Descargar la aplicación
7.86% Pernikahan Paksa Gadis Desa / Chapter 35: Kemarahan Redho

Capítulo 35: Kemarahan Redho

Sebagai orang tua yang telah membesarkan dan mendidik anaknya, Redho sangat kecewa. Perbuatan Hilman baginya adalah sebuah penghinaan bagi keluarga. Hilman dirasa telah mencoreng nama baiknya sebagai seorang nomor satu di desanya.

"Biarkan saja mereka, Pah. Lebih baik kita istirahat. Mama lelah mengurus pernikahan ini seharian. Jangan lagi ikut campur urusan rumah tangga anak kita, Pah! Kita lebih baik menikmati musik ini."

"Lihat, Mah. Anakmu itu malah bermesraan dengan wanita jalang itu! Lagipula papa sudah mengalah padanya. Tapi mengapa anak ini tidak bisa diatur?" Redho semakin kecewa karena istrinya sendiri pun tidak mendukung keputusannya.

"Tidak, Pah. Jangan diungkit lagi masalah yang lalu. Kalau kamu emosi terus, malah Papa sendiri yang bikin malu keluarga!" tegas Seruni.

Seruni sampai berani mengingatkan Redho dengan nada tinggi. Memang ia rasa bersalah karena membentak suaminya sendiri. Tapi biar membuat Redho sadar, Seruni terpaksa menentang Redho.

Sementara di tempat tidak jauh dari Redho dan Seruni, Raisya nampak bermain dengan ponselnya. Gadis itu suka dengan keributan. Namun game di ponsel, menurutnya lebih menyenangkan.

"Dasar orang tua aneh," kata Raisya acuh. Ia kembali menatap layar ponselnya.

"Ini anak, kerjanya cuman main ponsel terus!" gerak Redho melihat Raisya yang asyik dengan ponselnya.

"Sudahlah, Pah. Anak main saja, mengapa masih diurus juga? Lebih baik, tahan emosi papah. Malu dilihat orang, Pah!" Seruni memeluk tangan suaminya agar tidak terlanjur main tangan.

Tak berapa lama kemudian, Laila muncul dari balik pintu. Ia datang menghampiri kakeknya yang sedang duduk bersama beberapa orang desa.

"Laila, kamu sudah mendingan?" tanya sang kakek. Ia tidak begitu khawatir karena yakin Hilman telah melakukan tugasnya dengan baik.

Alasan Pramono meninggalkan Laila juga karena ia harus ke mushola untuk menjadi imam sholat untuk tamu undangan yang menjalankan kewajiban itu. Letaknya tidak terlalu jauh namun Pramono saat ini dalam keadaan lelah sehabis berjalan. Tubuh rentanya tidak seperti dulu lagi. Tidak bisa berjalan jauh seperti saat masih muda dulu. Saat dulu pernah menggendong Laila. Sekarang ia melihat cucu perempuannya sudah tumbuh dewasa dan telah menjadi seorang istri orang.

"Kakek? Kakek kelihatan lelah," ujar Laila. Melihat kakeknya terlihat lelah, membuat Laila tidak tega.

"Oh, tidak apa-apa, Cucuku. Kakek hanya lelah sedikit. Tidak masalah, kamu sudah makan?"

"Sudah makan, Kek," sahut Laila.

"Syukurlah ...."

Laila menengok ke arah di mana Hilman dan Eva berada. Ia melihat wanita cantik berambut panjang itu bergelayut manja pada Hilman. Lantas Laila berpikir, 'Mungkin ia sedang makan?' Laila meninggalkan kakeknya untuk menghampiri Hilman.

"Sayang, Kamu mau makan apa?" tanya Hilman tengah menerima suapan makanan dari Eva.

Eva dan Hilman menyadari kedatangan Laila. Mereka tetap acuh kepada Laila dan meneruskan kegiatan mereka. Sementara alunan musik sendu masih mengalun indah mengiringi lagu yang dinyanyikan sang vokalis.

"Mas," panggil Laila.

"Hemm ..." dehem Hilman. Ia saat ini tengah menikmati suapan dari Eva.

Hilman melirik ke arah Laila. Walau ia sekarang sudah menjadi suami Laila. Walau ia juga suka melihat wajah Laila, ia bisa tepis semua itu. Ia menegaskan bahwa hanya ada satu cintanya, Eva.

"Lebih baik kamu urus istri mudamu, Mas," seloroh Eva. Dengan raut wajah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Laila, Eva berpendapat kalau dirinya masih memiliki harga diri tak tergoyahkan.

"Iya nanti," jawab Hilman. "Aku punya dua istri, apa hanya harus mengurus satu istri, saja? Lagian pernikahan ini bukan atas kemauanku," tandas Hilman.

"Itu memang benar, Mas? Kamu memang tidak ingin menikahiku? Kalau tidak mau, mengapa kamu menikahiku?" cecar Laila. Laila kecewa dengan perkataan Hilman barusan.

"Dengarkan, Laila ... aku menikahi kamu karena aku terpaksa. Aku terpaksa menikahimu karena papaku! Dan kamu, kamu harus tahu, aku tidak akan membagi cinta pada siapapun di dunia ini."

Laila mengangguk, memang benar apa yang dikatakan sang suami tersebut. Pernikahan mereka bukan atas dasar saling suka dan saling cinta. Bagi Laila, pernikahan bukanlah atas dasar suka atau cinta. Pernikahan yang Laila inginkan adalah karena ibadah kepada Yang Maha Pencipta. Pernikahan semata-mata hanya untuk mengharap ridho-Nya.

"Apa tidak ada kesempatan untukku? Tidakkah ada ruang di hatimu yang tersisa? Aku juga istrimu, Mas."

"Dia juga istriku!" Hilman menatap Eva. "Istriku yang paling kucinta di dunia ini, tidak ada yang lain dan tidak ada yang bisa gantikan dia, selamanya." Hilman menunjukkan pada Laila, Eva adalah yang paling utama dalam kehidupan percintaannya.

"Iya, Mas. Aku sudah tahu. Assalamualaikum ..." salam Laila, meninggalkan tempat itu.

Keduanya saling menatap. Eva dan Hilman tidak menjawab salam dari Laila. Tak seberapa lama kemudian, Redho menghampiri Hilman dan Eva.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Hilman. Hilman memegang pipinya yang terasa sakit setelah menerima tamparan dari Redho. Ia tahu Redho marah padanya karena dirinya lebih memilih Eva. Apalagi barusan telah mencampakkan Laila.

'Ini gara-gara kamu, Laila,' batin Hilman geram menyalahkan Laila.

Andaikan Laila tidak datang menghampirinya, Redho tidak akan menamparnya seperti itu. Meskipun demikian, Hilman tidak peduli. Yang penting ia sudah menikahi Laila sesuai keinginan Redho. Urusan lainnya bisa dipikirkan nanti.

"Ayo tampar lagi, Pak!" pekik Hilman. Ia sudah siap menerima tamparan dari Redho, papahnya.

"Dasar anak tak tau di untung. Lebih baik kau tidak kucoret dari anggota keluarga!" hardik Redho. "Aku menyesal memiliki anak sepertimu, Hilman!"

"Pah, sudah!" cegat Seruni saat Redho yang ingin menampar Hilman kembali. Seruni memegangi tangan suaminya.

"Heh, awas, Ma! Papa ingin memberi pelajaran pada anak ini. Seorang anak yang membuat malu keluarga!" tukas Redho yang dipenuhi emosi.

"Pah ..." lirih Seruni. Melihat dua orang yang sangat keras kepala itu membuatnya pusing. Bagaimana tidak, ia harus mengurusi dua orang yang saling marahan dan tidak ada yang mau mengalah.

"Shhh!" desis Redho mengepalkan tangannya. Walaupun ia marah, tidak akan memukul papanya. Ia marah kepada diri sendiri. Mengapa ia tidak bisa berbuat apapun untuk keluarganya.

Seruni menggeleng pelan memberi tanda agar tidak meneruskannya. Malu dilihat para tamu undangan lainnya. Harusnya acara pernikahan, berlangsung dengan bahagia dan meriah. Bukan seperti saat ini yang kacau balau.

"Sudahlah ... percuma juga mengurus anak seperti dia!" Redho meninggalkan Hilman dan Eva. Ia melirik ke arah Laila sejenak lalu meneruskan jalannya.

Laila diam karena telah merasa bersalah. Ia tidak tahu akan jadi seperti itu. Andaikan ia tahu, Laila tidak akan menghampiri Hilman. Ia pun meninggalkan Hilman dan Eva dengan perasaan yang tidak menentu.

"Kenapa dengan mereka?"

"Baru menikah, sudah seperti ini."

"Duh, Laila. Kasihan sekali kamu, Nak."

Beberapa orang berkomentar melihat perbuatan keluarga Redho. Tidak disangka keluarga kaya raya tersebut memiliki hubungan yang tidak harmonis. Harta kekayaan yang dimiliki tidak sebanding dengan hubungan kekeluargaan mereka.

***


Load failed, please RETRY

Regalos

Regalo -- Regalo recibido

    Estado de energía semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Piedra de Poder

    Desbloqueo caps por lotes

    Tabla de contenidos

    Opciones de visualización

    Fondo

    Fuente

    Tamaño

    Gestión de comentarios de capítulos

    Escribe una reseña Estado de lectura: C35
    No se puede publicar. Por favor, inténtelo de nuevo
    • Calidad de escritura
    • Estabilidad de las actualizaciones
    • Desarrollo de la Historia
    • Diseño de Personajes
    • Antecedentes del mundo

    La puntuación total 0.0

    ¡Reseña publicada con éxito! Leer más reseñas
    Votar con Piedra de Poder
    Rank NO.-- Clasificación PS
    Stone -- Piedra de Poder
    Denunciar contenido inapropiado
    sugerencia de error

    Reportar abuso

    Comentarios de párrafo

    Iniciar sesión