Descargar la aplicación
100% DEWASA / Chapter 11: Episode 10 Panutan

Capítulo 11: Episode 10 Panutan

Nadira mengusap wajahnya mengakhiri do'a. Ia langsung menyadari kehadiran Ica yang sedang berdiri di dekatnya seketika saat ia hendak beranjak. Ia melambaikan tangannya dan tersenyum lebar pada Ica. Wajahnya berseri – seri dan terlihat begitu ceria. Ica begitu gugup dan hanya meresponnya dengan sedikit membungkuk dan tersenyum sungkan. Di dalam hati, ia melompak kegirangan seperti penggemar fanatik yang bertemu selebritis idolanya untuk pertama kalinya. Kali ini tidak Anna bersamanya, syukurlah.

"Hai, Aisyah ! Bagus banget ini kita ketemu lagi di Mesjid !", sapa Nadira. Suaranya begitu feminim dan bersemangat.

"Hai juga, Kak Nadira !", balas Ica. "Iya nih, kak. Aku juga nggak nyangka bisa ketemu kakak di sini".

"Minggu lalu kita ketemuannya di Kantin, yah. Sorry, waktu itu situasinya malah jadi jelek", Nadira menyayangkan.

"Gapapa, kak. Wajar aja kok waktu itu Kak Anna sampe begitu. Dia ada benernya juga", Ica memaklumi.

Bagaimanapun Nadira adalah sahabat Anna. Ia harus pandai pandai memilih kata – kata yang tepat.

"Gimana pun Anna ngga pantes dong ngomong gitu ! Dia —"

"Kak. Kita lupain aja hari itu, yah ? ", sela Ica dengan santun.

Nadira terdiam dan membatalkan semua kata – kata yang hendak diucapkannya tentang insiden menyakitkan itu. Ia mengamati wajah Ica selama beberapa detik, lalu memejamkan mata sambil tersenyum. Kemudian, Nadira melepas mukenanya dan melipatnya dengan rapih.

"Alhamdulillah, bagus deh kalo gitu, Syah. Kamu nggak cuma cantik, tapi juga sabar dan besar hati", puji Nadira.

"Kakak bisa aja", respon Ica, tersipu. "Udah seharusnya aku hormatin yang lebih tua, guru dan kakak kelas. Kak Anna termasuk, gimanapun karakternya".

Nadira tersenyum bangga mendengarnya.

"Kamu sendirian ke sini, Syah ?", tanya Nadira.

"Aku kesini berdua sama temen sekelas, kak", jawab Ica.

"Temen cewek atau cowok nih ?", tanya Nadira, usil. Matanya berkedip dengan senyum sumringah mempesona.

Ica gugup mendengar pertanyaan itu. Ia sudah sering mendengar tentang begitu ramahnya Nadira dengan siapapun di sekolah ini. Tapi menjahilinya dengan pertanyaan seperti ini sungguh di luar dugaannya.

"Sama temen cowok sih, kak", jawab Ica, malu – malu.

"Pasti pacarnya, yah ? Cewek cantik kayak kamu pergi sholat dhuha berdua sama cowok pastinya bukan temen biasa ini mah !", sambar Nadira.

Astaga, Nadira benar – benar gadis yang suka berkelakar.

"Eh ?! Bukan kok, kak ! Aku nggak punya pacar ! Dia kebetulan pengen sholat dhuha juga, trus ngajak berangkat ke sini bareng !", pekik Ica dengan pelan.

Nadira tertawa cekikikan melihat reaksinya.

"Ah, aku nggak percaya !", bantah Nadira, masih tertawa. "Kita lanjut ngobrol di teras Mesjid abis kamu selesai sholat, yuk ! Kamu nggak buru – buru balik ke kelas kan ? Kita nggak ngobrol banyak terakhir kali", ajak Nadira.

Ica merasa sungkan, namun menolak ajakan seorang kakak kelas rasanya sungguh mengecewakan. Apalagi yang satu ini bukan sekedar kakak kelas. Ini Nadira, idolanya, panutannya. Kesempatan seperti ini sangat langka.

