Rian berjalan keluar dari sekolah dengan santai. Jam pulang sekolah yang ditunggu semua orang termasuk dirinya sudah tiba.
"Hm ... hari ini jadwal Anin buat belajar private. Dia ada di rumahnya gak, ya?" gumam Rian sambil terus melangkah. Mengingat Arga tadi yang pulang lebih dulu karena urusan keluarga, Rian pikir bisa jadi Anin juga tak ada di rumahnya karena urusan keluarga mereka itu.
Awalnya, Rian ingin bertanya pada Arga apakah adiknya ada di rumah. Tapi kemudian ia ingat kalau Arga bilang untuk sementara waktu ia tak bisa memegang ponsel. Jadilah, Rian akhirnya memutuskan untuk datang memastikan sendiri apakah Anin ada di rumahnya atau tidak.
Ketika Rian tiba tepat di depan rumah Arga, Anin tiba-tiba keluar dari dalam rumah dengan sebuah tas yang cukup besar.
"Oh? Kak Rian!"
"Ah, kamu mau pergi?" tanya Rian.
"I—iya, Kak," jawab Anin sedikit terbata, cukup terkejut dengan keberadaan Rian.
"Maaf, Kak. Hari ini belajarnya di skip dulu, ya," kata Anin.
"Ah, iya. Gak papa. Kakak ngerti, kok. Kamu mau pergi karena urusan keluarga kalian, 'kan? Arga sendiri udah pergi tadi pagi," timpal Rian sambil tersenyum.
"Hm ... i—iya." Anin tersenyum terpaksa. Matanya tak bisa fokus menatap mata Rian.
Tiiin! Tiiin!
Suara klakson mobil dari belakang mengejutkan keduanya.
"Ah, aku pergi sekarang ya, Kak," pamit Anin lalu dengan cepat naik ke dalam mobil itu.
"Ah, iya. Hati-hati ..." suara Rian memelan melihat Anin yang langsung melesat pergi. "Kayaknya buru-buru banget, ya," gumamnya.
Rian menatap jam tangannya. "Berarti hari ini gue kosong. Rasanya udah lama gue gak punya waktu luang kayak gini."
"Bagusnya ngapain, ya?" gumam Rian sambil melangkah pergi.
"Rebahan aja kali, ya?"
⛈️🌧🌦
Keesokan harinya, Rian berjalan pelan menuju kelasnya. Di saat seperti ini, biasanya, Arga akan segera datang menghampiri dan merangkulnya. Tapi kali ini ia hanya seorang diri.
Rian masuk ke dalam kelas dan langsung duduk di bangkunya. Ia menatap bangku Arga sejenak. Rasanya cukup kosong tanpa kehadiran sahabatnya itu. Seketika, kilasan balik pertemuan keduanya berputar di otak di Rian.
- Flashback, hari pertama Rian sebagai murid SMP -
Kelas Rian sangat ricuh. Kebanyakan dari mereka berbeda SD sehingga perkenalan-perkenalan dan obrolan-obrolan terus mengalir untuk lebih saling mengenal.
Rian sendiri bersikap masa bodoh. Tak ada niatan untuk bergabung dan mengobrol dengan teman-teman barunya itu. Ia hanya duduk diam di bangkunya yang terletak di barisan paling depan.
"Hai, guys!"
Rian melirik datar orang yang baru saja masuk ke dalam kelas dan menyapa dengan penuh semangat itu.
"Kenalin, nama gue Arga Kiano Garendra. Kalian bisa panggil gue Arga. Semoga kita bisa jadi temen baik, ya!" Arga tersenyum lebar sambil memandang seisi kelasnya.
Rian yang tak tertarik dengan teman kelasnya itu memilih untuk merebahkan kepalanya di atas meja.
"Yah, tempat yang tersisa tinggal barisan depan doang," gumam Arga melihat seluruh bangku barisan belakang dan tengah yang sudah terisi sempurna. Tinggal beberapa bangku barisan depan yang kosong.
Karena tak punya pilihan lain, Arga pun memilih duduk di bangku terdekat ia berdiri tadi, tepat di samping Rian.
Arga menoleh menatap Rian, berniat untuk menyapa. 'Ah, dia tidur?' pikir Arga.
Arga menghela napas singkat. Yah, ia bisa menyapanya nanti. Saat Arga mulai mengeluarkan buku dan pulpennya dari dalam tas, beberapa orang datang menghampirinya.
"Wah, gila. Gue liat-liat, barang-barang lo kayaknya mahal-mahal, ya," kata salah seorang dari mereka.
"Iya, nih. Bermerek semua," timpal yang lainnya sambil menatap barang-barang Arga.
Arga hanya tersenyum. "Papi gue yang beliin."
"Oh, gitu ya? Nanti pas jam istirahat kita ke kantin bareng, ya!"
"Sebagai permulaan pertemanan, boleh dong, lo traktir kita-kita?"
Arga mengangguk. "Boleh aja."
⛈️🌦🌧
Arga mulai membereskan barang-barangnya. Sudah waktunya untuk pulang. Ia melirik Rian. Seharian ini, ia tak pernah mengobrol dengan Rian padahal mereka duduk berdekatan. Arga sudah mencoba membuka percakapan dengan Rian beberapa kali, tapi Rian terus mengabaikan dirinya.
