Descargar la aplicación
30.64% Menikahi Bening / Chapter 19: Gak Izin!

Capítulo 19: Gak Izin!

Kurang lebih jam 10.45...

Aku terbangun dengan kepala yang terasa berat. Aku mengedarkan pandanganku. Ya, ini kamarku. Aku mencoba mengingat kejadian semalam, rasanya hangover yang menyerang diriku lebih kuat sehingga ingatan semalam hanya muncul samar-samar dalam kepalaku.

Pintu kamar terbuka. Yang muncul ternyata mama. Aku harus siap-siap mendengar ocehan mama pagi ini. Sungguh, aku sedang tak ingin dapat ceramahan dari siapapun!

Cepat-cepat aku menenggelamkan tubuhku di balik selimut.

"Udah mendingan?" tanya mama.

Ternyata apa yang aku pikirkan salah. Mama malah bertanya dengan lembut bahkan ia duduk dan mengelus kepalaku yang terbungkus selimut. "Kalo merasa gak enak badan ato masih pusing, mending gak usah ke kantor dulu aja. Toh, kamu bosnya. Istirahatlah," tuturnya lembut. Ada nada yang bergetar dari bibirnya. Mama seakan ingin menangis.

Aku membuka balutan selimut dari tubuhku lalu menatap mama yang ternyata memang sedang mengerjapkan matanya. Lalu ia tersenyum padaku. "Gimana keadaanmu?" tanyanya.

"Baik," jawabku singkat. Mengapa mama bersedih?

"Ya udah, kamu mau ke air dulu ato mau langsung makan? Bening udah nyiapin semua makanan itu tadi. Tapi masih anget, kok," ujarnya menunjuk makanan yang ada di atas nakas dengan dagunya.

Aku mengedarkan pandanganku. Ah, ya, Istriku! Aku kini mengingat kejadian semalam. Seketika aku merasa panik dan bangun dibantu mama untuk duduk.

"Dia pergi ke toko, 20 menit yang lalu," ucap mama. Seolah tau apa yang aku cari dan hendak aku tanyakan.

"Toko?"

"Ya, tadi dia pamit sama mama untuk pergi ke toko. Katanya ada pesanan yang mendesak," terang mama.

"Ngapain? Hal mendesak apa yang mengharuskan dia pergi ke toko? Kenapa dia gak bilang dulu sama aku? Apa dia lupa kalo dia sudah menikah? Apa dia memang ingin selalu bertemu dengan Bang Iyo-nya itu? Apa penghasilanku gak cukup buat menuhin semua kebutuhannya?" cecarku layaknya anak kecil yang tak terima.

Penghasilan? Kebutuhannya? Apa yang aku katakan barusan? Aku merinding dengan ucapanku sendiri. Seketika aku mendapat tatapan tajam dari mama.

Ya, memangnya apa aku bersikap layaknya sebagai seorang suami untuknya? Apa benar aku menafkahinya? Dan satu hal lagi, apa aku memang mencukupi semua kebutuhannya? Kami memang baru tiga hari menjalani pernikahan ini, tapi sebagai suami harusnya aku bertanggung jawab.

"Biarkan istrimu melakukan aktivitas yang disukainya. Apalagi dia cuma mengurusi suami tua yang gak tau diri seperti kamu. Kamu gak bisa mengekang istrimu yang hanya berdiam diri di rumah dan menunggumu pulang kerja," jelas mama menenangkan sekaligus menusuk jiwa.

Tua? Oh ayolah Ma, apakah aku setua itu sehingga mama sering kali menyebutku pria tua?

"Hubungi istrimu kalo memang kamu gak izinin dia mengelola tokonya. Belum lama juga ia pergi setelah ngurusin suami gak tau diri kayak kamu," sambung mama kemudian beranjak.

"Sebenarnya mama pengen banget ngomelin kamu saat ini. Tapi karena istrimu yang meminta supaya jangan marahin kamu, jadi mama tahan. Dan itu bikin mama kesel sekaligus sedih. Mama tau kamu mungkin belum bisa menerima Bening. Tapi mama minta satu hal, jangan pernah sakiti istrimu. Apalagi semalam kamu udah benar-benar keterlaluan. Sikapmu sangat kekanak-kanakan. Bahkan kamu memuntahi istrimu sendiri."

