"Ada yang kangen nih," kata Kevin. Dahi Nia mengernyit dan kelopak matanya menyipit, penasaran siapa yang merindukan dirinya. "Siapa?"
"Rendi yang kangen Kak Nia~ Kak main ke rumah Rendi yuk." Tiba tiba saja bocah lelaki duduk di samping Kevin. Bibirnya tersenyum lebar hingga pipinya yang chubby terlihat seperti bakpao.
Bibir nia terangkat ke atas membentuk senyuman. Bocah lelaki yang ia temui tempo hari terlihat menggemaskan. Ia tak bisa berhenti tersenyum saat bicara dengannya. Sedih yang ia rasakan beberapa menit lalu menguap begitu saja. Tergantikan dengan bahagia yang melimpah ruah.
"Kak Nia, mau gak kalo main ke rumah Rendi?" tanya Rendi penuh harap. Nia diam sejenak. Ia mau saja main dengan Rendi. Tapi malas sekali kalo harus bertemu Kevin.
"Neng jangan bengong. Hati hati kesambet," ucap Kevin mengejutkan Nia.
"Gimana yah? Kakak mau tapi males ketemu Kak Kevin," jawab Nia. "Tenang Kak. Nanti Kak Kevin, Rendi kunci di kamar biar gak ganggu kita." Nia ketawa pelan mendengar jawaban Rendi. Nakal juga anak kecil ini.
"Hey kamu berani kunciin Kakak?" tanya Kevin. Ia berkacak pinggang dengan wajah cemberut. "Berani dong. Rendi gak takut sama Kakak," sahut Rendi. Bocah chubby itu memeletkan lidahnya, meledek Kevin.
Bibir Kevin tertarik ke samping, memasang seringai. "Jadi gitu. Kalo Kakak gelitikin takut gak?" tanya Kevin lalu menggerakkan jarinya, bersiap menggelitiki adiknya.
"J-jangan Kak." Rendi menjauhkan tubuhnya dari Kevin. Tapi terlambat, tangannya sudah ditahan Kakaknya.
"Rendi gak takut kan? Rasakan ini." Pemuda sipit itu menggelitiki pinggang dan perut adiknya. Gelak tawa keluar melihat reaksi adiknya.
"Hahaha Kak Kevin! Geli~" ujar Rendi yang merasa sekujur tubuhnya geli. Tubuhnya menggeliat kegelian. Tawa keluar dari bibir mungilnya. Tangan kecil itu berusaha menggapai kakaknya. Ia paling tidak tahan digelitiki.
Bibir Nia melengkung membentuk senyuman. Interaksi kakak beradik ini membuat hatinya menghangat. Namun di sisi lain, terselip rasa iri dalam hatinya. Ia membayangkan punya saudara yang akrab yang menemaninya di masa bahagia maupun sulit. Minimal punya orang tua yang harmonis dan menyayangi dirinya dengan tulus.
Ia sendiri tak tahu sampai kapan dapat bertahan. Doakan saja gadis tinggi itu bisa cukup kuat berada di lingkungan keluarga dan pertemanan beracun. Atau doakan ia bisa keluar dari lingkungan tak sehat dan menggapai kebahagiaannya sendiri.
"Nia! Buka pintunya!" panggil seseorang dari luar. Nia menoleh ke arah pintu. Mungkin ayahnya pulang. "Rendi, Kakak buka pintu dulu ya," kata Nia lalu melangkah ke dekat pintu.
Ia membuka pintu kayu itu dan mendapati ayahnya sempoyongan. Bau menyengat tercium oleh hidung Nia. Refleks ia menutup hidungnya agar tak mual.
"Ayah minum lagi?" tanya Nia. Ia menatap dari bawah sampai atas ayahnya. Keadaan ayahnya sangat kacau. Mata merah, rambut berantakan, pipi merona karena darah naik ke pipi, dan kehilangan keseimbangan. Sudah jelas ia mabuk, apalagi tercium bau seperti tape dari tubuhnya.
Adikara tidak menjawab, pria yang memakai jas hitam itu melengos dan duduk di soffa. Manik kelamnya menajam ke arah TV. Ia berdecih saat melihat cuplikan program TV yang dihadiri Sekar dan Duta. "Pelacur itu bersenang senang diluar sana. Sedangkan aku bekerja keras di kantor," umpat Adikara pada Sekar.
Nia mengambil susu dari kulkas dan menaruhnya di meja agak kencang, melampiaskan emosinya. "Dia bukan pelacur. Dia istrimu," ujar Nia tegas. Tawa Adikara menggelegar mendengar sebutan istri. Dia menyeringai dan tangannya terlipat di dada. "Yah sayangnya pelacur itu istriku."
Gadis rambut sepinggang itu mengepalkan tangannya hingga kukunya memutih. Hati kecilnya terluka mendengar ayahnya sendiri menghina ibunya. "Ayah, kenapa kau selalu menghina ibu? Dia istrimu! Ibuku!" teriak Nia. Air mata menggenang di pelupuk matanya, bersiap jatuh.
Adikara berdiri, menatap anaknya yang berdiri di depannya. Ia merunduk untuk mensejajarkan tubuhnya. Manik kelam itu menajam, menelisik wajah putri satu satunya. Nia mundur ke belakang, menjauh dari ayahnya yang semakin mendekat.
"Kau memang mirip ibumu. Aku yakin kau pun akan jadi pelacur sepertinya," ejek Adikara. Dada Nia terasa sakit, seperti ada pisau yang menusuknya. Mungkin memang selama ini ayahnya tak pernah menganggap Nia sebagai anaknya. Bibir merah itu tertawa pelan, menertawakan dirinya yang hina dimata ayahnya.
Adikara kembali duduk sementara Nia berdiri dengan lunglai. Kakinya bak berubah menjadi jeli, sulit diajak berdiri tegak. Ia menopang tubuhnya dengan bersandar pada tembok. Air matanya tak terbendung lagi. Pipinya basah oleh air mata.
"Kalo sikap Ayah seperti ini terus, aku lebih rela penyanyi itu menjadi ayahku. Kamu tak pantas disebut ayah," lirih Nia diselingi isak tangis.
Bola mata Adikara melotot. Alkohol berpengaruh besar pada emosi manusia. Ia yang tempramental ditambah efek alkohol langsung tersulut emosi.
"Plak!" Pria mancung itu menampar pipi Nia. Menimbulkan warna merah di pipi seputih saljunya. Air mata semakin deras mengalir dari pelupuk matanya. Gadis manis itu sesenggukan, sorot matanya menyiratkan kecewa dan kebencian pada sosok yang disebut ayah.
"Nia!" pekik seseorang yang ternyata berasal dari ponsel Nia. Ternyata Nia lupa mematikan telfonnya. Dua laki laki dibalik layar terkejut. Daritadi mereka diam karena tak tahu apa yang terjadi. Tapi mereka tidak bisa diam lagi ketika seorang pria memukul Nia.
Nia terperanjat sadar sambungan telfonnya belum terputus. Harga dirinya hancur berkeping keping karena ada yang melihat kondisinya saat ini. Terlebih lagi orang itu adalah Kevin dan Rendi. Buru buru Nia mematikan telfon dan memasukkan ponselnya ke saku. Sebelum Adikara sadar ada orang lain yang melihat mereka. Namun terlambat, pria tirus itu tahu.
"Kau sengaja ingin membongkar semuanya? Anak tidak tahu diri!" hardik Adikara. Seketika tubuh Nia menegang saat ayahnya melepas gesper.
Tangan besar Adikara memecut kulit anaknya dengan gesper yang terbuat dari kulit tebal. Perih, itu yang dirasakan. Ia ingin melawan tapi tubuh Nia membeku, tak bisa digerakkan. Pecutan demi pecutan menggores kulit mulus itu. Ia memejamkan matanya kuat dan mengigit bibirnya menahan perih.
"Brak!" Suara bantingan pintu terdengar. Wanita dewasa terkejut melihat anaknya yang babak belur. Maniknya memerah melihat anaknya sesenggukan menahan sakit. Ia dengan cepat menarik anaknya dan membawanya kedalam pelukan. Hatinya teriris melihat putrinya disiksa.
"Apa yang kau lakukan? Nia ini anakmu!" bentak Sekar. Ia baru pulang dari program TV dan terkejut ketika mendengar suara teriakan. Terlebih ketima melihat anaknya dipukul.
Ia mengandung selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawa bukan untuk melihat anaknya dipukul. Mentang mentang Adikara tidak hamil dan melahirkan, seenaknya ia menyakiti putrinya.
"Apa? Kau mau melawan juga?" bentak Adikara. Sudut bibirnya terangkat. "Oh iya kau kan punya pacar baru jadi berani melawan," sindir Adikara.
"Plak!" Sekar memberi cap lima jari pada Adikara. Napasnya naik turun setelah melampiaskan emosinya. Matanya berair. Ia menangis karena tuduhan suaminya.
Luka dihati yang selama ini basah semakin melebar. Ucapan dan perilaku Adikara selalu membuat luka yang entah bisa sembuh atau tidak. Sebab luka di hati berbeda dengan luka fisik. Luka fisik bisa diobati dengan mudah sedangkan luka dihati akan memakan waktu lama untuk sembuh bahkan ada kemungkinan luka itu tak kan pernah sembuh.
Tumbuh tanpa kasih sayang orang tua bukan suatu hal yang mudah bagiku, aku dipaksa untuk dewasa lebih cepat, aku dipaksa untuk bisa menanggung beban keluarga ini. Yang hanya kurasakan adalah SAKIT!
Sakit yang tak kunjung sembuh dan membaik