"Boleh, kak", Ica menyetujui. "Tapi nggak apa – apa nih nunggu aku sholat dhuha dulu ?"

"Ih, santai aja kali, Syah !", Nadira meyakinkan. "Aku tunggu di teras Mesjid, yah ! Kita nggak boleh berisik di sini, nanti dua cowok yang ada di balik tirai pembatas ini keganggu !", pamit Nadira dengan berbisik.

"Dua cowok ? Kakak juga berdua ke sini ?", tanya Ica.

"Iya, Syah. Aku kesini sama pacar. Dia mungkin udah selesai sholat dhuha juga, tapi dia suka lamaan dikit buat do'a, dzikir, sholawat, dan tadarus Al – Qur'an. Dia begitu tiap hari di jam istirahat", jawab Nadira, lalu berjalan keluar.

Ica amat terkesan. Hasanudin Al – Musharaf, pacar Nadira yang ketampanannya berada pada level mitos itu, bukan hanya ksatria sekolah yang elegan, namun juga seorang pemuda yang sholih. Kini Ica tak heran lagi mengapa Hasanudin jarang sekali terlihat di setiap jam istirahat sekolah. Ternyata ia banyak menghabiskan waktu di Mesjid Nurul Jannah ini. Sungguh beruntungnya Nadira.

Selesai menunaikan ibadah sholat dhuha, Ica berdo'a dengan khusyuk. Ia ingin berdo'a yang banyak seperti biasanya, namun ia teringat bahwa Nadira menantinya di teras Mesjid. Ia melepaskan mukenanya, menata kembali rambut indahnya yang panjang nan tebal, lalu bergegas menemui Nadira di teras Mesjid.

"Maaf yah kak kalo aku kelamaan", Ica meminta maaf.

"Ah, nggak apa – apa kok, Syah. Aku juga sholat dhuha plus do'a sehabisnya segitu juga waktunya, nggak lama itu mah", Nadira memaklumi.

Ica sudah sering mendengar dari guru Agama Islam dan orang tuanya bahwa wajah seseorang nampak lebih cerah dan berseri – seri setelah terbasuh air wudhu. Melihat wajah Nadira di hadapannya, Ica akhirnya membuktikannya. Ia menilai bahwa wajah Nadira terlihat lebih cantik dan menyejukkan dibandingkan saat terakhir kali mereka bertemu di Kantin pekan lalu. Rambutnya yang tebal, lembut, dan berwarna hitam begitu berkilau karena basah terkena air wudhu.

Sebagai seorang perempuan, nyaris mustahil untuk tidak mengamati dan menilai penampilan fisik wanita lain, lalu membandingkannya dengan diri sendiri diam – diam. Ica pun tak terkecuali. Ia mengamati penampilan fisik Nadira dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Berbeda dengan Anna, Nadira tidak mengenakan seragam yang ketat, namun juga tidak selonggar Ica. Ia berseragam dengan normal, namun siapapun dapat melihat betapa indahnya postur tubuh Nadira yang langsing dan atletis. Nadira memiliki tinggi badan yang sama dengannya, namun sekilas terlihat lebih tinggi karena berpostur sedikit lebih ramping dibandingkan dengan postur tubuhnya.

"Kamu sering sholat dhuha di sini, Syah ?", tanya Nadira.

"Kadang – kadang aja sih, kak", jawab Ica. "Aku mulai biasain sholat dhuha dari waktu semester dua kelas X. Seminggu di kelas XI ini, aku baru sholat dhuha lima kali. Ini yang ke lima", terangnya.

"Wah, bagus banget tuh, Syah ! Dari kelas X aja kamu udah biasain hal – hal positif ! Nggak banyak loh yang ngelakuin itu", puji Nadira. "Aku salah satunya !", akui Nadira dengan tawa cekikikannya yang sudah dihafal oleh Ica.

"Loh ?! Aku kira kakak malah sering !", tanggap Ica.

Ia mendapati dirinya tak lagi merasa sungkan berbicara dengan Nadira. Ia begitu menikmatinya, seakan – akan seperti berbicara dengan Lia atau Sherin, bahkan Della.