"Jangan lupa dimakan supnya, setelah itu istirahatlah. Bening pasti senang kalo kamu ngabisin makanannya. Dia juga udah nyiapin obat untukmu dan mengganti perbannya," tutur mama lalu pamit dan menjauh dari pandanganku. Pada akhirnya, mama tetap mengomeliku.

Menghubungi? Ke mana aku harus menghubungi istriku itu? Bahkan nomor ponselnya saja aku tak punya. Benar, suami macam apa aku ini?

Aku melirik pada makanan yang sedari tadi ada di atas nakas. Bening menyiapkan makanan itu untukku. Tapi mengapa ia malah pergi dan meninggalkanku ketika aku sedang tak enak badan begini?

Segera aku menggerakkan tubuhku ini untuk mendekati makanan yang sudah disiapkan itu. Namun rasa kesal membuat aku menolak memakan makanan itu sehingga aku memilih menenggelamkan kembali dalam selimut. Padahal hampir sesiangan ini cahaya matahari dengan teriknya menembus jendela kamar.

Aku memandang telapak tangan yang terbalut perban. Semalam, emosi terkutuk apa yang membuatku semudah itu meremukkan gelas di tanganku? Dan ciuman, serta hasrat itu...

Arrghh...apa yang sudah kulakukan? Rasanya memalukan! Bahkan mama bilang aku bersikap kekanakan dan memuntahinya? Ah, sungguh bagaimana aku menghadapi Bening, nanti?

***

Entah sudah berapa kali Bening melihat waktu yang terpajang di dinding tokonya. Entah sudah berapa kali juga ia melihat ponselnya. Berkali-kali ia mendesahkan nafasnya.

"Napa to Mbak, dari tadi liatin hp mulu..." Yuni, salah satu pegawai toko itu menyahut.

"Kalo kangen ya tinggal telpon aja," sambungnya kemudian menggoda bos mudanya itu.

Bening menanggapi dengan senyuman sambil tetap fokus menyelesaikan pekerjaannya, menghias pesanan tart ulang tahun. "Udah selesai!" girangnya.

"Ih, Mbak Cibey ini orang ajak ngomong malah dicuekin," cebik Yuni. "Mbak ngambek ya karena aku gak bisa ngehias kuenya? Beneran deh Mbak, aku gak ahli..."

"Apaan sih Mbak Yuni ini? Lagian emang udah jadi tugasku, kok. Udah ah, aku mu ke aer dulu. Udah jam dua nih. Aku mau pulang duluan ya, Mbak? Gak enak ninggalin rumah lama-lama, mas Aslam lagi sakit," tanggap Bening.

"Oalah...mas Aslam sakit toh, Mbak?"

Bening mengangguk. "Jangan lupa kuenya masukin dulu show case, Mbak," perintahnya kemudian.

"Okee!"

.

.

.

Bening mencuci tangan lalu membasuh mukanya. Ia berdiam diri menatap pantulannya di cermin. Pikirannya terus berkelana.

Apa Mas Aslam sudah bangun? Apa Mas Aslam baik-baik saja? Kenapa Mas Aslam belum menghubunginya sampai sekarang? Apa perlu ia menghubungi Bang Rio untuk sekedar menanyakan suaminya bekerja atau tidak? Pikiran-pikiran terus berkecamuk. Hingga suara Iman - salah satu pegawai tokonya - itu memanggilnya.

"Bey, ada yang nyariin tuh!"

"Siapa?"

"Laki lo,"

"Hah? Seriusan?"

"Lima rius!"

"Trus, ke mana Mbak Yuni? Kok malah Kak Iman yang manggil?"

"Lagi ngerayu laki lo!"

"Becanda lo gak lucu, Kak!"

