Argon izin pulang dari ruang pasien. Dia berterima kasih kepada Pak Suprayitno. Ketika sudah pergi, beliau menikmati hidangan yang disajikan oleh putrinya.
"Enak, Pak?"
"Enak sekali. Bagaimana caranya kau memasaknya?"
"Soal itu—"
"Jangan diteruskan. Lagipula, aku memiliki banyak waktu untuk berkumpul bersama kalian dan cucuku. Jangan memasang wajah sedih begitu, nak."
Dia tertunduk lemas. Tidak tahu harus merespon seperti apa. Sedangkan Pak Suprayitno hanya tersenyum tipis. Menatap gadis bernama Florensia. Tubuhnya berbaring sembari belum sadarkan diri. Cepatlah buka kedua matamu, nak Florensia. Kerabatmu itu merindukanmu, gumam Suprayitno dalam hati.