Descargar la aplicación
4.91% Dekat Tak Tergenggam / Chapter 12: Raka Si Pengganggu

Capítulo 12: Raka Si Pengganggu

Mobil sedan hitam milik Raka sudah berada di depan pagar tinggi di rumah Kiya. Kiya masih belum turun, karena mulutnya gatal ingin mengatakan sesuatu sebelum dia masuk ke dalam rumahnya.

"Makasih ya,"

"Untuk?"

"Udah kenalin gue ke anak-anak hebat! Gue sih gak akan keberatan kalau lo ajak gue lagi kesana."

Raka tesenyum ceria menanggapi Kiya yang sangat antusias dengan anak-anak dipanti, seperti Bundanya. Lagi, sosok Kiya mengingatkannya pada Bundanya yang sudah berbahagia di alam lain.

Kiya memandang Raka aneh. Dia tidak ingin membangunkan Raka dari lamunan yang entah sedang memikirkan apa. Kiya mulai membuka pintu mobil dan hendak keluar, tapi Raka refleks menahan tangannya saat lamunannya buyar.

Raka menatap Kiya yang berada disebelahnya, sebelah alisnya terangkat. "Gak mau cium dulu, gitu?" tanyanya sambil menyeringai.

"Gak ada!" Kiya memukul kepala Raka dengan tas yang depegangnnya.

Raka meringis sebelum akhirnya Kiya memilih untuk keluar dari dalam mobil dan membanting pintu mobil dengan kencang, membuat Raka mengelus pelan dadanya.

Sambil berjalan menuju pintu rumahnya, Kiya memikirkan Raka yang sepertinya belum beranjak dari tempat itu. Saat tangannya sudah memegang gagang pintu dan membukanya, Kiya menoleh ke belakang dan mendapati Raka yang masih berada didalam mobilnya dengan senyum yang masih terangkat dikedua pipinya.

Kiya segera masuk kedalam rumah dan menutup pintunya. Suara mesin mobil terdengar, hingga menjauh dan hilang. Tidak sadar Kiya tersenyum memikirkan Raka yang menungguinya sampai masuk ke dalam rumah.

Kiya melirik arloji dipergelangan tangannya yang sudah menunjukan jam sepuluh malam. Kiya berjalan menyusuri anak tangga menuju kamarnya. Kiya berhenti didepan kamar Bima yang terbuka, terdengar suara tawa dan teriakan di dalam membuat Kiya penasaran dan mengintip.

Kiya tersenyum saat melihat Bima yang sedang menghadap ke arah televisi yang menampilkan pertandingan sepak bola, tangannya menggenggam stik play station bersama Doni disebelahnya yang juga melakukan hal yang sama. Kiya senang jika Doni Kakaknya bisa meluangkan waktunya lagi kepada keluarga.

Kiya kembali berjalan ke kamarnya.

"Goooaallll! Handphone baru sudah menanti nih,"

Suara Bima terdengar dan dibalas dengan gelak tawa Doni. Lagi dan lagi Kiya tersenyum tipis saat menyadari bahwa kakak tertuanya masih sama seperti dulu, selalu menawarkan taruhan yang akan merugikan dirinya sendiri, tapi membuat adiknya bahagia.

Kiya membaringkan tubuhnya di kasur saat sudah mengganti bajunya dengan piyama dan mencuci wajahnya. Matanya memandang langit-langit kamar sebelum akhirnya ruhnya terbawa ke alam mimpi.

***

"Jadi lo beneran udah jadian sama Kak Raka?"

Kiya memutar bola matanya malas, sembari meletakkan tasnya di meja nya. Pagi hari ini Riri benar-benar membuatnya jenuh dengan pertanyaan yang tidak harus dijawabnya. Kiya menggeser kursinya agar menghadap ke arah Riri yang masih menatapnya tajam seolah meminta penjelasan karena pembicaraan satu kampus tentang hubungan temannya ini dengan pemilik Universitas tempatnya menuntut ilmu.

"Kiya," panggil Riri gemas dengan tingkah temannya yang enggan membuka suara.

"Lo seharusnya gak usah nanya, Ri, lo tau kan gue gak ada hubungan apapun sama si cowok tengil itu!" ujar Kiya kesal.

"Tapi informasi yang gue dapat dari anak-anak kampus sini itu—" Riri menggantungkan kalimatnya saat melihat seseorang yang berada dibalik tubuh Kiya sembari meletakkan jari telunjuknya didepan bibirnya.

"Informasi apa?" tanya Kiya menyelidik.

Tangan Raka dengan santainya merangkul pundak Kiya dan duduk disebelah cewek itu.

"Informasi kalau kita pacaran."

Kiya terlonjak kaget saat menyadari tangan Raka yang bertengger dipundaknya. "Lepasin!" Raka hanya tertawa menanggapi ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh Kiya. "Raka! Lo gak tuli kan?" lanjutnya.

Riri menggeleng melihat Raka yang selalu membuat Kiya kesal, tapi dia juga sedikit tertawa saat Raka masih usil dan memancing emosi Kiya kembali. Dia sangat tau bahwa Kiya tidak tulus memarahi Raka yang selalu mengganggunya.