"Liat aja ke depan. Laki lo kayaknya BeTe banget tuh ngeladenin si Yuni," jelas Iman lalu ia berbisik, "Bey, laki lo jutex banget. Merinding gue!"

"Apaan sih, Kak." Bening tertawa melihat tingkah Iman.

*

"Ehem." Aku berdehem di belakang pria yang sedang tertawa bersama istriku di ambang pintu kamar mandi. Pria itu seketika menoleh padaku dan mendongakkan wajahnya untuk melihatku karena bukannya sombong ya, tinggi badanku melampauinya. Tinggi Iman - nama pegawai toko itu - hanya sebahuku saja.

"Eh, Mas. Udah dari tadi di situ?" Iman merasa kikuk. Kupikir ia merasa gak enak, karena membicarakanku. "Saya permisi ke belakang dulu," pamitnya.

"Mas Aslam!" Pekik Bening ketika Iman menggeser tubuhnya dan segera menghilang. "Mas, kok bisa ke sini?"

Hah, mengapa dia bertanya seperti itu? Memangnya aku tak boleh datang ke mari?

Ya ampun! Kenapa juga aku bersikeras ingin bergegas datang ke sini setelah hampir seperempat hari aku menantikan kedatangannya. Dan hal yang membuatku jengkel adalah, ngapain cowok tadi berani mengintip istriku? Ya, walaupun hanya sekedar berdiri di ambang pintu dan Bening gak ngapa-ngapain.

"Kak Iman gak bermaksud ngintip. Aku juga cuma cuci tangan sama cuci muka doang. Lagian pintunya juga terbuka, jadi gak ada apa-apa," terangnya.

"Trus maksudku tadi, Mas udah enakan? Kok, datang ke mari?" ralatnya kemudian.

Lagi, mengapa istriku tau apa yang aku pikirkan? Apa dia bisa mendengar suara hati? Atau...

"Muka Mas keliatan banget BeTe-nya. Siapapun bisa liat kalo Mas lagi kesel," tuturnya membuat aku terkesiap. "Haha, bercanda, kok. Mas tetep ganteng."

Sial! Perempuan ini benar-benar membuat perasaanku campur aduk.

"Kenapa kamu ada di sini? Dan kenapa kamu gak bilang kalo kamu kerja?!" Aku mulai sewot membuat Bening menegang.

"A-aku..."

"Saya paling gak suka kalo ada orang dengan seenaknya melakukan hal tanpa sepengetahuan dan persetujuanku. Apalagi kamu istriku! Bisa-bisanya kamu gak izin dulu kalo mau berkeliaran!" Wahh, kenapa dengan diriku? Emosi apa ini?

"Aku gak berkeliaran. Dan aku juga udah izin sama mama, kok," bantahnya.

"Siapa yang jadi suami kamu? Saya atau Mama?" Hardikku.

"Mas Aslam," jawabnya. Aku kehabisan kata-kataku akan kepolosannya.

"Lagian aku tadi naro memo buat izin sama Mas Aslam. Mas tidurnya pulas banget, aku gak tega banguninnya," jelasnya.

Memo? Memo apa yang dia maksud?

Dikuasai amarah aku menarik tangannya dengan kasar, mengajaknya pulang.

"Mas, pelan-pelan, Mas!" Bening meronta. Aku tak peduli ketika pegawai wanita toko itu hendak menyanggah melihat tingkahku.

"Mas, lepasin! Ini sakit!" Sekuat tenaga ia menghempaskan tangannya. "Ini sakit, Mas..." mengusap pergelangan tangannya.

Sial! Kenapa aku semarah ini sehingga tanpa sadar menyakiti tangannya kembali? Memarnya masih belum hilang, aku malah membuat memar yang baru.

"Ayo pulang!" ajakku tanpa pamit pada orang-orang yang menyaksikan interaksi di antara kami.

"Mbak Yuni, aku tinggal dulu. Aku titip toko. Maaf ya, Mas Aslam lagi sakit," pamit Bening.

"Mbak, aku minta maaf ya...tadi gara-gara aku, mbak jadi ngerjain ngehias kuenya ampe beres..." suara Yuni berbisik penuh penyesalan. Namun, masih bisa kudengar dengan jelas. "Padahal tadi Mbak Cibey cemas banget suaminya lagi sakit...Maafin aku ya, Mbak..."

"Gakpapa. Aku pulang dulu, ya..."

***

"Lho, Sayang? Udah pulang?" Mama menyambut kami ketika sampai di rumah.

"I-iya, Ma," tutur Bening.

Aku meninggalkan mereka dan mempercepat langkahku agar tak mendengar omelan mama.

"Kok, bisa bareng sama Aslam?" tanya Mama.

"Mas Aslam jemput Bening, tadi," jawab Bening.

"Jemput? Beneran?" Bening mengangguk. "Wahh mama kira tadi dia buru-buru maksain mau ke kantor. Tuh anak 'kan gitu. Ternyata, jemput kamu?" Mama girang, Bening mengangguk.

"Aku ke atas dulu ya, Ma." Bening pamit meninggalkan mama yang masih senang.

Suara pintu terbuka. Bening masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya dengan rapat.

"Kunci!" Perintahku tak ingin ada seseorang yang tiba-tiba datang menginterupsi kami.

"Kenapa harus dikunci?" tanyanya panik.

"Aku bilang kunci ya kunci!" Bentakku seketika membuat Bening dengan ragu mengunci pintunya.

Aku berdiri di depan jendela kamarku. Berkali-kali aku menghembuskan nafas dengan gusar. Kenapa dengan diriku? Setelah beberapa saat aku menunggunya, pikiranku terus berkelana. Serpihan ingatan dan bayang-bayang kejadian kemarin di kantor bersama Hilda, lalu di kelab malam itu terus berputar. Apalagi bibir ini, cukup lama aku bisa lagi menikmati bibir yang sangat memabukkan. Lebih nikmat dibanding mencium bibir Erina. Mungkin karena aku sudah lama tak berciuman yang bisa membangkitkan gairahku atau memang aku begitu menikmati ciuman baru itu bersama orang yang halal bagiku?

"Mas, kenapa makanannya gak di makan? Apa makanannya gak enak?" Pertanyaan Bening membuyarkan lamunanku.

Makanan? Makanan apa? Seketika aku membalikkan tubuhku yang tadinya menghindari agar ia tak melihat ekspresiku.

"Mas gak makan, ya? Padahal aku sengaja siapin itu semua..." matanya berkaca-kaca. "Mas, marah sama aku gara-gara gak izin langsung untuk pergi ke toko? Tapi aku udah selipin memo di sini..." Bening berjongkok mengambil sesuatu di bawah tempat tidur lalu meletakkannya di atas nampan.

Bening melangkahkan kakinya dengan canggung menuju kamar mandi karena sepertinya tak ingin ketahuan kalo ia hendak menangis.

"A-aku mandi dulu," pamitnya kemudian. Langkahnya terhenti, kemudian ia berbalik, "Aku minta maaf, Mas. Tapi kenapa Mas semarah itu padaku? Seharusnya aku yang marah, karena semalam mas juga gak izin sama aku pergi ke kelab malam dan mabuk-mabukan!" semburnya lalu membanting pintu kamar mandi. Membuat aku berjingkat dan melongo menatap pintu kamar mandi yang tertutup itu.

TBC


Load failed, please RETRY

Estado de energía semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Piedra de Poder

Desbloqueo caps por lotes

Tabla de contenidos

Opciones de visualización

Fondo

Fuente

Tamaño

Gestión de comentarios de capítulos

Escribe una reseña Estado de lectura: C19
No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
  • Calidad de escritura
  • Estabilidad de las actualizaciones
  • Desarrollo de la Historia
  • Diseño de Personajes
  • Antecedentes del mundo

La puntuación total 0.0

¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
Votar con Piedra de Poder
Rank NO.-- Clasificación PS
Stone -- Piedra de Poder
Denunciar contenido inapropiado
sugerencia de error

Reportar abuso

Comentarios de párrafo

Iniciar sesión