"Kita mau kemana?" tanya Ayla yang bingung saat melihat Abian sibuk membereskan beberapa helai baju miliknya.
Tidak terlalu banyak memang, hanya beberapa saja. Tapi tampak seperti orang yang akan menginap lumayan jauh.
"Mau ke rumah papa," jawab Abian tanpa menoleh.
"Ke rumah papa?" Ayla mengerutkan kening.
Pergerakan Abian terhenti. "Iya, tadi papa Angga menelpon, katanya nyuruh kita nginep di rumah mama untuk beberapa hari," kata Abian kemudian.
Ayla, wanita yang masih mengenakan piyama berwarna pastel itu terlihat kebingungan. Sementara Abian tidak begitu menghiraukan kebingungan wanita itu, ia terus melanjutkan kegiatannya memasukkan pakaian ke dalam koper kecil.
"Tunggu!" Abian terdiam saat Ayla tiba-tiba memegang tangan kanannya yang tadi sibuk bergerak ke sana kemari.
"Nelpon? Kapan papa nelpon kamu?" tanya Ayla.
Abian cuma mengangguk. "Papa dapet nomor kamu dari mana? Aku aja gak punya," ucap Ayla.
Abian segera melepaskan tangannya dari genggaman Ayla. Ia terlihat gugup. Tentu saja dia dapat nomor papa mertua, karena sebelum mereka pindah rumah, Abian dan Angga—papa Ayla sudah bertukaran nomor ponsel kemarin. Jadi tidak sulit bagi mereka untuk saling berhubungan.
"Udah, itu gak penting. Ayo kita berangkat, mama pasti udah nungguin," ucap Abian seraya melangkah keluar kamar sambil membawa koper kecil berisi pakaian mereka.
"Tunggu, aku belum ganti baju," sela Ayla.
"Udah gak usah ganti baju, pake itu aja udah cantik kok," celetuk Abian tanpa sadar.
Sontak hal itu pun membuat pipi Ayla memanas. Ia tersenyum kikuk. Abian tak mau ketahuan malu karena sudah memuji istrinya itu, langsung nyelonong pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Sedangkan Ayla malah menangkup kedua belah pipinya dengan tangan. Senyum tipis mengukir wajah cantiknya. Sungguh kebahagiaan yang sederhana. Di puji cantik saja Ayla sudah ingin terbang, bagaimana jika dia sudah kena rayuan maut pak ustadz itu? Hm ... Mungkin akan lebih bahagia.
Mereka sampai di rumah kediaman keluarga Anggara Bova pada jam makan siang tiba. Rani dan Angga menyambut gembira kedatangan Abian. Menantu kesayangan mereka itu di perlakukan dengan sangat baik.
Bik Kokom juga menghormati Abian layaknya Angga dan Rani. Pelayanan yang Abian dapatkan sangat istimewa. Terutama Angga yang terlihat sangat senang dangan menantu dadakannya itu. Terbukti selama makan siang, Angga selalu mengajak Abian ngobrol tanpa jeda. Abian jadi lebih banyak bicara saat itu ketimbang saat sedang berdua dengan Ayla.
Ayla sempat cemburu dengan itu. Orang tuanya memperlakukan Abian seperti raja, sedangkan anak sendiri di abaikan. Katanya mereka senang pada Abian karena dia laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan juga sopan. Terutama setelah tau Abian anak pesantren, Angga makin sayang pada Abian.
"Gak nyesel Papa nikahin kamu sama Ayla, kamu menantu idaman," ucap Angga di sela-sela makan siang.
Abian cuma senyum-senyum seperti biasanya. Sok polos, padahal seneng juga. Selesai makan siang, Abian naik ke atas menuju kamarnya.
Ayla masih di bawah, katanya ingin mengobrol dulu dengan mamanya. Abian memutuskan untuk menikmati susana komplek perumahan elit yang berbaris di sekitar rumah mewah Angga. Rumah-rumah disini memang mewah, dan bisa di pastikan juga kalau pemiliknya pasti orang berada.
Dering handphone seketika mengalihkan perhatian Abian. Ayah, senang sekali mendapat telepon dari sang ayah. Abian dengan segera mengangkat panggilan itu.
[Halo, assalamu'alaikum, Yah!]
[Waalaikumsalam, kamu gimana kabarnya?]
[Alhamdulillah, baik, Yah. Ayah gimana kabarnya?]
[Baik.]
Abian tersenyum mendengar jawaban dari Budi—ayahnya. Mendengar suara lelaki itu, membuat Abian menjadi lebih bersemangat. Seperti ada tenaga baru yang masuk ke tubuhnya.
[Ayah nelpon ada apa?]
[Gak apa-apa, cuma kangen aja. Habis kamu, teh gak pernah nelpon.]
[Ya maaf, Yah. Abian teh sibuk ngurusin kebun teh.]
Abian mengerutkan kening saat ayahnya diam. Di sebrang telepon tidak ada lagi suara sang ayah. Membuat Abian bingung.
[Yah, kok diem?]
[Ah, anu ... Bibik kamu mau ngomong.]
Bibik yang di maksud tentunya Renata, si ibu tiri yang begitu membencinya. Abian yang tak mau terlihat menghindari sang bibik, hanya bisa meng-iyakan ucapan ayah tercinta.
[Halo, Bik?]
[Heh, Abian! Kamu tu ya, baru dua minggu jadi menantu di sana udah sombong, kenapa kamu gak pernah ke sini lagi?! Yang ngurus rumah siapa?!]
Abian sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar omelan bibiknya. Baru juga bicara, sudah bikin telinga panas.
[Sejak kamu pergi, rumah ini gak ada yang rawat! Saya gak mau tau, pokoknya besok kamu harus ke sini buat bersihin rumah!]
[Tap—]
Belum sempat Abian menjawab, sambungan telepon sudah terputus secara sepihak. Hah, apa lagi yang akan di lakukan bibiknya itu, tapi ya sudah lah. Dari pada ribut berkepanjangan, lebih baik Abian menurut.
Lagi pula, ia juga kangen dengan suasana rumah. Kangen dengan ayah tepatnya. Soal bibiknya, paling hanya kangen di omeli atau di bentak saja.
Malam tiba, tidak banyak peristiwa penting yang terjadi. Selesai makan malam, Abian dan Ayla lekas masuk ke kamar. Kalau bukan karena permintaan mama Rani, Abian tidak mungkin mau tidur satu ranjang dengan Ayla. Trauma nya masih membekas.
Untung saja ia sudah sedia obat tidur, jadi dia tidak terlalu lama membuka mata. Beberapa menit setelah minum obat, Abian langsung tertidur.
Di pagi hari, Ayla terbangun dan merasakan ada sesuatu yang berat menimpa di perutnya. Setelah menoleh ke samping, ternyata itu adalah Abian yang masih tertidur pulas dengan tangan yang berada di atas perutnya. Itu juga karena Abian tidak sadar, kalau saja dia sadar, pasti sudah pingsan.
Ayla meringis saat mengingat kejadian tadi malam. Tidak di sangka, Abian mau menuruti kemauannya. Ya, ia yang meminta Abian untuk mengelus perutnya sampai ia tertidur pulas. Jika saja bukan karena pengaruh obat tidur, pasti Ayla bisa menikmati elusan lembut Abian sampai tertidur. Tapi sayang, malah Abian yang tidur duluan.
Ayla memandangi wajah tegas Abian. Ya ampun, rasanya ia ingin sembunyi saja mengingat kejadian tadi malam. Pelan-pelan Ayla memindahkan tangan Abian ke atas kasur. Ia kasihan melihat Abian yang selalu bekerja mengurus rumah dan kebun setiap hari. Wajahnya tampak lelah sekali.
Ayla turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia berniat untuk membuatkan sarapan untuk Abian.
Abian terbangun saat mendengar pintu terbuka. Ayla baru saja keluar. Melihat cahaya matahari pagi yang menyelinap masuk, membuat Abian terlonjak dan langsung bangun. Dia kesiangan. Jam berapa ini?
Ya Allah, jam 7 pagi. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, Abian ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai bebersih, ia turun dengan pakaian santai, baju kaos dan celana trening panjang.
"Pagi suami! Sarapan, yuk!" sapa Ayla ramah.
Deg! Jantung Abian terlonjak mendengar kata 'suami'. Benarkah ini Ayla? Dia membuatkan sarapan? Meski hanya roti panggang, tapi itu sudah cukup membuat Abian merasa di hormati.
"Mama sama papa mana?" tanya Abian.
"Mama nganter papa ke bandara, kan papa mau ke luar kota."
Abian cuma mengangguk pelan. "Bik Kokom mana?" tanya Abian lagi.
"Ke pasar," jawab Ayla singkat.
Oke, jadi mereka cuma berdua. Sial! Apa mama dan papa sengaja membuatkan mereka berduaan di rumah seperti ini. Membuat suasana canggung kembali menyeruak.
Abian makan dalam diam. Ayla juga ikut sarapan dan duduk di sebelah suaminya. Abian tampak kikuk saat terus di perhatikan oleh Ayla, rasanya seperti di awasi kamera CCTV.
"Makasih sarapannya, aku mau ke rumah ayah dulu," pamit Abian.
"Aku ikut!"
Abian yang baru saja melangkah ke tangga untuk mengambil kunci motornya di kamar, kini kembali berbalik. Ia melihat Ayla dengan sebelah alisnya yang mengangkat ke atas.
"Jangan, kamu di rumah aja," larang Abian.
"Kamu suami aku. Kemanapun kamu pergi, aku harus ikut," ucap Ayla tegas, pertanda ia tidak mau ada penolakan.
"Tap—"
"Aku ikut."
Dan akhirnya Abian lagi-lagi tidak berani menolak keinginan Ayla. Mereka bersiap dan langsung berangkat menuju rumah kediaman keluarga Hartono