"Oke deh aku lepasin." Raka mengangkat tangannya lalu melepaskan rangkulan pada pundak Kiya. Kiya menghembuskan napas lega sekaligus bersyukur.

"Lo itu maunya apa sih?"

"Mau jadi pacar kamu!"

Kiya mengerutkan dahinya lalu jari telunjuknya diletakkan didepan dahinya dan membuat garis miring. "Mimpi mulu lo! Awas nanti gila!"

Raka terbahak. "Aku udah gila karena ditolak kamu terus Ki,"

"Lo tuh yaa—"

"Selamat pagi!"

Suara dosen memotong perkataan Kiya yang hampir memaki cowok yang berada disebelahnya itu. "Raka Candra Winata?"

Mahasiswa di kelas Kiya mengikuti arah pandang dosennya pada cowok disebelah Kiya. Raka membalas tatapan Dosen dan teman-teman Kiya dengan tersenyum tipis.

"Iya saya, pak!"

"Sedang apa kamu disini?"

Raka menatap Kiya lalu berbisik. "Udah tiga hari gak ke panti. Nanti sore temenin aku lagi, ya?" tanyanya. Kiya membalasnya dengan menganggukan kepalanya semangat.

"Raka Candra!" suara Dosen terdengar memperingati Raka agar segera keluar dari kelasnya.

"Iya, pak, tunggu. Saya lagi berbicara sama calon istri saya."

Perkataan Raka mampu membuat satu kelas melongo. Tapi Kiya malah menatapnya tajam dan siap menghujani Raka dengan kata-kata menyakitkan, jika saja Dosen itu tidak berada disini. Raka tersenyum singkat, sebelum akhirnya berlari keluar meninggalkan kelasnya. Dosen pun hanya menggeleng melihat kelakuan putra pemilik Universitas tempatnya mengajar.

"Kumpulkan tugas minggu kemarin!"

***

Raka mengambil ponselnya di dalam tas karena bergetar dan tidak berhenti. Dia menggeser tombol slide answer lalu menundukkan sedikit kepalanya dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Hah? Gue masih ada kelas nih," bisiknya pelan.

Alan mendengar suara Raka yang sedang berbicara dengan seseorang, dia segera menoleh saat mendapati Raka sedang menelpon. Dia menggelengkan kepalanya lalu memerhatikan lagi Dosen yang sedang menjelaskan tugas yang akan dikerjakannya nanti.

Raka berdecak. "Oke, oke, tiga puluh menit gue sampai disana!" Raka memutuskan sambungan telpon dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Dia berdiri dengan tangan kanan yang terangkat ke atas.

"Saya izin ke toilet, pak."

Dosen itu memandangi Raka yang sudah menyampirkan tasnya ke belakang punggung. "Tidak ada yang boleh keluar sebelum saya selesai menjelaskan! Mengerti?" tegasnya.

Raka mendengus kesal seraya memikirkan alasan yang tepat agar dia diijinkan keluar dari kelas. Dia sudah berjanji pada kakaknya, bahwa dia akan menjemputnya karena dia tidak ingin ada orang lain tau tentang kedatangannya ke Indonesia.

Raka menyeringai dan mulai melancarkan aksinya.

"Aduh, gue mau boker disini!" Raka memegang perutnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya, demi mentotalkan aktingnya. "Pak, saya gak kuat nih! Atau saya buang air disini aja?"

Doris selaku Dosen yang sedang menjelaskan didepan sontak menatap Raka dengan ngeri. "Ya sudah sana!" ucap Doris pada akhirnya.

Alan menatap Raka yang keluar dari ruangan dan terdengar suara teriakan kegirangan, dan dia tau bahwa itu adalah suara Raka. Alan terkekeh melihat aksi nekat Raka untuk keluar dari pelajaran guru killer, tapi dia juga penasaran mengapa Raka sampai rela keluar kelas dan mencari-cari alasan untuk mengelabuhi Dosennya.

Sebelum meninggalkan kampus, Raka berniat mengintip ke kelas Kiya. Dia tersenyum tipis saat melihat Kiya yang fokus pada Dosen yang sedang menjelaskan, padahal Riri sesekali menendang kakinya karena dia bosan.

Raka melanjutkan berjalannya saat Kiya sudah benar-benar aman bersama Riri, maksudnya tidak ada yang menggodainya atau berdekatan dengan cowok lain. Dia bingung pada sifatnya yang sekarang protektif kepada Kiya, padahal Kiya bukan siapa-siapanya. Raka meringis saat mengingat bahwa cewek yang disukainya masih enggan membuka hati untuk disinggahi.

Raka sudah mengendarai mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Dia melewati mobil yang berlalu-lalang dijalan raya, sampai akhirnya dia berhenti di depan pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta. Raka keluar dari mobil dan mencari cafe yang berada di sekitar Bandara, seperti yang tadi kakaknya katakan.

Seseorang bertubuh tinggi, mengenakan kemeja ketat yang menunjukkan tubuhnya yang atletis. Dia tersenyum saat matanya menangkap sosok Raka yang sedang celingukan diambang pintu cafe. Cowok itu berjalan mendekat dan berdiri tepat disebelah Raka yang masih belum menyadari kehadirannya.

"Excuse me?"


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C12
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión