Dengan ragu, Nada meneguk salivanya dengan susah payah. Ia menatap ke arah tangga, mendongakkan kepala untuk menatap lantai dua rumah tempat kamarnya berada.
Seriusan? Ia harus kembali menginjakkan kaki disana? Entah apa yang akan terjadi padanya. Anak panah itu, teringat sangatlah menyeramkan.
"Ya mau bagaimana lagi memangnya?" tanyanya pada diri sendiri, menaikkan kedua bagunya seolah menegarkan diri dengan apa yang ia katakam sebelumnya.
Entah apa yang menjadi pemicu bagi makhluk di dimensi kaca tersebut. Ia sudah bersusah payah untuk tidak mengeluarkan suara, namun 'mereka' masih saja mengetahui keberadaannya. Belum lagi, ia juga tidak menampakkan diri di depan kaca, namun entah bagaimana caranya 'mereka' juga bisa merasakam kehadiran Nada dengan sangat sempurna.
Menghembuskan saliva, ia belum memiliki kesimpulan tentang semua ini.
Hidup dengan bayang-bayang makhluk hitam menyeramkan, memang tidak bisa membuatnya berdamai dengan kehidupan.
Akhirnya, ia berusaha untuk menguatkan hati dengan hembusan napas yang seolah mengusir perasaan gundah di dalam hatinya.
Satu kaki sudah di langkahkan pada anak tangga pertama, dan tiba-tiba ada tangan yang menahan pergelangan tangannya.
"AAAAAA LEPASIN AKU, JANGAN BUNUH AKU!!!" teriaknya dengan heboh, bahkan sampai memberontak agar tangan tersebut tidak kembali memegangnya.
"Ih kenapa sih kamu? Siapa juga yang mau bunuh si freak, aku berubah pikiran dan ingin menemani kamu."
Mendengar suara bariton membuat tubuh Nada yang memberontak terasa melemas, astaga, ia sangat memalukan! Dengan gaya yang kembali sok cool sambil berdehem, ia pun mengembalikan perilakunya sambil memutar tubuh untuk menatap sang lawan bicara.
Dalam hati bersyukur karena pada akhirnya Alex ternyata ingin ikut bersamanya. "Kenapa tiba-tiba mau ikut aku?" tanyanya, bertanya lebih dulu.
Alex melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan Nada, lalu menaikkan kedua bahunya. "Di pikir-pikir, rumah kamu lama-lama kalau dinikmatin sendirian itu terasa sangat menyeramkan. Jadi, lebih baik mungkin kita tetap bersisian." jawabnya.
Mungkin terdengar seperti pengecut di saat laki-laki mulai takut dengan sugestinya sendiri, iya kan? namun bukan begitu maksud Alex, ia merasakan hawa berbeda yang membuat pikirannya bercabang. Buluk kuduk-nya pun merinding, ia merasa kalau ini bukan merinding biasa yang di menit selanjutnya akan menghilang.
Nada menganggukkan kepala. Ia yang bernotabene sang pemilik rumah saja dapat merasakan hal itu, mungkin ia harus mengatakan pada sang ayah mengenai pindah rumah lagi.
"Tapi kamu jangan macem-macem, ya." ucapnya yang memperingati. Ya namanya juga mereka lawan jenis yang hanya berduaan di dalam rumah yang lumayan besar, kewaspadaan tetap harus menjadi nomor satu.
Alex menatap Nada dengan sorot mata yang aneh, setelah itu tampak dirinya memutar kedua bola mata. "Macem-macem sama lo? Ih ada-ada aja lo ah," balasnya dengan malas. Lalu ia malah mempercepat langkah sampai pada akhirnya sudah menghentikan langkah kaki di depan pintu yang ada nama 'Nada' di sana.
"Kok gak masuk? Langsung masuk aja, Lex."
"Ini kamar punya mu, gak sopan kalau aku masuk duluan ke kamar sana."
Nada hanya menganggukkan kepala, sebenarnya ia merasa tak masalah jika Alex ingin masuk ke kamarnya lebih dulu. Ia sudah sampai, berdiri di depan laki-laki tersebut. Tangannya meraih knop pintu, lalu memutarnya.
Hawa dingin nan menyeramkan langsung menyerang seluruh indra yang berada di tubuh Nada. Terlihat di jendela kamar, kalau ternyata udara di luar sana menjadi sangat mendung.
"Lah kok mau hujan sih? Perasaan tadi terang," komentar Alex yang juga ternyata melihat ke arah jendela kamar Nada yang tertutup namun tirai-nya terbuka.
Nada membuka pintu lebar-lebar, lebih dulu masuk ke kamar dengan Alex yang mengekor.
"Ini kamar kamu? Enak banget hawa-nya, nyaman." Alex berjalan ke arah kasur, lalu duduk di tepian setelah itu malah membaringkan tubuh di sana. Hanya setengah tubuh atasnya saja yang berada di atas kasur, sisa pinggang ke kaki di biarkan begitu saja tertekuk sebagai sanggahan di lantai.
Nada tidak mempedulikan hal itu.
"Duh, dimana ponsel ku?" gumamnya yang mengacak-acak nakas samping kasur —karena biasanya ia menaruh ponsel disini—, namun tidak terlihat benda pipih yang sedaritadi ia cari. "Masa iya gak ada? Toh tadi kan keluar kamar lari-larian gak sempet juga beresin perkakas di kamar mandi, boro-boro inget ponsel."
Mendengar ocehan Nada yang samar-samar membuat Alex mengangkat sebelah alisnya dengan heran. "Kenapa sih, freak?" tanyanya sambil mengubah posisi tiduran menjadi duduk.
Nada menggelengkan kepala, ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Alex. Ia berjalan ke arah meja rias, yang tentunya di sana terdapat kaca cukup besar supaya ia puas saat berdandan menatap wajahnya —namun sejak tau di kaca ada kehidupan lain, ia tidak akan pernah lagi bercermin jika tidak ada seseorang di dekatnya—.
Sebenarnya, ia takut. Namun karena mikir ada Alex, ia menjadi berusaha untuk merasa biasa saja.
Di cari-cari, juga tidak terdapat ponselnya pada meja rias.
"Its over there.."
Deg
Jantung Nada terasa memompa lebih cepat dari pada sebelumnya. Kini, posisinya memang menunduk dengan tubuh yang secara terang-terangan berhadapan dengan cermin.
Perasaannya menjadi tidak tenang, namun ia masih mendengar berbagai macam ocehan Alex yang mengeluh tentang pajangan foto di kamarnya yang tengah berkomentar betapa culun-nya ia kala dulu.
Dengan perlahan, perasaannya pun was-was. Kepala Nada dengan perlahan terangkat, untuk menatap ke cermin.
Dan…. Perempuan itu di sana. Tengah tersenyum lebar ke arahnya.
Nada tersentak, buru-buru memundurkan langkahnya yang tentu menjadi sorotan bagi Alex.
"Kamu kenapa? Kok kaget sama pantulan sendiri di cermin?" tanya Alex dengan sebelah alis yang terangkat. Menurutnya, Nada sangat aneh.
Mendengar itu, Nada tidak percaya kalau Alex tidak bisa melihat apa yang saat ini ia lihat.
Seorang perempuan, bergaun cantik yang sudah sobek-sobek lebih parah jika dibandingkan dengan sebelumnya.
"I know your thoughts, he can't see me because he's not 'our' target."
Nada meneguk saliva, lalu kedua matanya melihat ternyata ponselnya tergeletak di meja kecil yang memang di satukan dengan meja rias.
'Duh kenapa ponsel ku ada di sana? Aku tidak mengingatnya kapan menaruh di sana.' batin Nada.
Alex menghampiri Nada yang terlihat… aneh? Ya, mungkin memang perempuan satu itu selau aneh. Ia menghentikan langkah di samping Nada yang masih menatap pantulan cermin. "Emangnya kamu gak pernah ngaca? Kok kaget banget kayak gitu?" tanyanya. Mungkin, ia saat ini merasa kalau perempuan di sampingnya memiliki berjuta teka-teki yang seharusnya dipecahkan.
Nada merasakan ada bulir peluh di dahi, pertanda kalau ia ketakutan. "Kamu gak lihat apapun di cermin?" bisiknya.
Alex melihat ke cermin, sekarang hanya ada pantulan tubuhnya dan tubuh Nada. "Ngeliat, ada kita."
Tapi, yang Nada lihat saat ini bukanlah pantulan mereka, melainkan…
"Run." kata perempuan menyeramkan di kaca itu.
Setelah itu, Nada melihat sosok menyeramkan seperti iblis yang langsung menikam punggung perempuan tersebut dengan sebilah pisau.
"AAAAAAAAAAA!" jeritan perempuan itu terdengar sangat sempurna.
Nada melihatnya, melihat secara jelas pembunuhan sadis di depan mata. Ia menutup mulut, menahan diri agar tidak menangis.
"Tolong ambilkan ponsel ku di meja sana,"
Setelah itu, ia lebih memilih untuk memundurkan langkah, bersembunyi di balik gantungan baju di belakang pintu supaya sosok menyeramkan itu tidak melihat keberadaannya.
Alex yang tidak mengerti apapun hanya menurut sambil menganggukkan kepala, berjalan dengan santai ke sana. Melakukan permintaan Nada yang entah mengapa bertingkah seperti itu.
Nada pun hanya melihat Alex dari jauh. Kalau bukan karena takut dengan ibu tiri-nya, ia tidak akan bela-belain untuk mengambil ponsel di sarang kematian.
Dalam benak Nada, ia berpikir-pikir. Apa ini adalah maksud dari buku Halaman C yang beberapa menit lalu dirinya baca sebelum mengundang Alex ke rumahnya?
Mengenai, Alex bukanlah target 'mereka' yang dalam artian laki-laki tersebut tidak masuk ke dalam list. Jadi, sudah pasti Alex tidak bisa melihat apa yang Nada lihat.
Disini, hanya ada satu target yang 'mereka' tuju.
…
Next chapter