Descargar la aplicación
100% Dear Tante Kunti / Chapter 21: H A T I

Capítulo 21: H A T I

Gadis itu menyusuri koridor dengan muka cemas-cemas takut. Dia terus memperhatikan sekitarnya, memasuki setiap ruangan yang di temuinya. Sekarang tidak ada rasa takut kepada guru yang akan menemukannya sedang berkeliaran di jam pelajaran begini, yang ada di otaknya hanyalah Meyes. Di mana gadis itu berada, dan apa yang sedang dia lakukan sampai detik ini.

Shapa menghela samar. Kakinya terasa pegal, tapi Meyes juga belum di temukan. Semua tempat sudah dia kunjungi, bahkan tempat-tempat yang belum pernah di kunjungi Meyes pun dia datangi. Namun, tetap saja gadis pucat itu tidak ada di sana.

"Meyes, lo di mana sih?" gerutunya sebelum duduk di salah satu kursi panjang yang terbuat dari kramik putih.

Shapa mengeluarkan ponselnya, ada ratusan panggilan yang dia kirimkan pada Meyes. Akan tetapi percuma saja, tidak akan pernah di jawab karena nomornya di blokir. Untung saja Demas yang membertahu, Meyes sangat tega sampai melakukan hal itu. Padahal telepon genggam berfungsi untuk saling memberi kabar melalui panggilan suara atau lewat pesan singkat.

Helaan napas itu kembali keluar, pandangannya beralih pada lapangan yang sangat panas. Pasti terasa menyengat jika dia berdiri di tengah-tengah lapangan siang ini, untung saja tidak ada guru yang melihatnya.

Benda pipih itu bergetar, membuat kening Shapa bertaut sekaligus kegirangan, "Hallo! Meyes, lo di mana sekarang?"

"Maaf ya udah gue blokir, abisnya gue kesel," sahut Meyes di balik telepon.

Shapa tersenyum lebar, beranjak dari duduknya, dan berkata, "Udah lupain aja! Sekarang lo di mana? Gue dari tadi nyariin kaya orang gila tau gak?"

"Gue... lagi ada di... lo tau kelas perawat yang gak di pake lagi?"

"Yang di lorong itu?"

"Iya. Gue lagi ada di sini sekarang, lo ke sini aja temenin gue!" ucap Meyes.

Kening Shapa bertaut, dia segera mengambil langkah menuju lorong yang terkenal angker itu, "Lo ngapain ke sana? Bukannya lo bilang kalau gak mau jadi indigo?"

"Iya, penasaran aja sih, ada aura aneh yang jemput gue soalnya. Lo ke sini ya, temenin gue!"

"Gue  ke sana sekarang." Shapa memutuskan sambungan teleponnya, menyimpan ponselnya ke dalam kantong kemeja sebelum berlari.

Lorong sepi itu ada di depan matanya sekarang. Ada rasa takut sekaligus ngeri, tapi dia harus menjemput gadis nakal yang ada di dalam sana.

Kedua kakinya memilih untuk kembali berlari kencang, memutuskan untuk tidak memikirkan tentang hal-hal negatif seperti rupa hantu atau mungkin sesuatu yang sangat menyeramkan. Shapa tidak berani, kata orang jika kita memikirkan mereka yang berbentuk menyeramkan di tengah-tengah rasa takut, mereka akan datang, dan menampakkan dirinya.

Shapa tidak mau itu terjadi padanya sekarang.

Langkahnya semakin cepat dengan bulu kuduk yang meremang. Dia semakin tidak mengerti dengan cara berpikir Meyes hari ini, kemarin gadis itu bilang jika  tidak mau menjadi indigo. Namun, hari ini dia membuat keputusan yang sangat salah, masuk ke  dalam sarang hantu sendirian tanpa ada persiapan.

"Meyes?!" teriak Shapa ketika membuka pintu kayu itu dengan lebar. Netranya mencari-cari Meyes dengan cepat. Helaan napas lega keluar seraya mengambil langkah mendekat, Shapa menepuk salah satu pundak Meyes pelan, dan berkata, "Lo ngapain anjir?"

"Gue ngerasa ada yang aneh sama lukisan ini. Gak tau kenapa, gue ngerasa dia lagi ngawasin gue gitu," jelas Meyes tanpa menatap lawan bicaranya.

Shapa semakin mendekat, memperhatikan lukisan besar yang ada di genggaman Meyes dengan kening bertaut. Baginya tidak ada yang aneh di sini, semuanya nampak normal dengan lukisan indah ini.

"Gue gak punya  kemampuan indigo atau apalah itu, tapi serius gue ngerasa ini lukisan biasa yang gak bisa ngapa-ngapain," ucap Shapa remeh.

"Masa sih? Kenapa gue ngerasa aneh ya? Atau gue aja kali yang terlalu curiga, atau naro harapan besar buat lukisannya hidup?" Meyes beralih menatap Shapa lekat-lekat.

"Gak tau. Btw, ini lukisannya siapa? Kok ada di sini?"

Meyes mengangkat kedua bahunya, "Tapi  di sini ada tulisan maria, menurut lo siapa yang ngelukis? Menurut lo maria ini nama pelukisnya atau nama  modelnya?"

"Gak tau, tapi biasanya sih penulisnya."

"Mungkin gak sih kalau cewe di dalem lukisan ini yang jadi pelukisnya?"

Shapa menatap Meyes dengan kening bertaut, mengerjap-ngerjapkan netranya beberapa kali, dan berkata, "Maksudnya dia ngelukis dirinya sendiri gitu?"

"Iya."

"Bisa aja sih, gak ada yang gak bisa di dunia ini kan? Lagi pula jaman dulu juga udah ada yang punya kamera. Terutama para penjajah, dia orang Belanda, di liat dari pakaiannya kaya keluarga kerajaan gitu."

Meyes hanya mendengarkan ucapan Shapa sekilas sebelum menghela, kemudian mengembalikkan lukisan itu pada dinding.

"Ada yang mau gue tanyain deh sama lo."

Meyes menoleh, menyuruh Shapa untuk duduk di salah satu kursi kayu itu karena kakinya terasa pegal sekarang. Mereka duduk berhadapan, raut muka Shapa nampak cemas, padahal tidak ada yang perlu di cemaskan sekarang.

"Lo kenapa dah?" ujar Meyes bingung.

"Gue minta maaf ya sekali lagi, seriusan Mey bukan maksud gue ngasih nomor lo ke orang asing. Dia itu sepupu gue, adik dari nyokap gue."

"Udahlah! Ngapain sih di bahas lagi? Orang udah gue maafin kok. Tenang aja, gak usah di pikirin lagi!"

"Serius?"

Meyes mengangguk.

"Syukur deh! Eh tapi, kenapa lo gak mau jadi temennya demas sih? Dia kan dateng baik-baik, kenapa lo ketus sama dia?"

"Gue udah tau dari gelagatnya kalau dia suka sama gue. Shapa, jujur gue gak mau dia naro harapan lebih, gue gak mau punya pacar dulu sekarang. Hidup gue aja udah rumit, gue gak mau nambah rumit cuman gegara ada demas," jelas Meyes.

Shapa tahu akan hal itu, tapi bukan berarti manusia bisa hidup sendirian bukan? Manusia adalah makhluk sosisal, membutuhkan bantuan dari manusia lain.

Jika Meyes tidak mau untuk memulai hubungan, bukankah bisa memulai sebuah pertemanan dengan Demas?

Shapa menghela samar, menatap lawan bicaranya datar, dan berkata, "Jadi temennya aja, gak akan ngerugiin lo juga kok."

"Yakin lo? Kenapa bisa yakin?"

"Karena dia sodara gue. Gue aja bisa jadi sahabat lo, masa sodara gue sendiri gak bisa?"

Meyes bergeming, entah apa yang harus dia katakan sekarang. Kehidupannya terasa rumit, tapi juga membosankan. Terkadang dia juga ingin memiliki pasangan seperti orang lain, seperti Shapa yang suka memamerkan gebetan barunya yang terkesan lucu, dan sangat perhatian. Akan tetapi Meyes juga merasa tidak membutuhkan itu.

"Mey, berat banget ya?"

"Ha? Apanya?"

"Nerima demas?" ucap Shapa dengan mata yang memicing.

"Ahaha! Engga, gue tuh butuh orang karena kesepian doang, bukan karena cinta atau punya perasaan yang sama. Gue gak mau mainin hati cowok cuman demi kesenangan pribadi, gak mau!"


Load failed, please RETRY

Un nuevo capítulo llegará pronto Escribe una reseña

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C21
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión