Terbiasa lahir dengan rupa mempesona, otak yang luar biasa, dan harta yang lebih dari sekedarnya, nyatanya tidak membuatnya menjadi anak wanita manja yang hanya bergantung pada orangtua.
Dia juga melakukan perjuangan dengan caranya sendiri. Berjuang untuk mendapatkan nilai tertinggi, menjadi lulusan terbaik, dan terjun ke perusahaan keluarga begitu dirinya lulus tanpa ada penolakan ataupun pembangkangan. Hidupnya memang sudah diatur dan dirancang oleh para orangtua. Dan kalian pikir, menuruti semua keinginan mereka adalah hal yang mudah? Tidak sama sekali. Menekan ego itu bukan main susahnya. Apalagi memimpin perusahaan bukanlah passionnya walau dia bekerja dengan baik di dalamnya.
"Regina!" panggilan itu membuat wanita dengan rambut diikat satu dan kacamata yang membingkai wajahnya itu mendongak seketika. Dia beralih dari berkas-berkas laporan keuangan perusahaan dan menemukan pria dengan setelah jas licin membalut tubuhnya.
"Seharusnya kamu duduk diam di ruanganmu dan bekerja dengan baik, bukannya keluyuran seperti ini, Dik." Pria itu mengangkat bahu cuek.
"Aku tak perlu bekerja terlalu giat, Kak. Santai-santai seperti ini saja aku sudah mendapatkan posisiku sekarang, kok."
Pria itu menatap kakak perempuannya dengan tatapan malas. "Lagian, Kak. Untuk apa, sih, bekerja sekeras itu? Kamu masih setakut itu sama perintah Papa? Ya Tuhan, berapa usiamu? Bersikap sesukamu itu wajar, Kak. Tidak selalu menurut dan jadi anak baik itu wajar."
Gina mendecih mendengar ceramah adiknya yang menurutku tidak penting dan hanya omong kosong itu. "Kalau kamu ke sini hanya untuk membual, lebih baik pergi saja. Aku sibuk."
"Lihat 'kan? Kamu selalu begini. Selalu lurus dan serius. Tidak pernah menikmati hidup. Membosankan sekali," keluh pria itu membuat Gina kembali menunduk menatap berkas di tanganku dan mencoba mengabaikannya.
"Pintu di sebelah sana, silahkan keluar."
"Tunggu saja sampai kamu dinikahkan paksa dan posisimu kugeser, Kak."
"Jangan bermimpi!"
...
"Papa kira sudah saatnya kamu berkeluarga, Sayang." malam itu, Regina tengah duduk di ruang keluarga bersama Gunawan —ayahnya. Dia pikir saat ayahnya bilang mau membicarakan sesuatu, itu hanya tentang perusahaan dan hal-hal terkait bisnis yang mereka kelola. Rupanya tidak. Regina salah memperkirakan.
"Papa sudah ada calon untukmu, Gina. Anak pemilik Kingdom Grup, namanya Prabu Adhinatha Wijaya. Anak pertama, sama sepertimu. Tapi Papa yakin meskipun kalian sama-sama anak pertama, kalian akan menjadi pasangan paling keren yang pernah ada. Satunya pimpinan Kingdom Grup satunya pimpinan Atmaja Grup. Keren bukan?"
Regina hanya tersenyum tipis.
'Jadi ini saatnya.' ucapnya dalam hati.
"Kapan aku bisa bertemu dengannya, Pa?"
Gunawan menatap putrinya antusias. "Kamu sangat bersemangat untuk ini, ya, Sayang?"
Tersenyum kecut, "bukankah aku memang dilahirkan untuk patuh akan segala rancangan para orangtua?"
Kalimat yang entah bagaimana terdengar menusuk itu membuat Gunawan menatap sendu putrinya. "Kamu jelas tau, bukan? Ini demi kebaikanmu. Kami tidak mau kamu salah pilih."
"Tentu saja, Pa. Aku tau itu. Papa selalu ingin yang terbaik untukku." Meskipun ... entah aku menginginkannya atau tidak, kamu tak peduli.
"Jadi, kapan kami bisa bertemu?" tanya Regina lagi.
Adisty, wanita paruh baya dengan kecantikan paripurna itu datang dengan secangkir teh bunga krisan. Diangsurkannya teh itu pada Gunawan —suaminya. "Serius sekali, sedang bahas apa?" tanya wanita itu menginterupsi Gunawan yang tengah berpikir.
"Bahas jodoh untuk putri kita."
Adis tampak antusias. Dia duduk di sebelah Gunawan dan menatap Regina dengan tatapan berbinar. "Kamu setuju, 'kan, Sayang?"
Regina mengangguk pelan mencipta senyum yang kian lebar. "Bagus. Pa, segera buat jadwal bertemu dua keluarga. Biar Gina bisa lebih cepat mengenal Adhi."
"Iya, Ma. Sebentar, aku pikirkan dulu hari yang pas."
"Bukankah Papa seharusnya berdiskusi dengan Mas Arya?"
"Kamu benar, Ma. Harusnya aku diskusi dengan calon besan." Gunawan bangkit dari duduknya dan melangkah dengan semangat menuju kamarnya meninggalkan anak dan istrinya yang masih duduk di sofa.
Adisty menangkap raut lesu putrinya walau hanya seperkian detik. Regina langsung terlihat baik-baik saja saat Adisty benar-benar menatap—memperhatikannya. Regina menunjukkan raut palsunya membuat Adisty menatap sendu putrinya.
"Mama tau ... kamu pasti keberatan dengan ini semua, 'kan?"
Regina mengangkat bahu. "Bukan masalah, Ma. Aku terbiasa juga harus menurut keinginan para orangtua, bukan? Lagipula kalau aku keberatan juga tak akan merubah apapun. Jadi untuk apa juga merasa keberatan? Sia-sia." Adisty menghela napas menatap putrinya yang terlihat berusaha sangat keras terlihat biasa saja.
Sejak kejadian itu putrinya memang benar-benar patuh pada kemauan orang tua. Tidak pernah membantah, menurut akan apapun yang orang tuanya inginkan, dan tak pernah menyuarakan keberatan akan apapun. Tidak, sama sekali. Tapi, selain itu ... dia juga jadi amat tertutup akan perasaannya. Tak pernah menunjukkan emosi apapun di depan orangtuanya dan hanya menurut dan menurut.
Adisty rindu putrinya yang penuh ekspresi dan alami, dulu. Adisty rindu putrinya yang bisa membagi segalanya dengan dirinya, apapun itu.
"Nah, akhir pekan ini. Katanya akhir pekan ini mereka punya waktu. Kamu bisa, 'kan, Gina?" Regina mengangguk dengan seulas senyumnya.
"Semua waktuku milikmu, Pa. Atur saja mana yang terbaik."
"Bagus! Kamu memang anak yang sangat penurut, Gina. Papa suka kamu yang begini. Mudah diatur dan tidak neko-neko. Jangan seperti adikmu yang hanya bisa membuat papa sakit kepala, ya?" Tersenyum lagi, Regina mengangguk pelan.
"Aku ke kamar dulu kalau begitu, Pa, Ma. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Selamat malam," pamitnya sebelum bangkit dan meninggalkan ruang keluarga itu.
Adis menatap sendu putrinya sampai mengambaikan suaminya yang sejak tadi bercerita tentang proyek yang akan dia bangun dengan Arya, calon besannya.
Menyadari istrinya sama sekali tak mendengarkan dan menanggapi kalimatnya, Gunawan mendongak guna menatap raut istrinya yang nampak kalut itu. "Kenapa, Ma?" tanya Gunawan membuat Adis menatapnya sendu.
"Regina tampak tak senang dengan perjodohan ini, Pa. Apa kita tetap harus melanjutkannya?"
"Lantas kamu akan membatalkannya begitu saja, Ma?" Gunawan menatap istrinya tak suka.
"Keluarga Arya ini keluarga yang hebat, Ma. Bisnisnya di mana-mana dan maju semua. Kita tak perlu mengkhawatirkannya masa depan putri kita kalau dia menjadi menantu di keluarga Arya itu."
"Aku tau, Pa. Tapi, kita juga bukan keluarga yang berkekurangan. Kita juga kaya dan bisa menjamin kehidupan anak-anak kita, 'kan? Untuk apa mendompleng kekayaan mereka dan mengorbankan anak kita?"
Menghela napas, ditatapnya dalam-dalam istri yang sudah mendampinginya puluhan tahun itu. "Adisty, istriku. Dengar ini. Aku sama sekali tak menjual anak kita kepada keluarga itu. Aku hanya menikahkan putriku dengan pria yang nenurutku terbaik, yang masa depannya terjamin dan sudah jelas seperti apa tanggung jawabnya. Aku melihat putranya Arya itu bukan hanya dari seberapa kaya keluarganya, Ma. Adhi itu ... aku sudah melihat bagaimana cerdas dan bertanggung jawabnya ia mengelola perusahaan." Mengambil jeda demi melihat reaksi istrinya, Gunawan kembali melanjutkan kalimatnya, "Adhi itu anak yang baik. Dari keluarga baik-baik, dan sederajat dengan kita. Ingat kejadian Regina saat SMP dulu, 'kan? Aku tidak mau hal semacam itu terulang lagi."
Adis menatap sendu suaminya itu. Diraihnya tangan yang setiap hari tak pernah absen mengusap kepalanya sayang. "Maaf, Pa. Maaf karena sudah berpikiran buruk tentangmu."
"Aku juga ingin yang terbaik untuk putri kita, Ma. Aku tentu tak ingin putri kita salah pilih."
Adis mengangguk mengerti.
"Aku ingin dia diperlakukan seperti ratu. Aku hanya ingin dia diperlakukan dengan baik seperti ratu. Di tangan orang yang tepat, oleh orang yang tepat. Aku hanya ingin kebahagiaannya."