Bahkan lebih . . .

Rasanya seperti berbicara dengan kakak kandungnya sendiri. Mungkin cukup lancang menganggap Nadira seperti kakak kandungnya sendiri sementara ini momen pertama mereka mengobrol dengan kondusif, tapi begitulah yang dirasakan Ica. Ia merasa lepas, namun tetap tau diri.

Nadira begitu pandai memulai percakapan dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Bahkan saat pertama kali mengenal Della saat Masa Orientasi Siswa – Siswi Baru keakrabannya tidak secepat ini, seingat Ica.

"Kadang – kadang juga, kok. Tapi pastinya nggak sebanyak kamu, Syah. Semenjak aku dilantik jadi Ketua OSIS tahun lalu, aku jarang punya waktu buat ngapa – ngapain di waktu istirahat. Aku punya banyak tugas di OSIS waktu itu. Pas waktu nggak ada tugasnya, baru deh aku bagi waktu main sama temen – temen dan sholat dhuha sama Hasan di sini. Hasan sering ingetin aku buat sholat dhuha kalo sempet, dan itu juga jadi satu – satunya momen interaksi langsung aku sama dia sama dia di sekolah, ngobrol – ngobrol sebentar di teras ini abis sholat", cerita Nadira.

"Kak Hasan bener – bener selalu di sini tiap istirahat, Kak ?", tanya Ica, penasaran. Ia masih tak percaya bahwa siswa seperti Hasan itu benar – benar ada, menghabiskan sebagian besar waktu senggangnya di sekolah di Mesjid yang hanya ramai ketika waktu sholat dzuhur ini.

Nadira menganggukkan kepalanya. "Iya bener, Syah. Bahkan buat belajar aja dia di sini".

"Emangnya Kak Hasan nggak main sama temen – temennya gitu, Kak ? Biasanya kan cowok suka nongkrong di Kantin atau koridor kelas gitu kan di jam istirahat ?", tanya Ica, lagi.

Nadira menggelengkan kepalanya. "Hasan tuh orangnya nggak suka nongkrong – nongkrong. Dia nggak suka bahasan pergaulan anak sekolahan. Sahabatnya aja anak – anak ROHIS juga kayak dia, dan mereka quality timenya di sini. Dia seneng banget diskusi soal wawasan Agama Islam".

Ica makin terkesan. Pemuda dengan paras seperti Hasanudin biasanya merupakan "anak gaul" yang aktif berkeliaran di pergaulan remaja seusianya. Sulit dipercaya bahwa pribadi Hasan sungguh bertolak belakang dengan wujudnya, dan bertolak belakang dengan pribadi Nadira.

"Masya Allah, beruntung banget yah Kak Nadira punya pacar Kak Hasan ! Biasanya cowok begini setia dan penyayang banget kan, Kak ?", puji Ica. Ia sedikit merasa iri.

"Alhamdulillah, Syah. Walaupun keliatannya pendiem dan tertutup, Hasan itu temen ngobrol yang asyik. Dia juga panutan buat aku, ngajarin aku banyak hal yang nggak banyak kepikiran sama anak – anak SMA kayak kita. Aku bersyukur punya pacar kayak dia, dan dia pun ngerasain yang sama. Aku sayang sama dia apa adanya, dan udah dua setengah tahun pacaran aku masih selalu ngerasa kasmaran sama dia kayak masa – masa PDKT dulu", ungkap Nadira. Pipinya berubah warna menjadi merah muda, dan ia tersenyum dengan tersipu malu.

"Wah ! So sweet banget kakak berdua ini sih ! Semoga langgeng terus hubungannya yah, Kak ! Aku ikut seneng dengernya. Aku harap semua yang terbaik buat kalian", tutur Ica. Ia menyadari bahwa dirinya terharu, dan semakin iri.

Kapan gue bisa begitu yah ?

Mungkin suatu saat nanti. Mungkin sebentar lagi . . .

Baru saja Nadira menggerakkan bibirnya untuk membalas, bel tanda selesai jam istirahat sudah berbunyi saja.

