Descargar la aplicación
3.07% Kisah Putri SANG KIAI / Chapter 7: Tamu

Capítulo 7: Tamu

Flashback off

Tiga Minggu Yang Lalu.

Mentari menyongsong hari teriknya menerobos sampai masuk menyinari para Santri putra datang waktu dhuha. Di desa Sukorejo, ada sebuah pesantren yang cukup banyak santri.

Pengasuh berpegang teguh pada Ahlussunnah dan juga masih santri dari Kiai Rembang yang sudah fenomenal Yaitu Almarhum Mbah Yai Maimun Zubair, pondoknya tidak terlalu besar, hanya lima asrama, tiga gedung diniah dan lima angkring.

Pagi itu Sang Kiai masih membacakan Kitab Kuning Ihya' Ulummuddin, kitab yang paling terkenal di kalangan Santri, di pertengahan mengaji Beliau memanggil putranya yang ke terakhir dari tiga bersaudara.

"Sofil..." panggil Kiai kepada putra bandelnya.

"Afwan(maaf) Yai sedang tidur," ujar salah satu santri memberi tau Kiainya dengan tawadu' sopan.

"Astagfirullah..., bangunkan le! Kalian semua adalah anakku, aku yang sudah tua begini masih semangat dan istiqomah, jadi kalian harus lebih semangatnya ketimbang Abahmu ini! Ya..." Yai mulai menasehati para santri. "Jangan pernah meniru kelakuan Sofil walau dia putraku. Mencontoh yang baik-baik saja, bukan berarti anak Kiai harus di hormati sepenuhnya, boleh menghormati tapi lihat adabnya, bangunkan dia, guyur pakai air, jika marah katakan aku yang menyuruhnya, cepat!" tegur Kiai sangat tegas agar santri tidak takut dengan putranya dan tidak meniru kelakuan putranya.

"Kiai ada anak beda agama masuk ke pesantren," ucap salah satu santri datang dengan kabar hangat.

"Dimana?" tanya Yai lalu berdiri.

"Di halaman Masjid Yai," ungkap salah satu santrinya yang berjalan dibelakangnya.

"Tunggu ini bulan suci Ramadhan. Jadi dari kalian jangan sampai terpancing keadaan, Allah tidak melarang kita berhubungan dengan siapapun asal baik. Dalam QS Al Hujurat ayat 10 disebutkan,orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Apa makna dari ayat ini? bahwa semua orang di bumi ini adalah saudara. Tidak peduli agamanya apa, atau budayanya seperti apa, memperbaiki sebuah hubungan sangat dianjurkan.

Dalam ayat 11 ditegaskan lagi, hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim," dawuhnya memberi siraman hangat kepada para Santri, agar salung menghargai diBumi Indonesia.

"Dari dua ayat ini saja, jelas sekali maksudnya. Hormat menghormati sangat dianjurkan dalam ajaran agama. Apalagi dalam kondisi di bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Hormat menghormati menjadi sikap yang wajib dilakukan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Nah ... Di bulan yang penuh berkah ini, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, tentu saja mayoritas penduduk Indonesia sedang melakukan puasa. Karena itu pula, perlu kiranya yang non muslim menghormati yang muslim. Namun, yang muslim juga tetap harus menghormati kelompok non muslim. Islam juga agama yang toleran. Sekali lagi, mari kita saling menghargai, baik yang sedang menjalankan ibadah puasa ataupun yang tidak menjalankan. Dalam Al Hujurat ayat 13 disebutkan. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui," lanjutnya.

Kiai melangkah memakai bangkiak, melihat pemuda sedang terpengaruh minuman keras.

"Astagfirullah ..." Kiai sangat terkejut melihat kondisi dari pemuda itu.

"Hai ... Sofil, bayar hutang mu ..." teriak pemuda mabuk itu, Kiai Fattah hanya menggelengkan kepala. Para santri dibelakangnya saling bertatapan dan sangat terkejut.

"MasyaAllah, jadi ini perbuatan Sofil?" gumamnya masih terkejut. "Hai anak muda, apa Sofil habis minum denganmu? Berapa tegukan yang diminum?"

"Banyak Yai," jawab pemuda itu gleyoran lalu duduk. Kiai Fattah juga duduk diteras madin pondok.

"Dia melakukan apa lagi selain mabuk?" tanya Kiai dengan mata berkaca-kaca dan hati memberontak penuh dengan lafadz Allah terus berderu dilupuk hatinya, deru napasnya tidak beraturan.

"Dia tidak melakukan apa-apa, ha ha ha dasar bodoh, dia masih takut dosa, padahal kesempatan gadisnya seksi-seksi dan murah, tapi putra anda memang bodoh dia dapat mencegah zina, walau dia sangat ingin, dasar bodoh ha ha ha," ucapan pemuda yang tidak alam kondisi sadar itu terus mengolek Sofil.

"Ya Allah ... Alhamdulillah," Kiai merasa lega karna putranya tidak melakukan perbuatan zina, "Aku harus segera merubahnya," gumam Kiai berdiri, "Hadi, bawa dia pergi, kasih beberapa uang bayarkan hutang Sofil," ujar Kiai kemudian melangkah pergi, beliau terpaksa menghentikan sejenak rutinitasnya karna keadaan ini.

Langkah cepat menuju kamar santri yang ditempati Sang putra. Pemuda tampan dalam keadaan setengah sadar karna minuman keras itu sudah berdiri dan sudah berjalan ke kamar mandi, dia putra Kiai berkulit bersih putih, dan berkarismatik walaupun dia pemabuk berat, dia masih dapat mengkontrol emosi saat berada dengan gadis seksi.

Seperti biasa jika seorang Kiai hadir para santri merunduk menunjukkan adab sopan.

"Setelah ini mengaji lagi jangan kalian meniru kelakuan Sofil yang seperti hewan itu," titah Kiai, seberat apapun masalah dalam kehidupan Kiai Fattah sangat disiplin tekun, tegas. Para santri meninggalkan Kiai.

Deru napas panjang berkali-kali terhembus dari Abah tiga anak ini. Beliau kepayahan mengurus putra terakhirnya. "Ya Allah buka hati putraku ini, hamba merasa gagal, Ya Allah ..."

***

Kiai masih menunggu putranya, Sofil keluar dari kamar mandi dan merunduk malu melihat Abahnya yang menantinya dari tadi.

"Kamu malu sama Abah?" tanya Kiai, Sofil meneguk ludah dan merunduk berjalan ke Abahnya, sampai menabrak. Kiai akan jatuh karna srudukan dari putranya. Sofil mendekap Kiai dan Kiai Fattah berdiri tegap. Beliau meneguk ludah.

"Astagfirullah, kapan taubat sebelum tutuk usia, Atagfirullah ..." ucapnya mengelus dada mengendalikan diri dari kemarahan. "Kenapa merunduk?" tanya Kiai dengan nada tinggi, Sofil menaikan wajah.

"Malu Bah, berarti masih ada iman kan? Katanya malu sebagian dari iman?" putra satunya ini benar-nenar nyolot. Kiai geram akan bicara dari putranya, namun beliau ingat jika harus sabar menghadapi pemuda yang masih labil dan memang harus telaten saat menuntun ke jalan taubat.

"Malunya sama Abah atau sama Sang pemilik hidup, yaitu Allah, Sofil Abah masih sabar kali ini jika kamu mengulangi kelakuanmu ini,abah akan menyerah dan mengusirmu. Ingat, yang kamu lakukan adalah dosa besar, abah melihat barang haram itu sudah bergetar karna melihat kobaran api yang menyala-nyala. Takut dan malulah kepada Allah yang selalu mengawasimu," tegur Sang Kiai, lalu berjalan kearah Masjid.

Beliau mulai membacakan kitab Ihya' Ulumuddin kepada para santri, Sofil datang dengan takwa putih dan sarung hitam, ia duduk bersama santri yang lain, dan ikut serta memaknai kitab tersebut. Sejenak berhenti melihat putranya.

"Anak-anakku ini nasihat pula bagi kalian. Para ulama suluk telah memberikan perhatian yang besar terhadap masalah taubat dan mereka semua telah berbicara tentang hal ini. Tentang hakikatnya, rukunnya dan syarat-syaratnya. Seperti Abu Al Qasim al Junaid, Abu Sulaiman ad-Darani, Dzun Nun al Mishri, Rabi'ah Al Adawiah. Ingat para anak-anakku yang sangat aku cinta, Allah Maha Pemaaf yang luas, jadi ketika kalian sadar akan dosa besar yang baru saja kalian lakukan segeralah bertaubat kepada Nya. Kapan waktu taubat itu? Kapanpun. Yang penting ya bersungguh-sungguh jangan gleca-glece, ingat Sofil, taubat yang sempurna adalah tidak melakukan perbuatan itu lagi. Para santri kalian tidak boleh juga berprasangka buruk, kalian ingat kepada sahabat Nabi Muhammad SAW yang bernama Nuaiman, sahabat pemabuk berat, cerita itu sudah tidak asingkan?"

"Enggeh Yai ..." jawab serempak para Santri.

"Selagi ada niatan dalam hati untuk taubat, makan mari kita dukung jangan membully bahasa tren sekarang ini, Jadi kamu Sofil segera bertaubat? Selagi ada waktu, karna siapapun manusia tidak tau berapa panjang umurnya, saya diamanati Allah agar menjaga kamu putraku, namun semua kembali kepada kamu sendiri, Abah ngomel marah tapi kamu tetap tidak ada niatan untuk berubah untuk dirimu sendiri, maka percuma Abah ngomong panjang lebar, Abah hanya mendoakan mu putraku, lihatlah Mas, dan Mbak mu, Fatih dan Husna, mereka menjadi kebanggaan Abah dan Umi, dan tidak mengecewakan kami, Santri-santri yang lain pula, yang berprestasi dibidangnya, Abah bangga, jika kamu ingin Abah bangga kepadamu kamu harus berjuang dijalan yang benar, Sofil, MasyaAllah... Kamu dari tadi tidur, Astaghfirullah ...." bicara panjang lebar penuh pituah, tidak ada respon dari putranya Kiai hanya menggeleng-ngelengkan kepalanya sambil terus beristigfar.

Kiai membalahkan terjemah Jawa kepada para santri. Setelah satu jam beliau menyudahi pengajian rutin itu. Beliau mengajak santri untuk melaksanakan solat dhuha.

Waktu berlalu dengan sangat cepat, Kiai merasa sesak dengan kelakuan dari putranya, ia kedatangan tamu dari Pasuruan Jawa Timur.

"Assalamualaikum Kiai ..." sapa hangat dari pria gagah dengan raut mimik muka yang ceria. Yang langsung mengecup punggung tangan Kiai Fattah, dan berpelukan,

"Wa'alaikkummusalam, Alhamdulillah gus Nuril, Yai Ihwan, Nduk Bilqis, mari-mari," Kiai Fattah dan Kiai Dillah berpelukan, keduanya melangkah sambil bergurau ringan menanyakan kabar masing-masing, mereka masuk dan mulai bercengkrama.

"Mari-mari silahkan duduk, Bu ada tamu dari Pasuruan," ajak Kiai kedalam rumah sederhana miliknya. Lalu memanggil sang istri.

Ruangan tidak terlalu luas hanya berdiameter lima kali lima meter menjadi tempat perbincangan mereka.

"Alhamdulillah bagaimana kabarnya Gus Nuril?" tanya Yai Fattah kepada putra Kiai Ihwan.

"Alhamdulillah baik, sambil minta restu barokah doa," ujar Nuril merunduk.

"Hendak melaksanakan sunnah Rosul yaitu pernikahan," imbuhnya,

"Alhamdulillah ..." syukur Kiai Fattah, "Lain kali kalau kemari jangan bulan Romadhon Yai, la Nduk Bilqis kapan menyusul Masnya?" tanya Kiai Fattah tertuju kepada gadis manis putri Kiai Ihwan, yang terlihat malu.

"Banyak putra Kiai yang melamar, namun saya belum menemukan petunjuk yang tepat, siapa tau juga bisa berjodoh dengan Fatih,"

"Abah," panggil Bilqis merasa malu, mereka menertawakan Bilqis.

"Nanti bisa diadakan ta'aruf, siapa tau jodoh saya juga bahagia dapat berbesanan dengan Kiai, seminggu lagi Fatih akan pulang, namun hanya cuti belum sepenuhnya, masih kurang delapan bulan lagi kuliahnya selesai. Pernikahannya Gus Nuril kapan?"

"Sepuluh hari lagi Yai, IngsyaAllah," jawab Nuril cepat.

"Alhamdulillah ..."

"Assalamualaikum ..." ucapan dari wanita dengan hijab syar'i keluar dari tirai,beliau adalah istri dari Kiai Fattah.

"Wa'alaikumsalam, Umi Salamah ..." jawab serempak dari dua anak Kai Ihwan. Bilqis segera mendekat dan sungkem kepada Bu Nyai. Peluk hangat dari seorang ibu tiga anak,beluai memeluk Bilqis, Bilqis sudah lama tidak merasakan pelukan karna Uminya telah meninggal dunia empat tahun lalu, pelukan itu terlepas Umi Salamah menggenggam tangan Bilqis dan merangkul pundaknya.

"Bagaimana kabarmu Nduk? Sudah seesai studinya?" dua pertanyaan sudah diajukan.

"Alhamdulillah tinggal skripsi Umi ... IngsyaAllah tiga bulan lagi selesai dan wisuda," tutur lembut dari gadis berhijab ungu itu.

"Alhamdulillah ... Semoga sukses dan bisa mengejar cita-cita,"

"Aamiiin,"

"Ada niatan mentaa'rufkan Fatih dan Bilqis, bagaimana Bu setuju?" tanya Kiai Fattah,sangat mengejutkan gadis bermata indah itu,gadis itu hanya merunduk dengan diiringi perayaan kembang api didalam hatinya, ia merasa dingin panas, tangannya berkeringat.

"Alhamdulillah semoga dapat berjodoh Aamiiin," ujar Umi Salamah mengumbar senyum bahagia sambil memandang gadis didepannya penuh harap agar putranya dapat berjodoh dengan gadis yang duduk simpuh dihadapannya, semakin salah tingkah gadis itu, ia merasa tegang dan canggung.

"Aamiiin ya robbal a'lamin ..." ucap Kiai Ihwan mengusap wajah dan sama berharapnya, Bilqis melirik ke Abahnya.

"Yai dimana Gus Sofil?" tanya Gus Nuril.

"Ada paling tidur, heh ..., lelah rasanya, namun ya harus sabar, inginku dia dapat beristiqomah, tapi ya bagaimana lagi," keluh Kiai Fattah tidak sepenuhnya membuka aib sang putra, karna kebandelan putranya sudah menjadi rahasia umum dikalangan pesantren lain.

"IngsyaAllah suatu saat nanti hatinya terbuka dan dapat mengerjakan kebaikan dengan hati yang Lillah, yakin Yai," ujar Kiai Ihwan, Kiai Fattah mengangguk.

"Aamiin Ya Allah, entah kenapa beda sendiri dari yang lain, sangat berbeda dengan Fatih, mau terlalu kasar sudah capek, ditegur pelan malah asik tidur, MasyaAllah ..." keluh Kiai Fatah membuat tawa.

"Sebentar lagi Yai, IngsyaAllah," ujar Kiai Ihwan menyikapi nantinya Sofil bagaimana kedapannya.

"Yai, saya dulu lebih parah, ya semoga Gus Sofil segera taubat. Doa Yai dan Bu Nyai yang ampuh untuk mengatasi ini," ujar Gus Nuril.

"Alhamdulillah cukup silaturrokhimnya, kami sekeluarga pamit, Kiai ampon kesupen datang diwalimahan kulo," pinta Gus Nuril sambil pamit dan berdiri. Mereka berjabat tangan berpelukan lalu berjalan ke tempat parkir.

Sungguh sangat cepat, keluarga Kiai Ihwan masuk mobil. Kiai dan Umi berdiri mengantar dari depan rumah. Senyuman dan ucapan salam sebelum meninggalkan Pondok itu.

"Asaalamualaikum ..."

"Wa'alaikummusalam."

Bersambung.


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C7
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión