Descargar la aplicación
10.76% Tirai Penghalang / Chapter 24: Si Kibo Bakal Disate

Capítulo 24: Si Kibo Bakal Disate

"Kapan lakunya kalo gitu?" timpal Steaven menahan tawa. "Kan lebih enak disate aja, Beh?"

"Eeeh, bacot lu," dengus Babeh Djaja.

"Aye setuju, Beh," sambung Jong. "Om Ali pan jago bikin Sate Padang, ape lagi, Beh? Hajarrr…"

Kembali Steaven, Jong, dan Akhirali yang mendengar hal itu jadi tertawa. Kesal, Babeh Djaja melempar Jong dengan kerak sisa-sisa gorengan dari atas piring di hadapannya.

Jong mengelak sembari memperagakan gerak silat Betawi yang ia kuasai.

"Ouh…" Babeh Djaja menganguk-angguk sembari menyeringai. "Boleh tahan jugak elu ye!"

"Hajar, Beh!" ujar Steaven mengompori pria tua tersebut.

"Aah, kagak perlu," kata Babeh Djaja, kembali meraih gelas di hadapannya, dan mereguk cairan hitam pekat di dalam gelas tersebut. "Gue tiup aje, mental elu pade."

"Eits…" Jong kembali menggerak-gerakkan kedua tangannya layaknya dalam jurus-jurus silat. "Minum boba makannye oncom tahu."

"Cakep!" sahut Steaven yang semakin merasakan geli di perutnya.

"Belum dicoba siape nyang tahu?"

"Hajaaar…!" teriak Steaven yang jadi seru sendiri.

"Si Iyem digiring ke jalan layang," balas Babeh Djaja dengan pantunya pula.

"Cakep!" sahut Steaven dan Jong berbarengan.

"Lu diem ato nih piring bakal melayang."

"Oops…"

Jong dan Steaven kembali tertawa-tawa, begitu juga dengan Akhirali di sudut sana. Babeh Djaja juga sama, tersenyum-senyum geli sendiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Akhirali kembali mendekati mereka bertiga sambil menenteng segelas kopi dan segelas es teh manis. Memberikannya pada masing-masing pemuda tersebut.

"Sekali-kali," Akhirali duduk di sebelah kanan Jong, "turuti kemauan mereka, kan gak ada salahnya, Bang?"

"Tuuh, Beh," Jong tersenyum-senyum memandang Babeh Djaja. "Om Ali mau tuh masakin, Beh. Tunggu ape lagi?"

"Boleh," dengus Babeh Djaja dengan sepasang mata melotot. "Elu-elu pade, ye, pakse tuh si Rezqi sengak mau nerime tawaran gue," tunjuknya pada ketiga orang itu. "Baru deh, gue relain si Kibo disate."

"Ouh," Jong menjentikkan jari tangannya. "Gampang itu mah. Ye nggak, Steav?"

"Yoi mamen."

Kembali warung sederhana tersebut dipenuhi gelak tawa dari orang-orang tersebut.

"Assalamualaikum," suara Rezqi memberi salam.

Ada tatapan aneh di mata pemuda itu melihat mereka yang di warung tertawa terbahak-bahak. Apa yang mereka ketawakan?

"Waalaikumsalam," balas mereka serentak dengan menahan tawa sebab orang yang sedang dibicarakan tahu-tahu muncul di tengah-tengah mereka.

"Dari mana lu, men?" tanya Steaven mengerutkan dahi. "Celemongan amat?"

"Biasa," sahut Rezqi tersenyum. "Habis bantuin Pak Saman ama Bang Tohap, benerin dapurnya Abah Malik."

Babeh Djaja terkekeh, lantas menyeruput sisa kopi di dalam gelas. Rezqi bisa menebak itu. Orang tua tersebut pastilah menyindir dirinya lagi. Ia mengangkat kedua bahu dengan senyum tipis saat dua sahabatnya itu memandang padanya.

"Gue mo mandi dulu."

"Sekalian, Rez. Bawain gelas kotor, tuh," pinta sang Paman.

Rezqi mengangguk, dan segera berlalu. Keempat orang di dalam warung tersebut kembali tertawa-tawa begitu Rezqi menghilang ke dalam rumah.

"Dasar orang-orang somplak," gumam Rezqi setengah tak terdengar dalam langkah kakinya yang membawa ia ke arah dapur.

Sepeninggal Rezqi, Babeh Djaja yang merasa ada harapan dengan bersedianya Jong dan Steaven untuk membantunya membujuk Rezqi, pria tua itu ingin melanjutkan ucapannya pada kedua pemuda tersebut, termasuk kepada Akhirali sendiri.

"Denger nih, lu pade," kata Babeh Djaja dengan mimik wajah yang serius. "Gue—"

"Ntar, Beh," sela Jong yang melihat kehadiran seseorang yang sedang mendekati mereka semua. "Ade Haji Rahman tuh."

Semua kepala mengarah ke arah yang sama. Benar. Sosok Haji Rahman sudah berada di depan pintu warung.

"Assalamualaikum," sapa Haji Rahman.

"Waalaikumsalam," jawab mereka berbarengan.

Jong dan Steaven lantas berdiri, menghampiri pria bersahaja dalam balutan baju koko berwarna krem yang dipadu dengan kopiah hitam di atas kepalanya, dan celana dasar berwarna hitam di bagian bawah.

"Pak Haji," sapa kedua pemuda tersebut seraya bergantian menjabat tangan Haji Rahman.

"Jong, Steav," ujar Haji Rahman seraya tersenyum mengangguk-angguk.

"Tumben nih, Bang Haji," kata Akhirali yang sudah berdiri dari duduknya.

"Iye nih," ujar Haji Rahman.

Jong dan Steaven kembali ke tempat mereka duduk sebelumnya.

"Masuk dulu, Bang," tawar Akhirali pula. "Mau minum apa nih?"

"Kagak," jawab Haji Rahman, tatapannya tertuju pada Babeh Djaja.

"Duduk dulu, Ji," ucap Babeh Djaja pula. "Di luar panas gitu, istirahat bentaran kagak ade salahnye."

Haji Rahman hanya tertawa pelan menanggapi. "Sebenernye, ane nyari-nyariin ente, Djaja."

"Ouh," Babeh Djaja mengangguk-angguk.

"Ane cari-cari ampe ke rumah ente, kate si Shari ente mungkin di warungnye si Ali," kata Haji Rahman lagi. "Mangkanye ane dateng nemuin ente dimari. Pasalnye, si Shari udeh telponin ente berkali-kali, tapi kagak dijawab-jawab."

Babeh Djaja terkekeh. "Sorry, Ji," katanya. "Gue lupa bawa hape."

"Beuh…" timpal Jong pula. "Kebiasaan nih Babeh."

Di antara banyak hal, Babeh Djaja memang sering meninggalkan ponselnya di kamarnya sendiri, bukan karena lupa, memang satu kesengajaan saja bagi Babeh Djaja sendiri. Ia merasa, dengan selalu membawa ponsel ke sana kemari, hanya akan menghambat langkahnya saja. Membuat ia melupakan hal-hal penting yang ingin dikerjakan sebab 'candu' yang ada pada ponsel itu sendiri.

"Ade urusan ape, Ji?" tanya Babeh Djaja.

"Ini," kata Haji Rahman pula. "Ade temen ane, katenye, die butuh beberape kilo ikan buat kenduriannye die. Ntu mangkanye ane nyariin ente, Djaja. Ape ikan-ikan di empang ente udeh bisa dipanen?"

"Naah…" Babeh Djaja berseru cukup kencang, membuat kaget Jong dan Steaven di sana. "Ape gue bilang," katanya kemudian.

"Lu kenape, Djaja?" tanya Haji Rahman yang sedikit keheranan melihat tingkah sahabat masa kecilnya itu.

"Ape lagi kalo bukan si Rezqi," jawab Babeh Djaja. "Lu, lu lihatkan?" tunjuknya pada Jong, Steaven, dan Akhirali sendiri. "Empang gue itu menghasilkan. Kenape jugak tuh anak kagak mau gue tawarin ngelola tuh empang?"

"Ouhh…" angguk Jong, Steaven, dan Akhirali, juga Haji Rahman yang sangat mengerti ke mana arah ucapan Babeh Djaja tersebut.

"Syaratnye yang die kagak demen, Beh," kata Jong kemudian.

"Lhaa, itu pan tugas elu bedua." balas Babeh Djaja. "Lu ame Steaven kan udeh janji bakal bantuin gue ngomongin ke tuh anak."

"Iye, iye," Jong tersenyum geleng-geleng kepala. "Tenang aje, Beh."

"Oh iye," ujar Haji Rahman. "Ngomong-ngomong soal si Rezqi," ia memandnag kepada Akhirali. "Gimane keadaannye sekarang? Kemarin si Juna bilang die tabrakan."

"Aah, luka sedikit aja kok, Bang," kata Akhirali pula. "Bengkak di tangan kiri. Udah hampir sembuh ini."

"Tenang aja, Pak Haji," kata Steaven menimpali. "Udah diobatin sama Babeh kemarin."

"Ouh…" Haji Rahman mengangguk-angguk. "Syukur deh. Lu emang pinter soal mengurut."

"Pastinye," kata Babeh Djaja pula dengan tersenyum lebar. "Gue kagak mau calon mantu gue tangannya sengklak."


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C24
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión