"Dev!" Kali ini sudah sangat keterlaluan. Matanya melotot tajam untuk memperingati Devan supaya tak melanjutkan lebih jelas kelancangannya. Situasi yang makin mendesaknya, sampai gemuruh di dalam hatinya yang tak akan bisa lagi di tahan.
"Aku hanya ingin melihat mu berkutat di depan penggorengan. Setidaknya, aku ingin melihat mu ahli menggoreng telor ceplok."
"Baiklah, tapi kau harus siap dengan resiko kerugian finansial atau bahkan korban melayang jika aku membuat kesalahan."
"Aku serius." Tukas Devan dengan rautnya yang begitu datar.
"Sudah ku bilang, jangan melampaui batasan mu, Dev!" Kepalan tangan Bian semakin erat. Sampai sangat bergetar karena menahan lesatan pukulannya yang begitu bernapsu untuk menghabisi Devan.
"Batasan? Aku bebas melakukan apa pun, Bi. Harusnya kau yang sadar diri, posisi mu sama sekali tak menguntungkan. Bertahan atau sekali pun melarikan diri, kau harus tetap pada aturannya."
Bughh
Ucapan Devan kali ini benar-benar telah melukai harga dirinya. Rasanya satu kali pukulan pantas untuk memberi pelajaran di jalang Devan.
"Baiklah. Mau bagaimana lagi, aku terikat peraturan, kan?"
Kali ini Bian berdiri dengan dagu terangkat, bersendekap dengan senyum lebar terulas. Jerat kuat yang mengikatnya sudah berhasil di lepas, setidaknya ia sudah melawan.
Sementara Devan mematung, setelah merasakan sentakan tak terduga yang terasa sakit. Sambil memegang pipi kirinya yang berdenyut, masih tak menyangka atas perbuatan Bian yang berani menyakitinya secara fisik.
"Kau memukul ku?"
"Hmm... Kenapa aku harus merasa takut untuk menyakiti mu? Perseteruan ini di antara kita, kalau sampai aku mendapatkan masalah hanya karena membuat bibir sudut bibir mu robek, kesimpulan yang ku tau adalah kau seorang pengadu yang begitu pengecut!"
"Bi, aku belum selesai."
Duar
Mengabaikan panggilan Devan, Bian makin cepat melarikan diri. Membanting pintu dengan cara yang amat tak sopan sebagai seorang pelayan terhadap atasan.
Hikss... Hikss...
Untuk pertama kali setelah lewat tujuh tahun, ia menangis merasakan sakit di dadanya. Mengurung diri di salah satu bilik toilet. Meringkuk, menggigit keras bagian bawah bibir untuk membungkam isakannya yang makin tak tertahankan.
Perlakuan Devan benar-benar memposisikannya sebagai seseorang yang begitu rendah. Menginjak-injaknya dengan tanpa ragu, mengulang memori lama. Kemenangan beruntun Devan di atas kesengsaraan yang menghancurkan dirinya bertubi-tubi.
Belum cukupkah kesempurnaan hidup yang di dapatkan pria itu? Seseorang pria kaya raya yang begitu setia seperti Mike yang tergila-gila. Orang-orang yang memberikan dukungan dan kasih sayang penuh terhadapnya. Lantas, mengapa Devan masih begitu bernapsu untuk lebih merusaknya yang sebatas kara? Mengapa pria yang penuh kasih sayang itu harus terlalu berusaha menggali lubang kesepiannya? Mengapa pria yang selalu mendapatkan apa yang di inginkan itu terlalu susah payah mengobrak-abrik usaha ketenangannya?
Yang lebih membuat Bian tak bisa menerimanya, Devan seperti berusaha berdiri di atas lukanya dengan sengaja, berulang kali mengungkit-ungkit tentang seseorang yang mustahil untuk membalas perasaannya. Dan makin buruknya, Devan yang paling beruntung memenangkan pemilik hati yang begitu dingin itu.
Bian cemburu. Amat cemburu sampai-sampai ingin memusnahkan Devan dan menggantikan posisi pria itu selamanya. Ia ingin sekali mendapatkan perhatian dan kekaguman dari orang-orang. Ia ingin tersenyum penuh kegembiraan tanpa beban. Ia ingin melakukan segalanya tanpa di kekang. Ia benar-benar ingin hidup seperti Devan.
Sampai pada konklusi, Bian yang benar-benar membenci dirinya sendiri. Sama sekali tak ada keistimewaan. Tak ada satu orang pun yang terpikat dengan dirinya yang serba kekurangan. Yang paling membuatnya begitu hina, ia harus membayar terlalu mahal dengan sakit di tubuhnya. Pria-pria yang menyewanya yang begitu kasar dengan menganggapnya budak tak berperasaan. Demi apa pun, ia sungguh-sungguh menginginkan cinta tulus di hidupnya. Meski kekecewaan harus di telannya mentah-mentah, seperti kutukan yang tak bisa melepaskannya dari lubang sengsara.
Situasi yang begitu bertolak belakang, Devan yang tertawa pongah sementara ia harus menyaksikan air matanya yang makin deras jatuh di takupan. Lagi-lagi ia di kalahkan dengan begitu mudahnya.
Brakk
"Akhh...!!!" Menendang-nendang bilang tipis toilet. Bergoyang-goyang sampai nyaris runtuh karenanya.
"Bangsat! Sialan, kau Dev! Aku benar-benar sangat membenci mu!"
Kali ini tak lagi bisa menahan diri, mulutnya yang semula di bungkam kali ini mengumpat begitu keras. Amarahnya benar-benar tak sanggup lagi untuk di tahan.
Cukup lama mengurung diri, sampai waktu memaksanya untuk keluar. Mengusap lelehan air mata yang membuat wajahnya nampak begitu mengerikan, yang kemudian mengucurnya di bawah air keran.
Seseorang wanita berdiri diam di sudut ruangan, seketika Bian memutus tatapan pertemuan mereka di balik kaca itu.
"Terimakasih karena kau sudah tutup mulut." Lirihnya sambil berlalu, menepuk bahu Nadin sebelum kembali kepada tugas barunya hari ini.
Bian butuh waktu sendiri. Pukul sepuluh malam, ia sengaja menyelinap lebih dulu untuk menghindari Tio yang di pastikan sudah nangkring di atas motor untuk menjemputnya.
Menyaksikan pria itu celingak-celinguk saat tak mendapatinya keluar di antara karyawan lain. Raut bodoh serta lengan yang menggaruk surai tebalnya membuat Tio benar-benar nampak seperti orang linglung.
Sampai Nadin yang berjalan mendekati Tio, yang malah membuat senyum Bian lenyap saat menyaksikan interaksi keduanya. Mereka yang nampak akrab. Tio yang salah tingkah dengan senyum genit di pastikan tengah melancarkan aksi rayuan mautnya untuk menggaet Nadin yang di lihat cukup cantik.
"Ya, pada akhirnya kau juga akan meninggalkan ku kan, Yo?"
Terlalu muak untuk menyaksikan kedekatan Tio dan Nadin yang tanpa seizinnya itu. Melangkah cepat menyusuri malam dengan jalanan sepi seorang diri.
Yang tak pernah terencana sebelumnya. Bian mengambil ponsel di sakunya. Menggulir beberapa nomor yang ada di riwayat panggilannya. Mike tak mungkin di hubungi, tak ingin mencari penyakit saat kemungkinan besarnya ia akan mendengar interaksi tak terduga yang begitu intim dari sana.
Satu-satunya pria yang lebih dari satu kali menyewanya itu juga tak mungkin di ganggu. Meski begitu agresif di ranjang, pada dasarnya mereka sama sekali tak ada kepentingan untuk sekedar basa-basi.
Tio pun sangat mustahil. Sampai nomor pilihan terakhir menjadi keputusan. Buru-buru di tekannya sebelum berubah pikiran.
Tutttt
Nada dering menunggu sedikit lama, sampai-sampai Bian perlu mengalihkan rasa bosannya dengan menatap langit yang telah berubah hitam. Mengedarkan bola matanya ke pepohonan lebat yang mendadak berubah menyeramkan. Kedua tangan yang di bentangkannya ke atas, merasakan angin yang terlalu kencang sampai melimbungkannya.
Kepalanya yang mendongak dengan mata yang terpejam, terlalu khidmat menikmati perpaduan malam yang sedikit menenangkan. Sampai tak sengaja bola matanya mengintip, "Uh?!" Membuatnya terpekik, berjingkrak karena terlalu bersemangat saat melihat waktu pembicaraan berputar.
"Halo?"
"...."
Orang asing itu mengangkat panggilannya, meski tak seperti yang di harapkan, masih tanpa suara yang membalas.
"Ekhem! Meski kau tak berniat membalas ucapan ku, tak apa. Sungguh, aku hanya ingin berbasi-basi dengan mu. Pertama-tama, perkenalkan nama ku Ranendra Bian Alfanrez. Kau bisa memanggil ku Bian. Ah... Atau sayang juga boleh. Umur ku sudah 25 tahun, tak seperti kebanyakan orang, sedikit pun dalam pikiran ku tak pernah berpikiran untuk membina rumah tangga. Pada dasarnya wanita justru akan membenci ku, mereka menganggap ku musuh. Karena, yah... Aku lebih cantik, dan bisa sangat berbahaya untuk merebut pria straight sekalipun."
... Ya, aku gay. Tapi bukan golongan yang terlalu beruntung seperti seseorang. Aku sebatang kara, hanya satu orang yang menerima segala kekurangan atau bahkan kerusakan ku, ketulusan yang sejujurnya sangat ingin ku dapatkan dari peran masa lalu ku. Seseorang yang ku gilai setengah mati. Seseorang yang telah pergi terlalu lama sampai-sampai aku begitu merindukannya. Seseorang yang masih tak mau menyingkir dari dalam hati dan juga pikiran ku."
"...."
Bian yang tanpa sadar bicara terlalu banyak. Perkenalan yang terlalu berlebihan sampai-sampai seperti tanpa sungkan mengutarakan pencapaian di hidupnya yang nol besar. Mulutnya terus terbuka mengatakan kata demi kata tanpa kesulitan. Terlalu nyaman tanpa di sadari sampai ia terduduk di bangku pinggir jalan seolah begitu terbawa suasana dan ingin waktu lebih lama lagi untuk bicara berbagai hal tentangnya. Meski tak sekali pun ada jawaban.
"Terimakasih sudah meladeni racauan ku. Sungguh, yang ku butuhkan saat ini memang seorang pendengar yang tulus menampung keluh kesah ku. Jujur saja, kawan ku tak cukup baik untuk di ajak berkeluh kesah atau berdiskusi semacam ini, dia terlalu banyak banyak omong tanpa isi dan bakatnya hanya menertawai ku saja. Hahahaha..." Tawanya canggung. Meski setelah itu pengharapan yang di ucapnya di katakan dengan sungguh-sungguh.
... Ku harap, di kemudian hari aku bisa bertemu nyata dengan orang seperti mu."
Tuttt tuttt
Mengakhiri panggilan dengan senyum yang mulai terbit di bibir penuhnya. Benar-benar merasa lega sampai rasanya beban menghimpit di dadanya sedikit terlepas. Ya, meski pun orang asing itu sama sekali tak berniat membalas ucapannya sedikit pun.
"Coba saja yang di katakan Tio benar, pria kaya tak akan pernah ku lewatkan. Kalau tidak bisa mencabik-cabik mulut lancang Devan, setidaknya aku hanya ingin di posisi sejajar." Kekeh Bian menyadari angannya yang terlalu tak masuk akal.
"Sialan! Aku mencari mu kemana-mana, bocah!"
Sebuah teriakan dari seseoerang yang di kenal membuat Bian reflek menoleh ke sumber suara. Mesin motor di matikan, Tio berjalan begitu cepat dengan langkah menghentak-hentak. Raut wajah menekuk terlalu dalam dengan bibir yang terkunci terlalu rapat. Jarak yang semakin dekat, sampai-sampai Bian mendengar dengan begitu jelas dengusan Tio. Kawannya itu marah?
"Yo, bagaimana kau bisa tau kalau aku di sini- Akhh... Isshhh..."
Lancang, Bian yang mengadu kesakitan langsung menepis Tio yang menjewernya.
Bangkit, lantas menghadap Tio dengan berkacak pinggang.
"Kau pikir apa yang sedang kau lakukan barusan, eh?!"
"Memberi pelajaran untuk seseorang yang membuat ku cemas. Kenapa pergi tanpa mengabari ku, eh?!"
Keduanya yang makin maju, beradu saling meninggikan dagu.
"Eh? Kau membentak ku? Kau pikir kau siapa sampai harus tau segalanya tentang ku?"
"Satu-satunya teman mu?"
"Lalu kau pikir, hanya dengan status mu itu berhak menguntit ku kemana-mana?"
"Kemana tidak? Aku hanya ingin ingin kawan ku tak kesepian. Tak peduli walau di anggap penguntit sekali pun."
"Wah... Apa aku harus merasa tersanjung karena telah memiliki mu di hidup ku?"
"Tak perlu, rasa ku pada mu tak butuh pengakuan balas. Aku benar-benar tulus."
Kata-kata yang berhasil membuat Bian membisu. Pipinya bahkan sampai merona. Kakinya bergerak-gerak, dari balik sepatu, jemarinya mengukir abstrak di tanah. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan kedutan di bibirnya.
Di pelukan malam, hawa dingin terasa hangat untuk keduanya. Bintang mendadak muncul dan bersinar begitu terang. Alunan musik yang entah dari mana asalnya seperti terdengar jelas di telinga.
Pengakuan resmi yang membuat situasi mendadak begitu romantis. Hanya tinggal selangkah, seakan-akan mereka akan melaju ke lembaran hidup bersama dengan sumpah mati tak terpisahkan.
Jika saja yang berhadapan dengan Bian bukan Tio.
Plakk
Bukan ciuman mesra sambil berbalas senyum mengikrar sumpah cinta. Lebih akrab di bandingkan itu. Bian memukul brutal kepala Tio berulang kali. "Amit-amit-amit-amit....!!!" Sambil berjingkrak mengusir segala kemungkinan takdir yang bisa saja makin membuat hidupnya sengsara.
"Ouch-ouchh...!"
Memutar tubuh Tio untuk menendang-nendang pantatnya. Tak peduli berapa banyak pria itu memekik seperti keledai yang di cambuk.
"Geli! Siapa yang mengajari mu untuk menggombal ke sembarang orang, eh?!"
"Ampun-ampun, Bi... Lagipula kau bukan orang lain, kau itu sudah menjadi orang terpenting untuk ku, Bi... Akhh!"
"Lah, itu! Kau melakukannya lagi! Terpenting kata mu?! Kata-kata menjijikkan apa yang baru saja keluar dari mulut mu itu, eh?! Dasar cabul tukang gombal!"
Plakk
"Cabul? Kau menyebut orang tulus seperti ku, cabul?"
"Erggh... Pakai segala bilang-bilang tulus, lagi! Kau pikir aku butuh ketulusan mu, eh?!" Bian yang suaranya hampir habis karena terus menjerit. Meski tanpa lelah memukuli si bajingan Tio.
"Hei, apa-apaan kau! Apa yang kau pikirkan? Ini tentang pertemanan kita."
Mulanya Tio yang pasrah, sampai ide jahilnya mulai menyala-nyala untuk menggoda. Mencekal kedua tangan Bian, menatap kawannya itu dengan alis di jungkat-jungkit sambil cengar-cengir.
... Atau jangan-jangan-"
Bian yang mendadak langsung melotot tajam. Mengerti arah tujuan Tio yang mengada-ngada. "Kau lanjutkan ucapan mu, mati kau di tangan ku."
"Kau kejam sekali sih, Bi. Kita lihat, apa kau sanggup membunuh kawan mu paling berharga ini."
"Akhh...! Lepaskan...!!!"
Bian menjerit, tanpa di duga Tio mencengkram belakang lututnya dan dengan mudah memanggulnya di pundak seperti karung beras.
Kepalanya langsung terasa pening, darah menyerbu keseluruhan ke sana. Awalnya ia memberontak habis-habisan dengan tangan dan kaki menyerang layaknya pergerakan kepiting. Sampai di mana pantatnya menyentuh jok motor milik Tio yang terparkir, saat itu juga Bian berubah begitu manis. Memeluk erat tubuh sang kawan dengan menyandarkan diri sepenuhnya.
Melewati perjalanan dengan bagian yang paling menyenangkan. Ya, Bian begitu suka saat kulitnya tersapu angin. Ehmm... Atau bisa di katakan pula jika ia sangat suka di bonceng motor.
Sementara Tio yang mengintip Bian dari balik spion pun merasa tenang. Meski tak secara langsung melihat, ia bisa merasakan lewat punggungnya jika seulas senyum baru saja terbit di bibir sang kawan.
"Hari ini, kau pasti sangat lelah ya?"
"Hem, jadi jangan mencari perkara lagi dengan ku."
Tio tertawa ringan, Bian rupanya masih galak meski nada bicaranya mengikuti pelan.
"Nanti ku panaskan air di kompor. Mandi air hangat, sepertinya bisa sedikit membuat mu rileks."
También te puede interesar
Comentario de párrafo
¡La función de comentarios de párrafo ya está en la Web! Mueva el mouse sobre cualquier párrafo y haga clic en el icono para agregar su comentario.
Además, siempre puedes desactivarlo en Ajustes.
ENTIENDO