Lisya masuk ke dalam kamarnya di pendopo sepupu muda dimana dia satu kamar dengan adek perempuan lainnya, Syika. Dengan mukanya yang terlihat berpenampilan murung. Karena sebuah alasan percakapan sensitif dengan Vanka tadinya. Lisya masih belum bisa berpaling dari perasaannya yang menandakan jika dirinya memang sedang bete sejadi-jadinya. Dia yang tidak bisa bersembunyi dari air mukanya yang masih murung. memilih agar memalingkan wajahnya dari pandangan Syika.
Lisya sekarang sedang memandang jauh ke arah jendela besar tempat perbatasan kamar dengan balkon, dia berdiri membelakangi Syika saat itu. Berlindung dari pertanyaan yang Syika nantinya tanyakan kepadanya. Karena dia masih malas untuk menjelaskan selebihnya atas perasaannya yang dirasa selama acara bakar-bakar selesai sampai sekarang. Saat semua para sepupu sedang iseng mengambil foto mereka semuanya di area rerumputan dekat dengan kolam renang itu.
Iya. Yang dirasakannya adalah kecamuk pikiran bahwa dia tidak bisa leluasa di dekat Vanka, salah satu adek kandung perempuannya. Berharap Vanka tidak bisa selepas tadi, Lisya mengira kedepannya akan penuh dengan perasaan jengkelnya.
Dia pun mulai memikirkan bagaimana dengan nasibnya sekarang serambi duduk di salah satu sofa tunggal yang hanya cukup diduduki oleh dirinya saja. Masih menerawang ke arah pemandangan di depannya, dimana terlihat Syika sedang asik memainkan Mp3 player di atas kasur.
"Hah,, untung saja Syika nggak memerhatikan wajah murungku ini," batin Lisya yang merasa lega, adeknya kala itu sedang menyibukkan dirinya sehingga tidak terlalu tau bagaimana dengan suasana hati dari Kakaknya saat itu juga. Lisya kembali membatin lagi.
"Apa-apaan tadi? Kenapa aku berperasaan seperti ini adanya? Bagaimana aku bisa menyembunyikan ini jika keadaan masih seperti tadi? Semoga saja, itu tidak terjadi terlalu sering. Bisa-bisa aku akan bermurung ria dan lupa cara bersenang-senang," kedua kalinya Lisya membatin dan dia pun mengecohkan keadaan dirinya sekarang ini.
Karena sekarang dia tidak kuat untuk selalu membatin dan membatin seterusnya. Tapi setidaknya dia bisa menyembunyikan sementara perasaannya itu. Sepertinya dia sedang merasa kecewa, tapi pilihannya untuk berdiam diri menjawab bagaimana dirinya ogah untuk menyatakan perasaannya kepada siapapun juga.
Sesaat dia sudah merasa jengah dengan keadaan membatin itu, Lisya mengalihkan dirinya kepada ponsel miliknya. Selama dua hari dia liburan, dia jarang membuka ponselnya. Dan dirinya hampir kelupaan dengan kabar dari Adimas selama dua hari liburannya ini. Dia lupa mengabari terakhir kalinya dia menelfon dengan Adimas saat malam hari sebelum keberangkatannya ke penginapan di Puncak ini.
"Aku akan merasa lebih baik nantinya kalau malam hari ini aku bisa menelefon Adimas," batin Lisya saat itu. Akhirnya dia pun berencana agar menelfon dengan Adimas nantinya saat Syika sudah tertidur pulas. Maka dari itu dia pun sekarang sedang mengecek kabar Adimas. Berharap dia masih belum terjaga di malam ini.
Pesan dari Lisya ke Adimas :
"Hai, Dim. Maaf aku sms kamu malem-malem. Nanti kamu bisa nggak telfon aku jam setengah dua belas,"
"Aku butuh temen ngobrol nih. Suasana hatiku lagi bete,"
Dua pesan telah terkirim ke salah satu penerima pesan nantinya, Adimas. Selagi menunggu sahabat lelakinya balik membalas pesannya, Lisya pun kembali menggeledah isi ruangan kamar begitu pun dengan Syika. Untung saja Adeknya satu itu sepertinya sudah menutup kelopak matanya. Menandakan jika dia memang hampir dalam keadaan tertidur.
Lisya pun mencoba dengan menghampiri ke dekat wajah Syika yang tidur di kasur sebelah kiri dekat dengan tembok yang membatasi kamar dengan kamar mandi itu. Untuk memastikan apakah Adeknya sudah tertidur. Dilihatnya Syika dengan wajah polosnya sudah tidur. Lisya pun menemukan keberuntungan ketika mengetahui jika Adeknya itu sudah di alam bawah sadar.
Langkah kaki Lisya beralih menuju ke hadapan pintu kaca yang akan digeretnya sehingga dia bisa berada di balkon kamar di pendopo yang dia tempati. Dia hanya ingin mencari udara segar sambil menunggu, apakah Adimas benar bisa menelfonnya. Lisya sekarang sudah duduk santai di sebuah kursi kayu pendek yang dialasi bantal di setiap sisinya.
Dia membawa syalnya untuk menutupi tubuh keseluruhan selagi dia duduk dengan posisi kaki dinaikkan. Juga tak lupa ponsel serta headset pula agar dia nanti bisa bercerita sepuasnya tentang liburannya saat ini ke Adimas.
Tak menunggu lama ponselny bergetar. dan menampangkan nama Adimas tepat di layarnya. Hal itu membuat senyum Lisya merekah saat itu juga. Dia kembali menemukan kebahagiaan kecilnya saat Adimas bisa langsung menelfonnya tanpa menjawab pesannya. Lisya memang menilai jika Adimas adalah sahabat lelakinya yang paling gentle. Sekiranya dia langsung menjawab ponsel itu. Dengan suara yang dikenalnya itu terdengar melalui headset mini yang selalu Lisya bawa kemana saja.
"Malam, Lisya. Kamu kenapa minta ditelfon jam segini? Untung aku lagi main sama anak-anak. Aku lagi di dago. Lagi ngafe. Untung aja mereka nggak keberatan aku telfon kamu. So, how was your holiday?" Suara bass milik Adimas menenangkan Lisya yang sesaat memandang langit dari balkon tempatnya berada.
"Guess it, Dim. Aku bad mood berat. Malu sih mau ngomong ke kamu gimana suasana hatiku sekarang. If you know me, pasti kamu sudah bisa tebak gara-gara apa," Lisya menjawab Adimas yang selalu bisa membuat keadaan Lisya menjadi lebih ringan dari sebelumnya.
"Gara-gara adek kamu itu si Vanka? Kan kamu lagi liburan sama keluarga besar kamu, kenapa kok malah bad mood, Lisya? Ada banyak hal menyenangkan di sana," jawab Adimas. Dia tidak tau apa yang sudah terjadi, padahal menebak saja sudah pasti mudah bagi Lisya.
"Hmm.. kamu aja kali yang nggak pinter nebaknya, Dim. Tapi selama liburan ini memang banyak sih kejadian baru yang aku belum cerita ke kamu, Dim. Ada susah sama senengnya sih," kala itu Lisya pun teringat bagaimana dengan liburannya. Evaluasinya dimulai saat Adimas, sahabatnya itu menjadi teman ceritanya di sepanjang sisa malam ini.
"Oh ya? Kan kamu cuman liburan aja nih, Lisya. Kenapa harus ada banyak kejadian? Hmm,, aku tebak kamu pasti diajak ngobrol sama keluarga kamu? Bener nggak?" tebak Adimas yang sepertinya sudah kembali normal kepintarannya.
"Iya, Dim. Barusan aja aku mikir kok kamu lagi nggak pinter, eh dikit bentar kamu bisa nebak. Jadi, liburan hari pertamaku itu awalnya menyenangkan dan malam akhirnya itu bikin sesak hati gitu," ujar Lisya yang mengiyakan tebakan dari Adimas. Seratus buat sahabat lelakinya itu.
"Kamu diajak ngobrol apa malamnya, Lisya? Hari pertama liburan udah diajak ngobrol aja. Penting nggak obrolannya?" tanya Adimas yang dirinya itu ingin tau apa yang membuat Lisya jadi bad mood di liburannya.
"Penting banget, Dim. Jadi aku ngobrol sama Bude, Tante, Pakde, Om sama Mama Papaku. Aku diajak ngobrol masalah gimana mereka mau bawa masalah aku sama Vanka kedepannya. Jadinya, sebelum aku ngobrol aku udah nyiapin semua mental aku buat denger gimana maunya sebagian anggota keluargaku untuk kedepannya. Aku gatau tadinya mereka mau kasih berita baik atau nggak, tapi malah kabar buruk menurutku yang aku terima," ucap Lisya lewat panggilan telefon dengan Adimas sebagai lawan bicaranya.
"Oh,, kabar buruknya? Apa sebagian keluarga kamu mau nunda nyelesaian masalah kamu sama Adekmu? Apa beneran kayak gitu?" kali ini Adimas menebak lagi dengan benar adanya.
"Iya, gitu. Parahnya aku tuh diam-diam bisa ngertiin maksud Bude sama Tante ku kalau mereka merasa belum siap hanya karena mereka yang masih gengsi nilai Vanka. Tapi buat ceritanya gimana yang panjang lebar aku masih belum bisa kasih tau kamu sih, Dim. Masalah kenapa semuanya gengsi ke Vanka," kata Lisya yang setengah-setengah memberi kabar ke Adimas.
"Ohh.. Gengsi? Memangnya kenapa, Lisya? Setauku Vanka cuman ada masalah sama kamu karena dia ganggu kamu. Aku belum bisa benar nebak kenapa Vanka memang ada masalahnya sama keluarga kamu. Dan lebih baik sih aku nggak dengar kabar secara lengkapnya. Im nothing for those problem," kata Adimas yang beneran tidak mengerti apa yang menjadi masalah sebenarnya dari hubungan Vanka dengan keluarga Lisya. Dia pun menolak mengetahuinya juga dari sahabat perempuannya itu.
"Iya, I know, Dim. Kamu nggak harus tau sama masalah itu secara lengkap. Tapii….," ucapan Lisya menyeretnya kepada kebingungan yang dia rasakan. Antara dirinya merasa jika Adimas tau kesalahannya itu, apa yang akan terjadi juga? Akhirnya suaranya terputus dengan tidak disengaja. Menandakan Lisya sebenarnya ingin bercerita selengkapnya ke Adimas. Namun sayangnya, dia tidak mau membuka topeng dari bagaimana sebenarnya semua sudah salah ke Vanka. Dia merasa kesalahannya itu tidak bernilai lebih, apapun itu.
"What, Lisya? Kok suaramu kepotong? Kamu lagi sibuk dengan pikiranmu sendiri? Apa kamu lagi nggak bisa fokus? Kalau iya, kita udahan dulu aja telefonnya. Besok kamu ada waktu kapan bisa telefon sama aku lagi? Aku usahain bisa telfon kamu," jawab Adimas ingin memberi pilihan ke Lisya dengan menenangkan dirinya dari kegamangan akhir dia menjawab obrolan terakhir kalinya.
"Nggak,, nggak usah deh. Mmm,, tapi memang sih sekarang sudah malam, Dim. Aku pulang besok jam delapan pagi serombongan keluarga aku pakai mobil masing-masing. Kayaknya aku harus siap-siap packing buat check out besok," ujar Lisya yang membutuhkan ruang lebih agar dirinya tidak memikirkan masalah yang seharusnya tidak terlalu dipikirkan terlalu dini.
"Okeh,, aku bisa telefon kamu lagi malam besok. Kamu bisa tutup telfonnya kalau kamu mau, Lisya," ujar Adimas yang menyuruh Lisya untuk awal menutup telefonnya.
"Bentar,, aku mau bilang ke kamu nih. Aku juga ada kabar yang buat kejutan juga ke kamu. Aku mau bilang besok malam aja deh. Oke, Dim. Makasi ya mau nerima telefon aku. Syukur aja kamu lagi main di luar juga dan belum tidur malam. Aku tidur duluan ya, Dim. Jangan sampe kemaleman ya main ngafenya. Sekarang hampir jam dua belas nih," kata Lisya yang mengatakan selamat malam ke Adimas karena dirinya sudah ingin tidur juga.
"Oke, bye. Night night, Lisya. Aku tutup ya telefonnya," ujar Adimas seraya dia menutup telefonnya saat itu. Terdengar suara panggilan yang sudah ditutup dari seberang. Dan Lisya pun mengulas senyum, dengan hatinya yang berat. Dia berpikir sampai kapan dia bisa bercerita ke Adimas tentang bagaimana masalah keluarganya dengan Vanka yang ada hubungannya dengan dirinya itu.
Dia beranjak kemudian dari balkon, dan mulai melihat ke sekeliling kamarnya untuk memutuskan secara awal berkemas barang-barang bawaanya itu agar besok harinya dia sudah tinggal bersiap-siap dengan mendandani penampilannya. Kebaikan Lisya juga, saat itu dia juga mengemas barang milik Adeknya, Syika.
Dengan harapan dia tidak lagi memikirkan bagaimana dengan keadaan dia yang selalu tidak bisa memberi kabar ke Adimas jika dia punya salah ke Adeknya. Akankah itu bisa berputar balik ke Vanka? Supaya dia yang bisa seperti dirinya saat ini. Memikirkan tentang apakah dia punya salah ke dia, bukan dirinya yang memikirkan salah ke Vanka.
Tapi setidaknya, Lisya tau. Vanka sudah merasa menggangu dirinya. Mungkin itu adalah hal positif yang bisa diterimanya saat ini. Lisya masih berkemas saat itu. Sampai dia masih saja memikirkan lagi tentang semua hal yang mengacu kepada kesalahannya ke Adeknya, Vanka.
Dia tau jika kesalahannya hanya karena dia benci dengan Vanka. Tapi dia tidak mengira jika keluarganya bisa sampai salah menilai Vanka. Dan yang membuatnya semakin khawatir adalah karena mereka menyalahkan Vanka atas kesalahan dia. Semua keluarga mengira jika Vanka lah yang selama ini membenci Lisya.
Bahkan karena itu dia tidak ingin semua masalahnya ini diketahui oleh orang luar selain keluarganya, namun setidaknya Adimas adalah sahabatnya dari kecil yang jika dikira kedekatannya pihak keluarganya dengan keluarga Lisya dikatakan sangat dekat. Dan entah mengapa Adimas memang sudah sedari dulu dekat dengan Lisya. dan dia memilih bercerita sedikit tentang perasaannya ke Vanka. Alih-alih memang dia merasa kalau Vanka menggangunya.
Lisya yang mulai kembali ke dunia nyata setelah dia berpikiran banyak hal itu, masih memerlukan beberapa menit kembali agar dia bisa mengembalikan fokusnya. Tidak lama kopernya sudah terisi oleh barang-barang bawaannya. Sebelum dia mau berkemas koper Adeknya, Syika. Dia kembali membuka ponselnya dan mengirimi pesan ke Mama.
Pesan dari Lisya ke Mama :
"Mama, sudah tidur? Lisya mau bicara dengan Mama lain waktu,"
"Lisya mau tanya, apa Lisya boleh cerita ke orang luar masalah Vanka dengan keluarga? Lisya mau cerita ke Adimas,"
"Mungkin besok malam, kita bisa diskusi ya Ma,"
Pesan Lisya saat itu terkirim, tapi sepertinya Mama sudah tidur saat ini. Karena tidak ada pilihan lainnya, akhirnya Lisya pun melanjutkan berkemas barang bawaan Syika. Dia kembali menenangkan dirinya dari semua pilihan sulit baginya.
Minggu pagi hari yang cerah ini sebuah penginapan vila di daerah Puncak sedang diramaikan oleh beberapa penghuninya yang kali ini akan check out dari sana karena waktu mereka berlibur sudah selesai. Keluarga Natawijaya telah memesan tempat penginapan ini selama tiga hari dua malam dan hari Minggu ini adalah jatuh hari di mana mereka semua akan kembali ke rumah masing-masing.
Pada pagi ini di mana jam menunjukkan pukul tujuh pagi, kebanyakan semua anggota keluarga sudah bersiap-siap keluar dari pagoda di mana tiap-tiap pagoda dihuni oleh setiap kelompok anggota keluarga yang adalah para anggota berumur, sepupu tua dan sepupu muda. Kebanyakan dari mereka saling janjian ke pendopo utama agar mereka bisa berkumpul dengan hari liburan terakhir dalam rangka liburan awal tahun baru 2008. Dan sekarang keadaan di pendopo utama sedang ramai dengan para anggota keluarga.
Sebelum Keluarga Natawijaya akan check out dari penginapan ini. Dengan menunggu kedatangan pemilik asli penginapan vila Puncak untuk mengembalikan kunci vila ini kepada pemilik vila, mereka semua masih punya waktu beberapa menit lagi sampai semua anggota keluarga ini saling berpisah dan melewati sisa liburan awal tahun baru dengan masing-masing keluarga inti saja di rumah mereka.
Karena ruang pendopo tampak penuh, maka Vanka sebagai salah satu anggota keluarga besar yang sedang berlibur ini memilih untuk berada di luar pendopo utama. Lebih tepatnya Vanka berada di sebuah bangku yang ada di dekat kolam ikan diantara perbatasan pintu keluar penginapan vila dengan pendopo utama yang ada di dalamnya. Vanka merasakan suasana pagi hari yang cerah saat ini. Tapi tidak begitu dengan suasana hatinya sekarang.
Yang ada di pikirannya sekarang adalah apakah yang akan terjadi untuk kehidupannya mendatang jika Kak Lisya sudah mengatakan ke dia secara langsung jika dia tidak kerasan dengan keberadaan Vanka di sekitarnya itu. Apalagi setelah ucapan terakhir yang mengatakan 'jangan banyak berharap'.
Menurut Vanka perkataan Kakaknya itu menyimpulkan jika dia memang selalu saja menggangu Kak Lisya dengan kedekatannya oleh banyak anggota keluarga lainnya. Memang Vanka tidak berharap, tapi setidaknya apabila Vanka masih saja punya kedekatan dengan beberapa anggota keluarga ini. Kakaknya beranggapan jika dia masih berharap banyak dengan kedudukannya.
Memang Vanka mengiyakan jika dia masih belum bisa tidak berpisah dari keluarga intinya saja, dia merasa tertekan karena dia tau keadaannya yang katanya hanya sebatas urusan politik saja. Berarti kemungkinan dia akan berakhir menjadi anggota yang dikeluarkan karena dia punya masalah sudah menggangu Kak Lisya.
Tapi pertanyaan demi pertanyaan yang Vanka pikirkan itu membuatnya tidak yakin apakah dia bisa mengambil tindakan pasti antara dia mau mengajak bicara ke Mama mengenai apa yang sudah dia sengaja dengar saat malam sebelum natal tiba. Vanka belum terima dengan keputusan bersama nantinya. Apalagi mengetahui tentang masalahnya antara Kak Lisya yang sebenarnya.
Selama dia masih duduk dengan melihat kolam berisi ikan koi itu, dia mengetahui jika dia masih berada di sini dia tidak akan tenang. Maka dia pun beranjak menuju ke pelataran parkir di mana dia ingin mengetahui apakah Mama atau Papa ada di sana sekalian dia memasukan koper mini miliknya ke dalam mobil. Tapi, saat dia akan beranjak menuju ke luar pintu depan penginapan vila itu.
Sekali lagi dia melihat dua orang terdekatnya kali ini tanpa Mama sedang berada di luar dekat mobil punya Papa Haikal. Rupanya kedua Kakak perempuannya. Yaitu Syika dan Lisya sedang berada di belakang mobil, mereka rupanya sedang saling berbicara satu sama lainnya. Tanpa disadarinya jika Vanka juga ingin sekali menaruh barang bawaannya itu ke dalam mobil, dan kedua Kakak perempuannya itu sudah mendahuluinya.
Dan dirinya pun mendengar keduanya berbicara. Suara kedua Kakaknya memang tidak mudah didengarnya karena bunyi percikan air. Maka dari itu Vanka sengaja meninggalkan kopernya di daerah dekat pintu masuk dengan dirinya yang bersembunyi di arah menghadap ke mobil paling dekat dengan posisi di mana mobil milik Papa berada. Vanka tidak ingin ketinggalan satu pun berita baru yang mungkin akan dia dengar setelah ini. Walaupun dia takut dengan setiap kabar yang akan didengarnya itu, tapi dia memberanikan diri.
"Iya, dek. Kakak kemarin malem nggak bisa tidur. Kakak lagi mikirin banyak hal yang buat Kakak susah tidur. Tapi Kakak sudah bilang ke Mama kalau aku mau bicara lagi ke Mama nanti sore kalau kita sudah sampai di rumah. Kamu tau aja sih kalau Kakak nggak bisa tidur?" kata Kak Lisya yang didengar Vanka itu. Dia mengira jika kedua Kakaknya itu memang baru saja memulai percakapan mereka yang berarti mereka baru saja ada di sana tidak lama dari kedatangannya.
"Apa yang buat Kakak nggak bisa tidur kak? Aku nggak mau deh kak lihat kamu kayak gini terus. Hmm,, kan sebelum kita pergi liburan Syika sudah bilang ke Kakak. Kalau semua anggota keluarga belum bisa ambil suara buat bicara langsung ke Vanka sama masalah ini, berarti Kak Lisya juga punya waktu lebih banyak buat bisa meluangkan waktu luang lainnya. Apa Kak Lisya susah lihat keadaannya?" tanya Syika berbicara ke Kak Lisya. Percakapan kali ini didengar oleh Vanka yang masih merasa bertanya-tanya apakah memang semua anggota keluarganya belum ada yang bisa mengajaknya bicara tentang dia dan Kak Lisya.
"Memang susah, Syika. Kak Lisya mau keluarga tau kalau Kakak memang tidak ingin diganggu Vanka. Tapi keluarga masih susah mau bicara secara lengkap ke Vanka. Jadi, pas lusa kemarin sore itu semuanya sudah memutuskan mau bicara ke Vanka setelah Vanka sudah cukup umur. Nyatanya mereka semua bisa ngertiin keadaan Vanka. Tapi memang sih, menurut Kakak kalau Vanka sudah harus terima kenyataan masalahnya kayak gimana menurutku itu juga terlalu sulit buat dia. Tapi setidaknya keluarga juga lagi sulit juga buat bisa bicara ke Vanka. Mana ada sih yang mau bilang ke Vanka kalau selama ini mereka selalu menilai Vanka yang selama ini salah? Nggak akan ada, Syika," ujar Kak Lisya ke Syika. Dan membuat Vanka masih belum beranjak dari tempat menguping sementaranya. Dia masih belum habis pikir dengan apa sebenarnya pihak keluarga, sudah menilai dia selama ini yang salah.
"Aku sudah tau juga dari lusa kemarin malam pas Kakak cerita ke Syika gimana hasil obrolan Kak Lisya sama semua anggota keluarga berumur. Kak Lisya sudah bilang itu. Dan yang sekarang Syika pikirin adalah gimana nasib Kak Lisya kedepannya. Kalau nggak ada pihak keluarga yang memang masih belum mau ambil tindakan buat kasih tau Vanka secara langsung, berarti cara lainnya yang tersisa adalah dengan kasih tau ke Vanka apa saja salahnya selama ini ke kamu kak," kata Syika yang mengatakan jika tidak ada jalan lainnya selain memberitau apa kesalahan Vanka selama ini. Saat itu juga Vanka mengernyit tidak mengerti. Dia bingung apa kesalahannya selama ini, tapi perasaannya itu belum habis ketika kedua Kakaknya itu masih belum selesai berbicara.
"Nggak segampang itu, Syika. Apa kamu nggak tau kalau selama ini semua pihak keluarga hanya merasa jika aku yang selama ini benar, tapi kenyataannya memang Kak Lisya benci dengan keberadaan Vanka. Mereka mengecap Vanka yang benci dengan Kak Lisya, tapi nyatanya aku yang benci dengan Vanka. Dan masih banyak hal lainnya yang kakak nggak mau Vanka tau, Syika," jawab Kak Lisya yang mengatakan jika tidak semudah itu dia bisa memberi kabar ke Vanka. Sedangkan Vanka mulai mengerti jika Kak Lisya tidak bisa memberitau ke dia kalau Kakaknya itu yang tidak disalahkan oleh pihak keluarga. Tanpa Vanka tidak tau mengapa alasan pasti sebenarnya.
"Yah, Kak. Aku juga sebagai salah satu anggota keluarga ini dan adek perempuan kamu. Aku ngerasain juga apa yang Kakak rasain. Tapi aku mau Vanka tau kak kenapa sih kok aku sama anggota lainnya selalu anggap kamu yang baik, Kak. Kehadiran Vanka di keluarga ini hanya sebatas karena memang kita mau kasih dia tau gimana tentang kehidupan real yang Kak Lisya idamkan dari dulu. Dan tugas Vanka hanya sebatas dia tau Kak," kata Syika memberikan harapan kepada Kak Lisya. Dia berharap Kakaknya tidak akan mudah merana dengan keputusan banyak keluarga lainnya, yang belum bisa mengajak Vanka bicara baik-baik demi kebaikan Lisya.
Tapi saat itu Vanka pun malah merasa terpukul saat itu juga. Dia mendengar dari Kak Syika yang berbicara ke Kak Lisya. Kalau ternyata keberadaan Vanka hanya sebatas untuk mengetahui kehidupan yang Kak Lisya mau. Mendengar itu, Vanka masih saja menata semua hal yang didengarnya baru-baru saja ini.
Dia ada di keluarga bersama dengan Kak Lisya karena pihak keluarganya ingin dia tau apa yang diinginkan Kakaknya. Dan pihak keluarganya malah belum bisa mengajaknya berbicara, karena hal yang dia tau mereka menyalahkan Vanka dari Lisya. Sesaat Vanka ingin masih menerima beberapa informasi lainnya, dimana dia mungkin saja bisa mendengar hal lain yang pasti. Seperti apa sebenarnya kesalahannya itu? Tapi keadaan malah hening sesaat bersamaan Vanka berpikir saat itu. Dan kemudian Kak Lisya kembali mengatakan sesuatu hal lainnya ke Kak Syika.
"Aku nggak bisa meminta lebih dari apa yang sudah kamu pahami dari masalah Kak Lisya sama Vanka, Syika. Kakak nggak berharap minta lebih tentang gimana kamu sama banyak keluarga lain punya komitmen kayak gitu tentang masalahku sama Vanka. Iya, Kakak senang banget kamu nilai Vanka sebagai salah satu keluarga kita yang ganggu, Kak Lisya. Apalagi kamu bilang juga kalau sewaktu-waktu Vanka akan tau tentang keberadaannya juga. Jadi, Kakak mau bilang makasi ya, Syika," kata Kak Lisya yang saat itu mengatakan rasa terimakasihnya ke Syika.
"Iya, Kakak. Aku nggak mau Kak Lisya yang sudah tau kalau masih ada Vanka jadi ngerasa nggak bahagia. Kak Lisya punya segudang kebahagiaan lainnya. Dari keluarga yang sebenarnya nilai Kak Lisya yang baik. Juga apa yang Kak Lisya punya selain itu semua. Masa depan Kakak masih panjang, Kak. Dan itu lebih penting dari gimana Kakak harus ngerasain sulit kalau ada Vanka di sekitar Kakak. Dia memang ganggu, tapi Kak Lisya yang selama ini diharapin sama semuanya," saat itu Kak Syika mengajak Lisya menjadi lebih ringan daripada apa yang kemarinnya dia rasakan sebelumnya.
Saat itu Vanka tau jika keduanya sudah saling selesai berbicara. Lebih tepatnya karena Vanka sedang menguping dia pun kembali beranjak secepatnya menuju ke arah pintu masuk di mana ada kopernya yang ditaruh di sisi samping pintu masuk di sana. Selanjutnya dia pun menggeret kopernya lebih masuk ke dalam pendopo utama. Saat itu dilihatnya Bude Wuni sedang memberikan kunci penginapan vila itu ke pemiliknya. Dan semuanya yang ada di pendopo utama itu mulai keluar secara bersamaan dengan membawa koper mereka masing-masing.
Disaat mereka semuanya saling bersalaman satu sama lainnya. Di saat itu juga secara bersamaan kedua Kakaknya kemudian datang ke dekatnya. Mereka tidak tau jika Vanka memdengar percakapan keduanya sebelumnya. Tapi, keduanya pun sesibuk dengan semua anggota keluarga lainnya yang saling bersalaman dalam rangka perpisahan di sesi liburan awal tahun baru 2008 saat ini.
Tidak terasa jika ternyata saat itu semuanya sedang menatap Lisya yang saat itu juga masih bersalaman dengan banyak pihak keluarga lainnya. Dia pun tersenyum penuh dengan perasaan yang tidak bisa ditebak Vanka sebelumnya juga. Entah mengapa dia merasakan jika Lisya itu sedang melakukan perpisahan dengan banyak anggota keluarga yang menyayangkan keputusan mereka pula. Vanka mengerti itu adanya, karena dia bisa melihat dari air muka semua keluarga yang ada di sana.
Tapi saat dia ingin mencoba bertanya lagi atas apa yang sudah didengarnya beberapa waktu yang lalu itu, jika semua keluarga menyalahkan dia dari Lisya. Vanka tidak bisa lagi memfokuskan dirinya untuk menebak apa yang sebenarnya dirasakan oleh seluruh keluarganya. Dan lainnya dia pun juga merasa semua pemikirannya memudar saat itu juga. Vanka seperti halnya orang yang bodoh saat itu.
Entah mengapa saat itu dia tidak bisa menggunakan kecerdasannya untuk memutar balik keadaan agar semuanya mau mengajaknya bicara saat itu. Tentu Vanka berpikir saat itu dengan pemikiran pendeknya. Dia tidak tau jika tidak mungkin semuanya akan mengajak dia bicara dengan leluasa atas masalahnya dengan Kak Lisya.
Setelah semuanya sudah saling bersalaman untuk berpisah, kemudian keadaan kembali lagi ke keadaan semula. Saat itu Vanka hanya bisa mengekor dari belakang. Dan dia pun merasa dengan kecewanya dia hanya bisa melihat dia yang tidak diharapkan hanya bisa mengikut dengan keluarganya yang juga sebenarnya tidak menyukai dia.
Comentario de párrafo
¡La función de comentarios de párrafo ya está en la Web! Mueva el mouse sobre cualquier párrafo y haga clic en el icono para agregar su comentario.
Además, siempre puedes desactivarlo en Ajustes.
ENTIENDO