak aneh. Benar benar aneh.
"Dia siapa?" dia bertanya dengan penasaran.
Ragu ragu telunjuk ku kutunjukkan ke arah di mana wanita tadi berdiri serta mengamatiku. Wanita itu berada tepat tak jauh dari hadapanku.
"Ada siapa di sana?" dia bertanya lagi sambil terus mengamati arah yang ku tunjuk.
Payah!
Tentu saja dia tak melihat siapa siapa. Aku yakin dia tak memiliki kemampuan seperti yang kumiliki. Jadi, percuma saja ku menunjukkannya. Perlahan aku mendengus kasar karena itu.
"Gak jadi" ketusku.
"Hemm, oke. Namamu siapa?" dia tersenyum sambil menawarkan tangannya untuk dijabat.
"En" aku menjawabnya singkat. Bersamaan dengan itu bus yang kami tumpangi mendadak berhenti. Secepat mungkin aku berjalan melewatinya dan segera turun dari bus.
"Tunggu,tunggu namamu huruf N?" ternyata dia juga turun di tempat yang sama denganku dan berlari kecil berusaha menyamai langkahku.
Aku pun menghentikkan langkah kakiku, karena lagi lagi seseorang salah melafalkan namaku. Padahal ini sudah nama yang paling mudah diucapkan.
"En,namaku En!" kekehku. Dia mengerutkan kedua alis tebalnya hingga beradu, kemudian tangan kanannya menggaruk kepala seperti kebingungan. "Coba jelasin salahnya aku di mana? Kan aku udah bener bilang namamu N"
Aku menggeser sedikit kakiku agar posisiku berhadapan dengannya, kemudian menarik napasku dalam dalam.
"Namaku itu En,bukan N.Ejaannya itu E-N! Dibaca En.Bukan huruf N doang" dia mengangguk ngangguk pelan mendengarkan penjelasan singkat dariku.
Kemudian mulutnya kembali terbuka, sepertinya dia akan kembali bertanya lagi.
"Kalau nama lengkapmu siapa?"
"Afsheen"
"Nama yang unik" pujinya. Entah dia memujiku atau dia merasa aneh dengan namaku. Intinya aku memang tak pernah percaya diri dengan diriku sendiri.
"Aku Kenzai" sama seperti di bus tadi ia tersenyum hangat sambil menawarkan tangannya untuk dijabat.
"Ken" balasku. Dia tersentak, sambil membulatkan mulutnya. Sedangkan aku terkekeh pelan melihat tingkahnya.
Hitung hitung balas dendam karena dia sudah salah memanggil namaku. Lagipula aku juga suka nama itu. Ken, lebih singkat dan mudah daripada dipanggil Kenzai.
Selain itu, bagi orang Jawa mungkin akan sedikit kesulitan melafalkan namanya. Yang harusnya dibaca Kenzai pun nanti malah akan dibaca Kenjai.
Setelah itu aku meninggalkannya dan melanjutkan perjalananku. Butuh beberapa langkah saja aku akan memasuki gerbang sekolah.
Aku meremas ujung tali tasku kala sudah memasuki gerbang sekolah. Seperti biasa mereka slalu datang tak kenal waktu dan tempat.
Seakan sekolahan ini adalah tempat sebagai ajang menunjukkan keberadaan mereka kepadaku. Dan aku menjadi jurinya. Konyol sekali.
"Minggir,minggir!"
Suara itu membuat aku menyingkir sedikit dari posisiku, seorang anak berlari dengan girangnya melaluiku begitu saja. Lengkap dengan seragam merah putih,tas,dan sepatu hitam yang tampak kusam.
Aku baru menyadari satu hal kala anak itu sudah berada jauh di depanku, ada beberapa bercak bercak atau noda yang melekat di seragam putih anak tadi. Serta betapa santainya ia berjalan menembus beberapa anak yang sedang asyik bermain kejar kejaran di sebelah sana.
Dia hantu, batinku
**
"Baik anak anak pelajaran olahraga hari ini sudah selesai,kalian bisa kembali ke kelas dan ganti memakai seragam" ucap Pak Wahyu selaku guru olahraga.
Di antara guru guru di sekolahan ini beliau termasuk guru yang paling muda.Pak Wahyu juga termasuk guru yang paling digandrungi ibu ibu guruku karena ketampanannya,aku sih dengar dengar dari teman teman sekelasku.Bukan kata ku.
Beberapa temanku berhamburan berlari ke kelas mengambil seragam miliknya kemudian berlari keluar menuju kamar mandi.Mereka berlari dengan kencang,adu cepat siapa yang bisa menguasai kamar mandi terlebih dahulu.
Sedangkan aku hanya berjalan pelan menuju kamar mandi dengan tote bag berisi seragam di tanganku.Bukannya aku pemalas,tetapi karena aku terlalu takut untuk melewati lorong serta memasuki kamar mandi.
Setiap jadwal olahraga,aku akan merangkap baju olahragaku dengan seragam merah putih agar ketika pelajaran dimulai aku tinggal melepas seragamku.Dan untungnya jadwal olahraga tepat di jam pertama.
Namun,jika sudah menjelang berakhirnya pelajaran aku akan ketakutan mengingat mereka yang ada di lorong serta kamar mandi.Sebisa mungkin aku slalu menghindari tempat tempat itu.
Aku membeku ketika melihat bapak tua berdiri tepat di tengah jalan menuju kamar mandi.Bapak tua itu mengamati beberapa teman temanku yang bersenda gurau santai satu sama lain.
Aku menggigit pelan bibirku.
"Aaa!!" pekikku sangat kaget tau tau ada dua anak kecil berdiri di samping kanan dan kiriku.Salah satunya ada anak kecil yang tadi pagi melaluiku.
"PERGIIII!!!!" teriakanku semakin histeris karena kedua anak tadi malah menampakkan wujud asli mereka.Anak kecil yang melaluiku tadi pagi mengalami luka parah di kepalanya,serta wajahnya pun tampak hancur.
Tubuhku bergemetar,kedua anak itu tak kunjung pergi dan sepertinya malah tambah mendekatiku.Apa sebenarnya mau mereka!!!
"Hey,lihat En mulai lagi!!" sorak salah satu temanku,seakan ketakutanku ini bak tontonan gratis untuk mereka.Tak sampai hitungan menit mereka sudah berdesak desakan mengelilingi ku layaknya tontonan.
"Kenapa dia?"
"Mungkin dia ngelihat hantu lagi" jawab temanku sambil tertawa terbahak-bahak.Seperti kataku,tak ada yang mengerti kemampuanku.
"Apakah dia ngelihat pocong di sekitar sini?" tanya teman lainku,dengan nada mengejek.
"Atau mungkin,dia ngelihat vampir,ha...ha...ha..."
Aku hanya bisa pasrah seraya menundukkan kepalaku dalam dalam.Dua anak kecil tadi tetap enggan untuk pergi dan sekarang mereka berdiri di antara tubuh teman temanku.
"En"
Aku menegakkan kepalaku,ketika mendengar ada yang memanggilku.Suara yang sudah tak asing lagi bagiku, barusan memanggilku.
Samar samar aku melihat wajah Ken di antara kerumunan,ia menatap lekat kepadaku.Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya mengenaiku.Tetapi dilihat dari raut wajahnya,dia sepertinya juga tak percaya bahwa aku bisa melihat dan mendengar mereka.
Dadaku mendadak terasa mencelus,melihat tatapan Ken kepadaku.Rasanya ingin sekali dia membelaku dan menarik tanganku untuk pergi dari sini.Namun,itu hanyalah imajinasi belaka.Ken hanya tetap berdiri sambil menatapku saja.
"Loh,ada apa ini!?" tiba tiba Pak Wahyu datang membuyarkan gerombolan ini.Temanku temanku pun reflek berlarian ke kelas ataupun ke kamar mandi untuk sekedar bersembunyi.
"En,kamu gak papa?" tanya Pak Wahyu seraya mendekatiku.
"Gak papa Pak, Terimakasih" balasku sambil menundukkan kepalaku sedikit.
Kemudian Pak Wahyu tersenyum dan pergi.Dan aku yang bodoh malah mencari cari keberadaan Ken di sana.Ketika Pak Wahyu datang tadi semuanya menjadi kacau.Aku pun juga kehilangan Ken.Dimana dia?