Saat waktu menunjukkan pukul 10 pagi, Alexa baru saja keluar dari ruang rapat bersama para karyawan lainnya. Dia berjalan santai menyusuri koridor dalam gedung perusahaan yang bernuansa monokrom sambil mengobrol dengan salah satu karyawan wanita yang bernama Lisa.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Ada yang mengatakan kemarin kamu sempat tercebur ke dalam kolam hingga tidak sadarkan diri?" tanya Lisa yang merupakan seorang gadis berambut panjang berwajah Asia. Dia mengenakan dress sebatas lutut berwarna cream dipadu dengan atasan berwarna putih dan blazer merah marun serta membiarkan rambutnya tergerai indah.
"Iya memang seperti itu tapi sekarang aku sudah merasa lebih baik," jawab Alexa dengan tersenyum mengingat kejadian kemarin dan tadi malam yang sangat manis hingga tidak mudah lenyap dari ingatannya. Melvin mulai menjadi hantu yang selalu membayanginya.
Lisa melirik Alexa yang terlihat lebih ceria dan terlihat rona kemerahan di wajahnya. "Apa yang membuatmu merasa lebih baik? Apa sudah ada yang singgah di hatimu?" tanyanya.
"Eh, tidak. Aku hanya merasa lega karena bisa kembali bekerja," jawab Alexa dengan tersenyum hangat.
"Hem, rupanya kamu masih saja menyembunyikan segala sesuatu tentang asmara dalam hidupmu. Baiklah, aku tidak akan memaksa karena sebenarnya cinta itu penuh kepalsuan," ucap Lisa kemudian berhenti berjalan karena sudah tiba di ruang kerjanya. "Sampai jumpa nanti siang."
Alexa hanya mengangguk sambil tersenyum dan melanjutkan langkahnya menuju ruangannya yang berada di lantai lain berdekatan dengan ruangan Siska. Dia berjalan menyusuri koridor menuju lift dengan tatapan kosong karena teringat pada perkataan Lisa yang menyinggung tentang cinta.
'Benarkah cinta itu penuh kepalsuan? Dan apa mungkin yang terjadi antara Aku dan Melvin itu hanya akan menjadi sebuah kepalsuan yang menyisakan sebuah rasa sakit?' batinnya bertanya-tanya hingga dia tiba di depan lift kemudian segera masuk,menekan tombol menuju lantai sepuluh di mana ruangannya berada dekat dengan ruangan Siska.
Dreettt ... Drettt ...
Terdengar dering ponsel dari dalam saku dress yang dikenakannya. Alexa segera merogoh saku itu, meraih ponselnya dan melihat ada panggilan masuk dari nomor tidak dikenal kemudian segera menjawabnya.
"Hallo, dengan siapa?" tanyanya saat sudah terhubung dengan penelepon.
"Astaga. Apa kamu tidak menyimpan nomor kontak ku?" tanya seorang pria dari telepon terdengar marah.
Alexa mengerutkan keningnya seolah sudah memahami suara di balik telepon itu. "Melvin."
"Ya aku Melvin, pacarmu! Kenapa kamu tidak menyimpan nomor ku?"
Alexa tersenyum malu-malu menggigit bibir bagian bawahnya sendiri, namun entah pada siapa dia malu. "Maaf. Aku belum sempat menyimpan nomor mu. Nanti akan aku simpan."
"Ya, itu harus karena aku adalah pacarmu."
Alexa kembali tersenyum merona hingga lift terbuka dan beberapa orang yang akan bergantian memasuki lift menatapinya karena dia masih saja tersenyum. Dia pun menundukkan kepalanya dan segera keluar dengan perasaan canggung dan malu.
"Hallo, Alexa ... Hallo!" Melvin kembali bersuara lagi dan terdengar agak lantang.
"Hallo, Melvin. Maaf... Aku agak sibuk karena baru saja keluar dari ruang rapat dan akan kembali ke ruangan ku." sahut Alexa sambil berjalan menyusuri koridor menuju ruangannya.
"Hem, ruangan mu pasti dekat dengan ruangan Bu Siska. Nanti aku akan menghampiri mu setelah aku meeting dengannya."
Alexa berhenti sejenak dan membayangkan akan dihampiri oleh Melvin di dalam kantor itu, dan membayangkan apa mungkin orang-orang akan berasumsi bahwa dia dan pria itu berpacaran, atau malah ...
"Aku ingin mereka tau kamu adalah pacarku. Jadi, tidak akan ada yang berani semena-mena padamu karena imbasnya akan sangat fatal," ucap Melvin yang malah akan mengakui Alexa sebagai pacar.
Seketika Alexa merona hingga salah tingkah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan memperlambat langkahnya."Kamu tidak perlu begitu. Aku cukup nyaman bekerja di sini dan tidak ada yang bersikap semena-mena padaku."
"Ya .. aku hanya berjaga-jaga saja karena aku tidak suka sikap bullying. Sekarang aku akan berangkat ke sana. Sampai jumpa lagi."
"Ya ... Hati-hati."
Sambungan telepon itupun terputus. Alexa menghela napas, kemudian mengantongi ponselnya kembali. Dia terdiam membayangkan wajah tampan Melvin yang sebentar lagi akan dilihatnya, merasa penasaran apa yang akan dilakukan olehnya, bagaimana tentang respon Siska dan karyawan lain terutama Lisa. Ugh, mungkinkah mereka akan syok?
"Alexa," panggil Siska yang baru keluar dari lift khusus untuk bos.
Alexa menoleh menatap Siska yang menghampirinya. Dia menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskan perlahan, seolah mempersiapkan diri untuk menghadapi bos nya yang cerewet, bahkan sudah memiliki rencana untuk berbicara secara pribadi dengannya.
"Ikut ke ruangan saya sekarang. Kita harus bicara sebelum saya ada pertemuan dengan tuan Melvin," ucap Siska dengan tatapan datar. Wanita angkuh itu mengenakan dress berwarna hitam dipadu dengan atasan berwarna biru dan menjepit sebagian rambutnya ke belakang. Tampak anggun, tapi sifatnya sangat tidak mencerminkan penampilannya.
Alexa berjalan mengikuti Siska hingga tiba di ruangan yang bernuansa sepadan dengan suasana luar yaitu nuansa monokrom. Dia duduk di kursi jok berwarna hitam sementara Siska duduk di kursi direktur berwarna hitam.
"Saya to the point saja. Saya akan memotong gajimu 80 persen," ucap Siska dengan ketus.
"80 persen?" Mata Alexa terbelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ya. Itu supaya hutangmu cepat lunas dan kamu berhenti bekerja di perusahaan ini," jelas Siska kemudian mengambil sebuah dokumen. Dia segera menyerahkan dokumen itu kepada Alexa.
Alexa terdiam menunduk membaca dokumen itu. Dalam dokumen itu tercantum sebuah pernyataan bahwa jika Alexa resign atau kabur sebelum hutang lunas, maka Siska berhak mengambil sertifikat rumah orangtuanya yang ada di Jogja.
"Bu Siska. Ini tidak masuk akal dan sangat keterlaluan!" ucap Alexa dengan kesal.
"Sudah ketentuan saya sebagai pemilik perusahaan ini. Kamu tidak akan bisa mengelak," sahut Siska dengan tersenyum licik.
Alexa terdiam dengan napasnya yang memburu karena kesal, lelah, ditindas dam benci. Ingin rasanya menampar wajah cantik yang angkuh di hadapannya itu namun dia tidak bisa melakukannya karena hanya akan menambah masalah.
"Kenapa anda melakukan ini pada saya? Saya sudah bekerja dengan baik selama ini ... gaji dipotong sebanyak itu, lalu dari mana saya bisa bertahan hidup di kota yang serba membayar ini?" Alexa bertanya dengan mata berkaca-kaca.
"Karena kamu menyebalkan. Kamu sudah membuat saya malu di hadapan Tuan Melvin, dan temanmu juga sudah berani melawan saya di tempat umum hingga suami saya sangat marah!" Siska menjelaskan sambil mengingat kejadian di mal kemarin.
"Itu terjadi karena anda yang memulai. Dan teman saya hanya melakukan apa yang dia rasa benar. Dan seharusnya anda tidak mencampurkan masalah hutang ini dengan masalah teman saya," ucap Alexa dengan air matanya yang menetes begitu saja. Bukan tanpa alasan dia menangis, karena nyatanya dia akan sangat bingung jika hanya mendapat gaji 20 persen. Dia tidak akan bisa mengirimkan uang kepada orangtuanya, tidak bisa menyewa kontrakan baru karena dia juga tidak nyaman tinggal di apartemen Gea yang nyatanya adalah apartemen Bastian.