"Oi, Ica ! Sorry ya gue lama ! Gue ke toilet dulu tadi !", sahut Kiki dari kejauhan.

Ica dan Nadira menoleh ke arahnya yang muncul dari tempat wudhu pria. Toilet pria kebetulan berada di sebelah tempat wudhu pria. Di saat yang bersamaan, Hasanudin juga muncul dari pintu Mesjid bilik pria.

"Itu temen sekelas kamu, Syah ? Kok aku nggak pernah liat dia yah sejauh ini ?", tanya Nadira, keheranan.

"Dia anak pindahan dari SMA Mahakam, Kak", jawab Ica.

"Oh ! Pantesan kok asing buat aku mukanya. Ngomong – ngomong, dia ganteng juga loh ! Kamu yakin dia bukan pacar kamu, Syah ?", colek Nadira dengan senyum lebar.

Wajah Ica memerah. Jantungnya terasa diremas ketika Nadira menjahilinya dengan pertanyaan itu.

"Bukan kok, Kak ! Beneran deh, aku sama dia cuma temen sekelas aja kok ! Aku juga baru kenal dia seminggu karena dia anak baru !", jerit Ica. Raut wajahnya penuh kepanikan.

"Bukan apa, Ca ?", sahut Kiki. Ica melompat terkejut dan mendengking menyadari kehadirannya di sebelahnya.

"Ih, apaan sih Ki tau – tau nyaut aja ! Nggak sopan juga tau main jebe – jebe (jebe : jb. Singkatan dari join bareng, biasa ditujukan untuk seseorang yang masuk dalam percakapan tanpa diundang) aja di tengah obrolan cewek ! Apalagi ada kakak kelas nih !", tegur Ica dengan nada kesal.

"Gue kan udah nyaut duluan ke lo tadi. Lo nya aja yang keasyikan ngobrol jadinya ngga nyadar kalo gue lagi jalan ke sini", bantah Kiki dengan santai.

"Gapapa tau, Syah. Dia emang udah nyaut ke lo kan tadi, tapi ngga sempet lo respon", bela Nadira dengan ramah.

Ica melirik Kiki dengan wajah cemberut, dan Kiki dengan santainya hanya merespon dengan mengangkat kedua bahunya dan memasang wajah yang mengejek.

"Maaf kalo gue asal nyaut aja di tengah obrolan kalian, yah", ujar Kiki. "Pagi, Kak Nadira. Salam kenal, gue Kiki, Kak", lanjut Kiki, memperkenalkan dirinya pada Nadira.

"Salam kenal juga yah, Kiki", balas Nadira dengan ramah dan sedikit mengangguk untuk menggantikan jabat tangan. "Sekalian juga kalian kenalan dulu nih sama cowok gue, Hasan. Hasanudin Al - Musharaf", lanjut Ica, mengarahkan pandangannya pada Hasanudin yang berdiri tidak jauh dari Kiki.

"Salam kenal, Bang. Nama gue Kiki. Usman Rizki Sunarto, Bang. Kebetulan kita ketemu di Mesjid tadi", Kiki memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya untuk mengajak Hasanudin berjabat tangan.

"Salam kenal juga", respon Hasanudin menjabat tangan Kiki dengan senyum yang samar.

Entah hanya perasaannya saja, Ica menilai gerak – gerik Kiki saat berkenalan dengan Hasan seperti seseorang yang sudah pernah bertemu sebelumnya.

Kemudian Hasanudin menoleh Ke Ica.

Pertama kali semenjak pertama mendengar nama Hasanudin ketika duduk di kelas X, Ica akhirnya benar – benar berhadapan langsung dengan sosoknya. Bahkan walaupun baru saja ia mendengar Nadira bercerita sedikit tentang pacarnya itu, Hasanudin tetap mampu menyihir Ica hingga berdiri membeku. Tak heran jika begitu banyak siswi di SMA Cijantung membicarakan tentangnya, bahkan beberapa di antaranya terang – terangan mendambakannya, begitulah yang ia dengar dari gossip pergaulan sekolah.

Hasanudin menatap Ica dengan ekspresi datar dan sorot mata dingin yang menusuk, namun bagi Ica itu lebih terasa mempesona daripada menakutkan. Rambut berombaknya yang pendek berwarna cokelat seperti gula merah membuat Ica berpikir bahkan dirinya pun tidak layak dinilai cantik jika dibandingkan dengan pria muda ini. Kornea matanya yang berwarna cokelat keemasan berpupil kecil terlihat nyaris berwarna kuning menyala di bawah sinar matahari. Kulitnya yang berwarna putih bersih membuatnya terlihat seperti bangsawan keturunan Arab – Eropa. Hasan lebih tinggi daripada Kiki, membuat Ica merasa kerdil.

Manusia seperti ini seharusnya berada di negri dongeng.

"Salam kenal yah, Kak. Nama aku Aisyah . . . Aisyah Widya Fadillah", sapa Ica memperkenalkan dirinya dengan menundukkan kepala. Lebih lama lagi menatap matanya akan membuatnya kehilangan kesadaran, pasti.

"Salam kenal juga", respon Hasanudin, lalu membungkukkan badannya sedikit.

Ica berdecak kagum. Seperti Nadira, Hasanudin juga tidak bertinggi hati untuk memberikan penghormatan pada seorang adik kelas seperti dirinya dan Kiki.

"Nah, kan sekarang akhirnya kita udah pada kenal semua nih. Sabtu ini boleh lah kita makan bareng di Yamin 94 !", cetus Nadira.

"Ide bagus tuh, Kak ! Di sana mie yaminnya enak banget !", respon Kiki kegirangan.

"Kalo kamu ada waktu kan Sabtu minggu ini, Ca ?", tanya Nadira, menoleh ke Ica. "Setau aku, ekskul Mading suka kumpul hari Sabtu di sekolah. Kita bisa barengan deh dari sekolah ke sana".

Ica tampak gugup, namun kali ini gugup karena bingung harus bagaimana mengekspresikan kegembiraannya se normal mungkin. Rasanya seperti mimpi.

"Aku . . . aku bisa ikut kok, Kak", jawab Ica.

"Yeay !", sorak Nadira dengan girang sambil memegangi pipinya sendiri.

"Kamu juga bisa kan, sayang ?", tanya Nadira pada Hasanudin dengan kedipan mata yang genit.

Hasanudin merespon dengan mengangguk pelan, matanya terpejam dan tersenyum.

"Oke deh, semuanya bisa ikut Sabtu nanti. Alhamdulillah", tutup Nadira. "Oh iya ! Kalian berdua rumahnya pada di mana nih ngomong – ngomong ? Kalo deket kan siapa tau kita bisa sering – sering main bareng. Kalo ada waktu", tanya Nadira pada Kiki dan Ica.

"Gue tinggal di belakang RSUD Pasar Rebo, Kak", jawab Kiki. "Masuk jalan di sebelah pintu masuknya".

"Aku rumahnya di sebelah Studio Musik Fifty Nine, Kak. Di belakang sekolah berarti", jawab Ica.

"Wah ! Pada deket – deket rumahnya, yah ! Terutama kamu Ca, deket banget !", komentar Nadira, terkesan.

"Alhamdulillah, Kak. Jadinya aku bisa jalan kaki aja buat pergi – pulang sekolah", tanggap Ica.

"Oiya, kalian ada Facebook atau Twitter nggak ?", tanya Nadira. "Kalo ada, aku add friend di Facebook dan aku follow di Twitter, yah ?".

"Gue ada kak dua – duanya. Nama akunnya nama lengkap gue ya, Kak. Usman Rizki Sunarto", jawab Kiki.

"Okey, nanti gue liat yah, Ki", balas Nadira. "Kalo Aisyah gimana ?", tanya Nadira pada Ica.

"Aku juga ada, Kak. Facebook sama Twitter. Nama akunnya Aisyah Widya Fadillah yah, Kak", jawab Ica.

"Okey, makasih yah, Kiki dan Aisyah!", tutur Nadira. "Aisyah biasa dipanggilnya apa nih sama temen – temennya ?". tanya Nadira, lagi.

