Anton memendam iri dalam hatinya ketika melihat teman sebayanya riang gembira duduk dan mendapatkan ilmu dari sang guru di sekolah yang sering ia jumpai kala mengitari jalan untuk menggapai nasi. Ia bicara dalam hati dengan air mata yang sedikit turun ke bumi.
''Kelak, aku akan di sana. Kalaupun aku tidak bisa duduk menjadi murid, aku aka membagi ilmu pengetahuanku kepada siapapun yang bernasib sepertiku''
4 Tahun berselang, Anton mulai tumbuh dewasa, ia mulai mengerti situasi dan cara menyikapinya. Dipaksa dewasa oleh keadaan, yang perihalnya kalau tetap seperti itu, habislah usia dengan sia-sia. Karena tidak berkecukupan serta malu, anton bercita untuk menjadi pedagang asongan. Dari hasil pulungnya itu, ia sisihkan sebagian demi mewujudkan keinginannya, tanpa kedua orang tuanya tahu.
Di suatu malam yang amat gemuruh oleh gemuruh langit yang menurunkan hujan begitu lebatnya, Pak Yanto pulang ke rumah dengan terengah, di tuntun oleh isterinya. Dadanya sesak, langkahnya gontai. Anton yang sedang terlelap itu kemudian bangun dan langsung melihat keadaan ayahnya.
''Ayahhhhh.....'' seru Anton sambil berlari.
''Buu, ayah kenapa bu, kenapa ayah sesak, kenapa pucat sekali wajah ayah buu''
''Ayahmu sakit nak''
''Yaampun, ayo bu lekas kita bawa ke rumah sakit''
''Jangan nak, jangan, rumah sakit itu mahal, kalaupun ada yang tidak bayar, pasien seperti ayah ini di kesampingkan dari mereka yang ber uang.
''Tak apa yahh, ayo cepat yahh anton gendong yahhh''
''Cukup anton, ayah baik-baik saja, hanya keleahan saja nak''
Setelah berbincang cukup haru, akhirnya Pak Yanto memejamkan mata. Dan anton pun tepat di sebelahnya. Esok harinya, anton yang malang itu bimbang. Ia harus merawat ayahnya atau, pergi menyusul ibu mengitari kota. Sialnya Pak Yanto terbangun, dan menyuruh anaknya untuk menyusul ibundanya.
''Cepat susul ibu nak!! kasihan ibu pergi sendiri, ayah tidak mau terjadi apa-apa pada ibumu''
*Bersambung....