'Yah, tampaknya dia bukan orang yang suka bersosialisasi dengan orang lain,' pikir Arga.
"Hei."
Arga yang sudah menyelempangkan tasnya ke bahu dan berniat melangkah keluar kelas segera menoleh.
"Lo manggil gue?" tanya Arga pada Rian yang masih duduk di bangkunya.
"Siapa lagi yang gue panggil di kelas ini kalau bukan elo?" tanya balik Rian. Memang, sekarang ini hanya tersisa mereka berdua di dalam kelas.
"Ada apa?" tanya Arga.
Rian mengambil tasnya dan berdiri menatap Arga dengan datar. "Lo itu bodoh, ya?"
Arga mengernyit. "Apa?"
Rian menghela napas. "Apa lo gak sadar kalau lo itu cuma dimanfaatin doang? Mereka cuma mau duit lo, bodoh!"
"Mereka?" bingung Arga.
"Orang-orang yang lo anggep temen baru lo hari ini! Gue kasih tahu, ya. Jadi orang tuh jangan bodoh-bodoh banget. Jangan ngebuat diri lo dimanfaatin semudah itu. Orang-orang kayak mereka gak pantes dianggep sebagai temen. Lo seharusnya milih temen dengan baik!"
Meski terlihat tak peduli pada sekitarnya, tapi Rian sebenarnya memerhatikan semua yang terjadi. Ia merasa cukup kesal melihat Arga yang begitu mudah dimanfaatkan oleh orang lain.
Rian mendengus lalu segera keluar dari kelas meninggalkan Arga yang berdiri mematung di tempatnya.
Keesokan harinya, Rian datang ke sekolah sepuluh menit sebelum jam masuk. Langkahnya santai dan terkesan malas-malasan. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya.
"Pagi!" sapa Arga dengan ceria.
Rian mengabaikan Arga dan memilih untuk tetap melangkah menuju kelasnya. Meski diabaikan, Arga tetap tersenyum dan berusaha mendekati Rian. Saat di kelas pun, Arga dengan gencar berusaha mengajak Rian untuk berinteraksi.
"Kok lo nempel-nempel sama gue mulu, sih?! Jauh-jauh dari gue sana!" kesal Rian saat jam istirahat. Ia benar-benar merasa jengah dengan Arga.
"Kan lo sendiri yang nyuruh gue buat gak temenan sama mereka," timpal Arga dengan wajah polos.
"Gue kan bilang lo seharusnya nyari temen yang lebih baik dari mereka, bukannya nempel ke gue kayak gini!"
Wajah Arga cemberut. "Tapi gue maunya temenan sama lo! Kalau gue temenan sama lo, gue gak bakal dibodohin lagi kayak kemarin."
"Sorry ya, tapi gue gak minat temenan sama lo," ketus Rian lalu melangkah menjauh dari Arga.
"Kalau gitu gimana kalau gini? Lo jadi guru private gue?!" teriak Arga, membuat Rian berbalik menoleh.
"Apa?"
"Gue denger lo itu pinter banget. Jadi gue mau lo ngajar gue. Tentunya gak bakal gratis. Lo bakal dapet uang yang jumlahnya gak sedikit," jelas Arga.
Rian tersenyum miring. "Hah. Lo lagi mau pamer kalau lo punya banyak uang?"
Arga menggeleng dengan cepat. "Bukan gitu! Kalau lo jadi guru private gue, bukannya itu bakal jadi hubungan mutualisme bagi kita? Gue jadi lebih pinter, sedangkan lo bisa dapet uang. Gimana?"
Rian berpikir sejenak. Ada bagusnya juga. Ia sendiri memang berniat untuk hidup mandiri dan tidak membebani Tantenya.
"Oke kalau gitu," setuju Rian pada akhirnya, membuat Arga tersenyum lebar.
- Flashback end -
Rian tersenyum mengingat kenangannya itu. Siapa sangka, ia dan Arga kemudian menjadi semakin dekat hingga orang-orang menyebut mereka sahabat sejati. Dimana ada Rian, disitu ada Arga. Begitupula sebaliknya.
Bel jam pelajaran pertama kemudian berbunyi. Baru saja Rian berniat untuk mengeluarkan bukunya, tiba-tiba Bu Freya masuk ke dalam kelas dengan raut wajah tak biasa. Bu Freya menghela napas berat sebelum mulai berbicara.
"Anak-anak, Ibu punya berita untuk kalian. Ibu harap kalian tidak terlalu terkejut mendengarnya."
Rian dan teman-teman sekelasnya menatap Bu Freya penasaran.
"Teman kalian ... Arga ...."
Rian seketika menajamkan pendengarannya mendengar nama Arga disebut. Arga? Dia kenapa?
Bu Freya kembali menghela napas berat sebelum melanjutkan perkataannya. "Dia ...."
" ... meninggal."
DEG!
Rian seketika membelalak. Ia menatap Bu Freya tak percaya. "Ibu ... bercanda, 'kan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Bu Freya menatap Rian sedih. "Sayangnya ... Ibu gak bercanda."
"Arga ... benar-benar meninggal."
⛈️🌧🌦
To be continued