"Aku biasa dipanggilnya Ica, Kak", jawab Ica.

"Okey. Mulai sekarang, aku panggil kamu Ica, yah ?", cetus Nadira berseri – seri.

"Iya, Kak. Gapapa kok", respon Ica dengan malu – malu.

"Guru – guru udah pada jalan ke kelas", tutur Hasan tiba – tiba. Suaranya berat dan dalam, namun lembut.

"Yuk ! Kita balik ke kelas masing – masing !", ajak Nadira.

"Yok, semuanya !", seru Kiki.

Ica dan Kiki berjalan di belakang Nadira dan Hasanudin. Mata Ica tiba – tiba memergoki tangan kanan Nadira perlahan menggenggam tangan Hasanudin. Hasanudin tidak menolak gestur penuh kasih sayang itu. Ica senyum – senyum sendiri melihatnya. Di depannya sedang berjalan kedua sosok kakak kelas panutan, sosok pasangan yang dewasa di matanya. Keduanya merupakan pasangan dengan wujud yang indah, memiliki pribadi yang mulia, dan di atas semua, mereka saling mencintai dengan tulus terlepas dari sifat dan kehidupan sosial mereka yang jauh berbeda. Bagi Ica, mereka adalah panutan sempurna.

"Lo kenapa dah senyum – senyum sendiri gitu, Ca ?", celetuk Kiki, mengejutkannya. "Lo suka sama Bang Hasan ?"

Ica menatapnya dengan mata melotot dan mulut menganga.

"Ngaco lo, ih ! Masa gue suka sama cowok yang udah punya pacar ?!, desis Ica. "Ada – ada aja lo, Ki !"

"Ya kirain. Abisnya lo liat mereka berdua di depan sambil senyum – senyum sendiri gitu", balas Kiki dengan nada yang tunduk. "Lo ngomel – ngomel mulu ke gue dah !"

"Abisnya lo nyebelin banget sih dari tadi !", semprot Ica.

Kiki tertawa puas melihat wajah Ica yang cemberut.

Ica mendengar Nadira tertawa cekikikan dan berbisik kepada Hasanudin, "mereka ini lucu banget yah, yang ?". Ica kembali tersenyum diam – diam. Ia begitu menikmati momen – momen berbincang dengan Nadira, Kiki, dan Hasanudin di teras Mesjid tadi.

Nadira tiba – tiba berhenti dan berbalik menghadap mereka.

"Kalian kelasnya dimana nih ?", tanya Nadira.

"Kita di XI-IPS 1, Kak", jawab Ica.

"Oh ! Berarti kita pisah di sini, yah ! Kelas aku, XII-IPA 3 ke arah sana, kalo kelasnya Hasan, XII-IPA 2, sebelahan sama kelas aku", terang Nadira sambil menunjuk ke arah yang ia sebutkan. "Bye, Ica dan Kiki !", pamit Nadira, melambaikan tangannya.

"Bye juga, Kak !", balas Ica dan Kiki dengan kompak.

Nadira berlari menyusul Hasan yang terus berjalan. Ica dan Kiki pun melanjutkan perjalanan mereka kembali ke kelas.

Tiba – tiba, Kiki berhenti dan menoleh ke arah tiang gawang Lapangan Basket yang ada di dekat Koperasi Sekolah.

"Ki ? Ada apa ?", tanya Ica, penasaran.

Kiki tidak menjawab. Ica mendekat untuk melihat wajahnya.

"Kiki ? Lo gapapa kan ?", tanya Ica sekali lagi. Ia menoleh ke arah pandangan Kiki. Di sana hanya beberapa siswa berlalu.

"Eh ? Sorry, Ca. Gue gapapa. Yok, lanjut", respon Kiki.

Ica penasaran dengan apa yang menghentikan langkah Kiki dan mengalihkan pandangannya. Ia menyadari Kiki tampak sangat serius saat memandang ke arah sana.


Load failed, please RETRY

Un nuevo capítulo llegará pronto Escribe una reseña

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C11
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión